Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mensiasati Anggaran Dapur Agar Tak Jebol Saat Ramadhan

20 Juli 2012 | 20.7.12 WIB Last Updated 2012-07-20T01:47:15Z


Memasuki tibanya bulan Ramadhan, yang paling heboh tentu kaum Ibu. Sebagai “menteri keuangan” ibu rumah tangga paling pusing mengelola isi dompet agar tak jebol sebelum waktunya. Maklumlah, APBD (anggaran pendapatan dan belanja dapur) jatahnya tak nambah, tapi harga-harga kebutuhan dapur semuanya melonjak naik. Masih mending kalau hanya harga saja yang naik, tapi jumlah kebutuhan bisa dikurangi, mungkin isi dompet masih bisa akur sampai akhir bulan. Sayangnya, beban “menteri keuangan” kian pelik, sebab di bulan Ramadhan, kebutuhan sehari-hari ragamnya makin banyak dan jumlahnya pun membengkak. Alhasil, beban pengeluaran rumah tangga pun jadi naik kwadrat.

Lho kok bisa?! Bukannya bulan puasa seharusnya malah berkurang?! Logikanya sederhana aja : biasanya sehari makan 3x, selama sebulan cuma makan 2x sehari. Biasanya diantar waktu makan, selalu ada godaan untuk nyemil – entah menjelang siang atau jelang sore – kalau bulan puasa anggaran cemilan seharusnya praktis bisa ditiadakan. Itu sih logikanya, tapi prakteknya tak begitu. Nah, pasti ada yang salah dalam mengimplkementasikan.

13426584121872449838
Anggaran belanja tetap, tapi jumlah dan ragam kebutuhan meningkat.

Begitulah “kodrat”nya pasar : makin banyak “demand” sedang “supply” tetap, maka harga pasti naik. Apalagi kalau ada yang nakal dengan menahan stock sehingga seolah-olah pasokan barang tersendat. Maka lengkap sudah alasan untuk menaikkan harga. Masalahnya, yang bikin naiknya demand itu justru konsumen itu sendiri. Ironisnya, frekwensi makan yang jelas-jelas berkurang di bulan Ramadhan, tak dibarengi dengan jumlah kebutuhan makanan. Sebenarnya, ini terjadi karena perubahan pola makan dan gaya hidup mendadak selama Ramadhan.

Tetangga saya dulu, tipa bulan Ramadhan “wajib” menyediakan es jelang buka puasa. Padahal, waktu itu mereka belum punya lemari es. Jadilah setiap sore harus selalu beli es batu. Itu baru es batunya saja, belum pelengkapnya : sirup, cincau, buah, kelapa muda, de-el-el. Bukankah itu semua membutuhkan anggaran tersendiri? Makanan utama pun begitu. Kalau di hari biasa ibu rumah tangga masak seadanya, maka di bulan Ramadhan memasak sedikit ekstra menunya, baik ragam maupun jumlahnya. Kalau biasanya cuma tersedia 1 macam lauk, 1 macam sayuran, 1 macam gorengan (tahu, tempe, dan sejenisnya), kalau Ramadhan variasi lauknya lebih beragam. Alasannya supaya makan jadi lebih berselera. Jadi, tentu tak heran kalau kebutuhan belanja meningkat.

13426585141958530756
Tertipu slogan iklan, akhirnya kebutuhan gula, gula merah untuk kolak dan sirup untuk es, meningkat drastis di bulan Ramadhan
Belum lagi takjil. Seolah ini jadi kewajiban tersendiri yang harus selalu ada. Keluarga yang biasanya tak pernah menyediakan makanan ringan/snack, kalau Ramadhan “ngoyo” mengadakan. Tambahan lagi, pemahaman seolah ada sunnah “berbukalah dengan yang manis” membuat keluarga di Indonesia umumnya menyediakan makanan/minuman manis sebagai pembuka puasa, semisal kolak atau es sirup. Padahal, sebenarnya itu “nyanyian nina bobok” dari produsen teh manis kemasan dan sirup.

Sebenarnya pemahaman “berbukalah dengan yang manis” yang entah dari mana asal muasalnya lalu dianggap sunnah itu berasal dari kebiasaan Rasulullah Muhammad SAW yang berbuka puasa dengan segelas air dan 3 biji kurma. Karena buah kurma rasanya manis, lalu orang beranggapan kita disunnahkan berbuka dengan yang manis. Padahal, kenapa kurma yang dikonsumsi, sebab kurma itu mengandung multinutrisi.

13426586171632237437
Bagaimana harga telur dan minyak goreng tak akan naik kalau selama Ramadhan konsumsi kue-kue dan gorengan meningkat?

Diantaranya glukosa dan fruktosa, karbohidrat, protein, lemak, energi, vitamin A, B6 dan C, zat besi, kalsium, magnesium dan berbagai senyawa polifenol serta flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan, oksitosin, dan sejenis hormon. Jadi sesungguhnya kurma dipilih karena kandungan kalorinya sangat tinggi dan bebas kolesterol. Sehingga, dengan berbuka buah kurma cukup 3 biji saja dan minum air putih, diharapkan kebutuhan kalori dan energi yang seharian tidak dipasok, bisa langsung tergantikan. Sama sekali BUKAN karena alasan kurma itu MANIS rasanya. Apalagi akhir-akhir ini ada sebuah produk minuman kemasan dari air kelapa yang membuat iklan khusus jelang Ramadhan, dengan mengkalim kandungan nutrisi buah kelapa sama dengan kurma.

Kalau begitu, apa yang bisa dilakukan kaum ibu untuk mengerem laju kebocoran ‘APBD” domestiknya? Satu-satunya jalan adalah dengan tidak mengubah gaya dan pola konsumsi makan keluarga. Kalau biasanya tiap hari tak pernah bikin es buah dan kue-kue, ya tak perlu mengada-ada. Mungkin cukup teh manis seperti yang biasa tersedia sehari-hari. Bolehlah mengikuti sunnah Rasul dengan memakan 3 biji kurma saat berbuka, mungkin 1 – 2 kg kurma sudah cukup untuk keperluan sekeluarga selama sebulan. Begitu pula lauk pauk teman makan nasi. Kalau biasa makan seadanya, tak perlu mengada-ada dengan menambah porsi dan ragam menu. Sebenarnya, yang membuat Ramadhan terasa berat itu karena “ngoyo” dalam “mengada-ada”. Bukankah hakikat puasa justru menahan diri dan mengekang hawa nafsu, termasuk nafsu mengkonsumsi makanan. Jadi, menahan nafsu makan di siang hari tak seharusnya dilampiaskan pada saat berbuka atau “membekali” perut berlebihan saat makan sahur.

1342658734175336253
Membeli beras di agen di pasar tradisional atau pasar induk jauh lebih murah ketimbang beras kemasan di supermarket

Memang, kenaikan harga tak bisa dihindari. Sebagai konsumen, terpaksa menurut saja pada harga yang ditetapkan penjual. Tapi dengan mengerem pola makan dan gaya konsumsi dengan tidak mengada-ada, beban “APBD” tidak meningkat kwadrat. Lalu bagaimana kalau peningkatan volume konsumsi tak bisa dihindari? Misalnya untuk berbagi dan menyambut kedatangan sanak keluarga menjelang dan selama lebaran yang menginap di rumah kita? Seperti miisalnya anda punya kebiasaan menyediakan makanan buka puasa untuk dibagikan pada sesama yang kebetulan kekurangan atau untuk buka puasa bersama dengan anak-anak yatim. Tentu niat mulia ini tak boleh terhalang atau dikurangi karena kenaikan harga. Tapi perlu disiasati, agar jumlah yang kita bagi bisa lebih banyak dengan anggaran yang sama. Bagaimana mensiasatinya?

13426588071198754267
Harga semurah ini tak akan ditemui di minimarket atau supermarket

Mencoba mencari alternatif tempat belanja yang lebih murah dengan kualitas yang sama. Sebagai contoh, saya terbiasa berbelanja bulanan di sebuah hypermarket di mall. Ini demi kepraktisan dan kenyamanan berbelanja, toh kebutuhan belanja bulanan saya tak terlalu banyak jumlahnya. Semisal beras, untuk sebulan saya cukup membeli beras 10 kg saja dan gula cukup 2 kg. Selama ini, beras kemasan 5 kg yang per kantongnya dibandrol dengan harga sekitar Rp. 67.000,00 tak terasa terlalu mahal. Tapi ketika kemarin saya coba mengkalkulasi kebutuhan beras untuk sekian kali buka puasa dikalikan sekian porsi nasi bungkus, jadi terasa berat dan anggaran yang saya alokasikan jadi tak cukup. Maka saya pun harus putar otak, tanpa mengurangi kualitas. Artinya, saya harus cari beras yang kualitasnya sama dengan yang saya makan sehari-hari, tapi harga lebih murah.

Kenapa begitu? Rasulullah pernah berkata agar jangan memberikan makanan yang tak kita sukai pada orang lain. Itu sebabnya, beras zakat fitrah haruslah beras dengan kualitas yang sama dengan yang kita makan sehari-hari. Jadi kalau terbiasa makan beras punel dan wangi, jangan sampai membayarkan zakat fitrah atau fidyah atau memberi makan buka puasa dengan beras raskin atau beras kualitas rendah yang keras, kusam dan sedikit berbau.

1342658876967400248
Jika membeli telur dalam jumlah banyak tak tak dimasukkan di lemari pendingin, maka jangan cuci kulit telur. Biarkan cangkang dalam kondisi aslinya

Nah, kembali ke topik, maka saya pun coba cari alternatif dimana bisa membeli beras dengan kualitas sama tapi harga yang lebih murah. Saya coba ke pasar tradisional dan mencari kios agen beras, BUKAN pedagang pengecer. Sebelum memutuskan membeli beras yang mana, saya teliti dulu buliran berasnya, sebab beras kualitas bagus dan rendah tentu berbeda secara kasat mata. Untuk meyakinkan, saya tanya kepada pemilik kios, apa jenis beras dan kualitasnya. Kebetulan di agen yang saya datangi harga termahal dipatok pada Rp. 9.000,00. Saya pun mencoba membeli 2 jenis beras yang sama harganya tapi beda jenis – Pandan Wangi dan Cianjur – dalam jumlah tak terlalu banyak. 

Besoknya langsung saya tanak, selama 2 hari berturut-turut saya coba 2 jenis beras itu. Sungguh di luar dugaan, karena ternyata kedua beras yang harganya cuma Rp. 9.000,00/kg ini jauh lebih enak, punel, lunak dan wangi ketimbang beras yang saya beli di hypermarket yang jatuhnya lebih dari Rp. 13.000,00/kg. Padahal, jelang Ramadhan begini harga beras di hypermarket pasti naik.

13426589491015538683
Minyak goreng curah, bila tak hati-hati bisa dapat yang dicampuri pewarna agar tampak bening. Selain itu baunya apek dan rasanya tengik jika dipakai menggoreng. Bisa mengakibatkan bermacam penyakit

Nah, dengan mencari alternatif tempat belanja yang lebih murah, saya bisa berbelanja dalam jumlah besar, tanpa mengurangi kualitas dan yang lebih penting lagi budget saya masih mencukupi. Bukan hanya beras, kebutuhan dapur lain yang tingkat kebutuhannya cukup banyak selama bulan Ramadhan dan menyambut Idul Fitri bisa kita beli dalam jumlah besar sekaligus di pedagang tingkat agen di pasar tradisional. Misalnya gula, minyak goreng dan telur. Khusus telur mungkin perlu dipertimbangkan penyimpanannya. Sebab jika lemari pendingin anda tak cukup besar, bisa jadi malah busuk. Perlu juga diperhatikan, telur masih dalam kondisi baik atau sudah ada yang retak.

Kalau anda berniat membuat kue-kue lebaran sendiri, ada baiknya membeli tepung, mentega, dan aneka bahan kue lainnya di toko khusus penjual bahan kue, yang menjual dalam jumlah besar dan memiliki stock cukup banyak. Ini pengalaman saya ketika tahun-tahun 2000-an dulu berbisnis jualan kue kering lebaran dan terima pesanan aneka cake untuk buka puasa. Di toko khusus grosir bahan kue semacam ini, semua jenis tepung yang berbeda kandungan glutennya – terigu cakra, kunci atau segitiga – sesuai jenis kue yang akan dibuat, pasti tersedia. Beda harga per kilogramnya bisa cukup jauh. Apalagi kalau kita membeli dalam jumlah banyak, terasa sekali selisihnya.

13426594161228436395
Makanan beli, kalau keseringan bisa bikin APBD jebol. Perporsi setidaknya menguras isi dompet 20-25 ribu

Untuk anda yang anggota keluarga serumah cukup banyak, apalagi jika ada anak-anak usia pertumbuhan yang konsumsi makannya cukup banyak, usahakan untuk memasak sendir dan tak mengandalkan makanan beli. Kenapa begitu? Karena selain irit, juga lebih terjamin higiene dan kesehatannya. Makanan matang yang banyak dijual di pasar-pasar lebaran, kalau pun harganya terkesan murah, tapi bisa jadi banyak menggunakan pengawet atau penyedap dan bahan tambahan lainnya yang tidak disarankan dari segi kesehatan. Begitupun untuk makanan gorengan, bisa dipastikan minyaknya adalah minyak goreng curah yang kualitasnya kurang baik. 

Bagaimana pun pedagang tentunya ingin untung banyak di saat mereka butuh uang banyak untuk bekal mudik lebaran. Kalau membeli di restoran yang bagus, rasanya enak dan kualitas masakannya baik, tentu anda harus merogoh kocek lebih dalam lagi, sebab mengikuti hukum pasar, umunya bisnis seperti ini juga menaikkan harga atau mengurangi porsi.

Kenaikan harga kebutuhan dapur memang tak bisa dihindari. Yang bisa diatur dan dikendalikan adalah pola dan gaya konsumsi agar tak berubah drastis saat Ramadhan yang berakibat membengkaknya pengeluaran. Kalau kenaikan kebutuhan memang benar-benar perlu, yang harus dilakukan adalah mensiasati belanja, dengan mencari alternatif tempat belanja murah, kualitas bagus dan membeli dalam jumlah banyak sekaligus untuk mengantisipasi fluktuasi harga yang makin menggila mendekati lebaran. Selamat mengatur “APBD” domestik anda, semoga tak jebol sehingga Ramadhan benar-benar terasa barokahnya..

catatan ira oemar freedom writers kompasianer
×
Berita Terbaru Update