Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sidang Istbat Tanpa Siaran Langsung

28 Juni 2014 | 28.6.14 WIB Last Updated 2014-06-28T14:21:28Z
Ilustrasi: Petugas dari Kemenag Perwakilan DI Yogyakarta melakukan pemantauan hilal di Pos Observasi Bulan (POB) Syekh Bela Belu, Parangkusumo, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (19/7/2012). Dalam pemantauan tersebut hilal awal bulan Ramadan tidak terlihat karena terhalang awan.


Insya Allah, sore ini Kementrian Agama akan menggelar sidang istbat untuk menentukan awal bulan Ramadhan 1435 H. Tapi sidang istbat kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena Menteri Agama yang baru, Lukman Hakim Saifuddin, memutuskan bahwa kali ini jalannya sidang istbat tidak disiarkan langsung oleh media televisi. Namun hasil akhirnya tetap akan diumumkan dan disampaikan langsung oleh Menteri Agama.

Keputusan bijak ini layak diapresiasi. Sebab, terkadang jalannya sidang istbat penetuan awal dan akhir Ramadhan dipenuhi adu argumentasi dan perdebatan yang cukup panas, bahkan ada yang cara penyampaiannya terkesan mengejek metode yang dilakukan pihak lain. Tak heran jika kemudian ada yang beranggapan sidang istbat bak mengadili yang menggunakan metode hisab.

Selain tak elok rasanya menonton para ahli hisab dan rukyatul hilal saling berdebat, juga akan membingungkan masyarakat awam. Ummat Islam yang paham betul soal dalil dan metode penentuan awal bulan dibanding yang tidak (awam) jumlahnya lebih banyak yang awam. Karena itu, perdebatan dan saling bantah malah akan membuat ummat di akar rumput makin bingung. Bahkan, di tengah panasnya suhu politik di tanah air jelang Pilpres, bisa jadi perbedaan penentuan awal Ramadhan dijadikan issu untuk memecah belah kerukunan masyarakat oleh pihak-pihak yang tak bertanggungjawab dan ingin mengail di air keruh.

Jaman dulu, proses jalannya sidang istbat tak pernah disiarkan langsung, bahkan oleh TVRI yang jadi corong Pemerintah sekalipun. Masyarakat hanya tinggal menunggu saja pidato Menteri Agama, apakah besok sudah mulai masuk bulan Ramadhan atau tidak. Cara itu lebih kondusif, sebab tidak berpotensi memecah belah kerukunan ummat Islam. Toh pada akhirnya negara (Pemerintah) tidak dapat memaksakan keputusannya kepada warganya dalam hal menjalankan ibadah. Semuanya akan kembali terpulang pada keyakinan masing-masing, tanpa harus ada stempel “yang ini ikut Pemerintah” dan “yang itu tidak ikut Pemerintah”.

Sebenarnya, tanpa disadari selama setahun kita sesungguhnya sedang menggunakan metode hisab dalam penentuan awal bulan Hijriyah. Gak percaya?! Mari kita telaah. Kalender yang beredar di masyarakat kita pada umumnya adalah kalender Masehi, yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember. Kalender itu biasanya sudah bisa didapatkan di toko-toko sekitar 2 bulan sebelum tahun baru. Di dalamnya sudah tercetak tanggal-tanggal “merah” hari libur nasional, termasuk tanggal 1 Muharram (tahun baru Hijriyah), 12 Rabiul Awwal (Maulid Nabi), 27 Rajab (Isra’ Mi’raj), 1 Syawal (Idul Fitri), 10 Dzulhijjah (Idul Adha), dll. Nah, apa dasar penentuan tanggal-tanggal itu untuk penetapan hari libur nasional? Tentu saja dengan metode HISAB.

Kalau kita selalu menggunakan metode RUKYATUL HILAL setiap bulan, berarti setiap jelang awal bulan kita harus mengamati hilal dulu. Baru jika sudah disepakati, ijma’ bahwa telah terjadi wujudul hilal, besoknya kalender baru dibuat hanya untuk satu bulan itu saja. Sebab, untuk penentuan tanggal 1 bulan berikutnya, masih harus mengamati hilal lagi.

Hal ini sebenarnya analog dengan penetapan jadwal waktu sholat abadi sepanjang tahun yang kerap tercantum di kalender, atau jadwal imsakiyah Ramadhan yang sudah terbit bahkan sebulan sebelum Ramadhan. Dulu, ketika belum ada jam, ummat Islam menentukan masuknya waktu sholat dengan melihat matahari dan membandingkan tinggi bayangan terhadap benda aslinya. Ini mungkin tidak sulit di daerah gurun pasir yang mataharinya nyaris selalu bersinar sepanjang tahun. Kini, berbekal jam tangan atau bahkan jam digital di ponsel, kita sudah tahu kapan masuk waktu sholat 5 waktu, meski mendung sedang gelap dan matahari tak terlihat sekalipun. Kenapa jadwal waktu sholat sudah bisa dibuat dalam setahun sekaligus? Itu karena berpatokan pada perhitungan perputaran bumi mengelilingi matahari pada orbitalnya. Jadi bisa ditentukan kira-kira jam berapa matahari mulai terbit di suatu kota, kapan matahari tepat di tengah, kapan mulai lingsir, dst. Begitu juga dengan berpatokan pada perhitungan bulan mengelilingi bumi pada porosnya, bisa ditentukan kapan kira-kira posisi bulan baru mulai terlihat.

AWAL MULA ADANYA 2 HARI LIBUR IDUL FITRI

Beberapa hari lalu, sore after office hour, iseng-iseng saya diskusi santai dengan teman-teman kantor soal rencana sidang istbat tahun ini yang tidak akan disiarkan langsung, hanya diumumkan hasilnya. Kami lalu flashback ke belakang, beberapa tahun terakhir ini dimana penentuan Idul Fitri kerap kali berbeda. Lebih mundur lagi ke belasan tahun lalu, dimana permulaan Ramadhan dan Idul Fitri yang selalu bersamaan (kecuali mungkin kelompok kecil yang memiliki paham tersendiri).

Kembali ke penentuan hari libur nasional di kalender, kenapa khusus untuk IDUL FITRI ada 2 hari libur? Saya awalnya tak berpikir macam-macam soal ini. Sejak dulu saya hanya baca keterangan tanggal merah di kalender biasanya tertulis “Idul Fitri hari pertama” dan “Idul Fitri hari kedua”. Saya pikir itu hanya sekedar memberi kesempatan bagi ummat Islam untuk merayakan hari lebaran lebih leluasa. Ternyata tidak begitu kata teman saya.

Sejak dulu, sebenarnya perbedaan penetapan Idul Fitri antara yang menggunakan metode hisab dan rukyatul hilal, sudah ada. Untuk mengakomodir hal itulah, maka para founding father negeri ini akhirnya bersepakat menetapkan 2 hari libur resmi agar ummat Islam – baik yang berpegang pada metode hisab maupun rukyah – tetap bisa melaksanakan sholat Ied, karena kedua hari itu ditetapkan sebagai libur nasional. Jaman dulu kan tidak ada “cuti bersama”. Jadi kalaupun seseorang belum memiliki hak cuti, negara sudah menjadikan kedua hari itu sebagai hari libur, sehingga bisa sholat Ied dan bersilaturahmi dengan keluarga. Konon – kata teman saya itu – ide ini awalnya datang dari Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Ide untuk mengakomodir perbedaan penetapan Idul Fitri menjadi 2 hari libur nasional. Jadi, kita patut berterimakasih pada Buya HAMKA dan semua yang dulu menyetujui penetapan 2 hari libur nasional. At least, kita dapat 2 hari libur ekstra tanpa harus mengurangi hak cuti tahunan.

=================================================

Perbedaan penetapan Idul Fitri yang paling menghebohkan yang saya tahu ya 3 tahun lalu, tepatnya Idul Fitri 2011. Saat itu saya sedang beribadah umroh dan sedang berada di Mekkah. Malam hari, masuk beberapa SMS dari teman-teman yang isinya senada : menanyakan apakah di Mekah besok (Selasa, 30 Agustus 2011) sudah Idul Fitri. Saya heran juga, kenapa semalam ini teman-teman masih bertanya? Saya jawab “iya, kami besok insya Allah akan sholat Ied di Masjidil Haram”. Sebagian teman menjawab bahwa di Indonesia masih ‘kacau’. Saya kurang paham apa maksudnya. Karena sudah terlalu malam dan masih sibuk berkemas untuk pulang esok harinya, saya malas bertanya lebih jauh.

Selasa siang, kami meninggalkan Mekah menuju Jeddah dan malam harinya kami pulang ke Indonesia. Tiba di bandara Soetta Rabu sekitar jam 10 pagi, katanya mayoritas masyarakat Muslim Indonesia baru sholat Ied tadi pagi. Malam harinya, saya menonton siaran TV, hampir semua memberitakan kisruhnya penetapan Idul Fitri. Bahkan sebuah stasiun TV yang menyuguhkan acara bincang-bincang santai berbalut candaan, menyindir Indonesia yang hari itu jadi 1 dari hanya 4 negara di dunia yang merayakan Idul Fitri belakangan. Bahkan kaum Muslim Amerika Serikat dan WNI Muslim yang tinggal di USA, yang notabene selisih sekitar 12 jam-an dari Indonesia, juga sudah merayakan Idul Fitri kemarinnya. Begitupun kaum Muslim di Malaysia, Singapura dan Brunei Daarussalaam yang terletak satu gugusan dengan Indonesia.

Belakangan, saya dengar cerita dari teman-teman, katanya malam itu putusan sidang istbat tak segera bisa diumumkan. Akibat perdebatan berkepanjangan sampai lewat jam 9 malam untuk penentuan 1 Syawal di tahun 2011, akhirnya Indonesia malah jadi negara “aneh” dimana hampir seluruh ummat Islam sedunia saat itu berlebaran Idul Fitri pada hari Selasa, 30 Agustus 2011, sedangkan ummat Islam Indonesia sebagian besar, terpaksa mengikuti Pemerintah dan baru berlebaran pada Rabu, 31 Agustus 2011. Dari situlah kemudian muncul joke : “THR = Ternyata Hari Rabu”. Sebab sebenarnya hampir semua orang sudah bersiap berlebaran hari Selasa, karena tanggal merah di kalender sudah dibuat tanggal 30 dan 31. Sehingga semua punya persepsi : lebaran hari pertama jatuh pada tanggal 30, hari Selasa.

Akibat molornya keputusan sidang istbat, maka mereka yang akan berlebaran hari Rabu pun sudah terlalu malam untuk sholat tarawih. Kabarnya, beberapa masjid penuh dengan jamaah yang bingung menanti : antara menanti untuk segera bertakbir atau memulai sholat taraweh. Akhirnya banyak juga yang tidak taraweh berjamaah malam itu. Banyak cerita lucu lainnya yang saya dengar dari tetangga. Ibu Wawan yang tiap lebaran pulang ke Bandung cerita : keluarga ortunya tiap lebaran selalu membuat tungku besar untuk merebus ketupat dan memasak opor bagi semua anak dan cucu yang berkumpul di hari lebaran. Karena malam itu semua terpaku di depan TV menunggu pengumuman sidang istbat, semua makanan itu lupa dipanasi, akibatnya esok harinya basi. Mau ke pasar untuk membeli ayam lagi sudah tak mungkin, pasar tradisional sudah tutup. Akhirnya, mereka ke supermarket besar dan ternyata disana banyak yang antri membeli ayam. Meski bukan dengan alasan basi, rata-rata ketupat dan opor ayam terpaksa dimakan untuk sahur di hari Selasa. Untuk lebaran di hari Rabu, terpaksa masak lagi. Dan masih banyak lagi cerita lucu akibat tak segeranya hasil sidang istbat diumumkan, sehingga ummat Islam pun tak bisa segera mengambil sikap.

Semoga saja kejadian seperti Idul Fitri 2011 tak terulang lagi. Tahun 2012 dan 2013 kemarin, mayoritas ummat Islam juga berbeda dalam permulaan Ramadhan, namun bisa bersamaan saat merayakan Idul Fitri. Apapun keputusan sidang istbat nanti malam, yang rencananya akan disampaikan Menteri Agama jam 19.30 WIB, saya ucapkan MARHABAN YAA RAMADHAN MUBARRAK… Selamat menunaikan ibadah puasa bagi sahabat Kompasianer dan pembaca yang menjalankannya, baik yang akan memulai puasa pada esok hari Sabtu maupun mungkin ada yang memulai puasa hari Minggu, jika hilal belum terlihat. Mohon dimaafkan segala salah dan khilaf saya selama berinteraksi baik di dunia maya maupun saat kopdar. Semoga kita semua diberikan kesempatan, kesehatan, kekuatan dan ketentraman dalam menjalankan ibadah puasa. Ada hikmah yang bisa diambil dimana Ramadhan tahun ini kita melaksanakan Pilpres, semoga bisa berlangsung dengan aman dan damai. Amiiin yaa Robbal ‘alamiiin…

Catatan Ira Oemar
×
Berita Terbaru Update