Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pelita Dua Generasi: Menyusuri Jejak Leonardy dalam Langkah Aprinaldi

16 Mei 2025 | 16.5.25 WIB Last Updated 2025-05-15T21:09:33Z


Di pagi yang tenang, di jantung kota Padang yang mulai beranjak siang, Kamis 15 Mei 2025—hari Jupiter dalam terminologi Vedic Jyotish bersimbol guru—Ketua DPRD Kabupaten Padang Pariaman, Aprinaldi, S.Pd, M.Pd, AIFO, melangkah memasuki kediaman seorang tokoh yang namanya telah terpahat di banyak palung sejarah Sumatra Barat: H. Leonardy Harmainy, S.Ip, M.H, Dt. Bandaro Basa.


Pertemuan itu lebih dari sekadar silaturahmi biasa. Ia menjadi jembatan waktu, menghubungkan dua generasi, dua aliran zaman yang berbeda, tapi sama-sama mengalir ke satu muara: pengabdian. Dalam ruang itu, yang hadir bukan hanya sosok fisik, tapi juga warisan, memori, dan harapan yang menempel erat.


Leonardy bukan sekadar nama. Dia adalah legenda hidup dalam sejarah politik Sumbar. Dari kursi Ketua DPRD, dua periode di DPD RI, hingga pucuk pimpinan Golkar dan Pemuda Pancasila, jejaknya panjang dan sarat makna. Dia bukan politisi biasa. Dia penjaga prinsip, pelita di tengah gelapnya permainan kekuasaan. Bagi Leonardy, kekuasaan bukan hak, melainkan kewajiban moral yang harus dipikul dengan teguh dan integritas.


Bagi Aprinaldi, Leonardy bukan sekadar senior–dia adalah abang ideologis, mata air hikmah yang tetap jernih mengalir meski telah diterpa berbagai musim kehidupan. Ikatan mereka terajut sejak lama, bermula dari medan kepemudaan yang penuh semangat dan perjuangan. 


Ketika Leonardy memimpin MPW Pemuda Pancasila Sumbar, ia dengan penuh keyakinan menyerahkan tongkat estafet jabatan Ketua SAPMA PP Sumbar kepada seorang mahasiswa muda UNP bernama Aprinaldi. Kepercayaan itu lahir bukan dari sekadar kalkulasi struktural, melainkan dari kedalaman intuisi dan rasa.


Leonardy mengenang satu momen sederhana namun membekas: saat paduan suara SAPMA menyanyikan “Padamu Negeri” begitu lirih, menyentuh lapisan batin terdalam—hingga ia menunduk, menahan air mata–yang luruh pelan. Sejak itu, ia tahu, pemuda itu tidak sekadar bersuara. Ia membawa jiwa.


Kini Aprinaldi telah matang. Di usia 42, ia menjadi salah satu pemimpin muda dengan rekam jejak yang kokoh. Di usia 30, ia sudah menoreh sejarah sebagai Ketua KONI Padang Pariaman. Dari sepak bola yang merebut emas Porprov, hingga panahan, Wushu, dan Taekwondo yang membawa nama daerah–bahkan negara–ke pentas yang lebih tinggi. Ia tak hanya membina atlet, tapi menyalakan keberanian untuk bermimpi dalam dada generasi muda.


Dalam perbincangan hangat hampir empat jam itu, pemegang sabuk hitam Dan VIII Karate ini berpesan bahwa jabatan adalah titipan Ilahi, bukan milik pribadi. Ia menyebut 103 nagari di Padang Pariaman bukan sebagai angka statistik, tetapi sebagai entitas hidup yang bernafas, memiliki cerita, luka, dan doa. Seorang pemimpin, katanya, harus bisa mendengar bisik tanah, bukan hanya gemuruh tepuk tangan.


Leonardy bukan orang asing bagi Padang Pariaman. Meskipun berasal dari Koto Gadang, Agam, ia adalah menantu mendiang Kolonel Anas Malik–sosok visioner yang dijuluki bapak pembangunan Padang Pariaman. Dari sang mertua, Leonardy tak hanya mewarisi nama besar, tetapi juga cara berpikir: bahwa membangun bukan sekadar membenahi jalan dan jembatan, tetapi memulihkan martabat dan merawat rasa. Ia mengenal nagari-nagari di Padang Pariaman bukan lewat peta, tapi lewat tapak kaki dan tatap mata.


Nilai-nilai yang ia tanamkan tak berhenti di dirinya. Generasi yang pernah ia bimbing kini tumbuh dalam banyak medan: dari parlemen, lembaga vertikal, pemerintahan, hingga lembaga sosial. Mereka adalah nyala kecil yang terus menjaga api agar tak padam.


Obrolan mereka meluas hingga ke ranah yang lebih sunyi: budaya. Basapa, Maulid Nabi, manjapuik maulid, malapeh maulid—semuanya dibicarakan bukan sebagai seremoni, tetapi sebagai denyut spiritual masyarakat. Aprinaldi menegaskan bahwa pelestarian budaya adalah bagian dari politik yang bijak. "Tak ada kebijakan yang luhur jika tercerabut dari akar budayanya," ucapnya. Leonardy mengangguk, perlahan, seperti mengamini dari kedalaman waktu.


Bagi keduanya, Padang Pariaman tetap menyala karena nilai-nilai itu dijaga: di surau, di laga-laga, dan dalam diri orang-orang yang masih percaya.

Pertemuan ini menjadi semacam pelita dalam keremangan zaman. Leonardy adalah penjaga nyala lama; Aprinaldi adalah angin yang meniupkannya kembali agar terus menyala. Dua generasi dalam satu ruh: mewariskan, menyambung, dan menjaga.


Dari ranah Minang—perjalanan belum usai. Selama masih ada pemuda yang bersujud dalam ilmu dan orang tua yang bersandar pada nilai, maka sejarah tak akan ditulis oleh tinta kekuasaan semata, melainkan oleh getaran jiwa yang setia pada tanah yang melahirkannya.


Pertemuan itu berakhir tanpa gemuruh. Tak ada tepuk tangan, tak ada sorotan kamera. Hanya dua orang yang saling paham, saling berbagi pandangan, dan menyusun kembali benang-benang niat yang pernah ditanam bertahun-tahun lalu.


Aprinaldi berpamitan, menyalami Leonardy dengan takzim. Di matanya ada kilat tekad, di dadanya terpatri pesan: bahwa jabatan boleh datang dan pergi, tapi nilai tak bisa ditawar. Ia tahu, langkah ke depan akan penuh tantangan. Tapi ia juga tahu, ia tidak berjalan sendirian.


Leonardy berdiri di ambang pintu, menatap ke luar sejenak sebelum kembali ke dalam. Tak banyak kata. Ia tahu waktunya perlahan bergeser ke belakang layar. Tapi ia juga tahu, panggung masih butuh penjaga nilai. Dan selama ada yang bersedia memanggulnya, api itu tak akan padam.


Di tengah kesibukan kota yang terus bergerak, pertemuan itu menjadi simpul kecil dari perjalanan panjang: menyambung masa lalu, memberi makna pada hari ini, dan menyiapkan arah untuk besok. 


Tak ada yang istimewa bagi dunia, mungkin. Tapi bagi tanah yang mereka pijak, itu cukup: satu hari, dua jiwa, satu niat yang tak berubah: mengabdi. (*)


×
Berita Terbaru Update