Foto/ilustrasi/istimewa |
Kejadian seperti ini, mula pertama terjadi di Kota Pariaman pasca Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disahkan. Pengesahan APBD dalam undang-undang ini memeberi batas waktu harus disahkan satu bulan jelang penutupan tahun anggaran, atau per tanggal 30 November.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebagai produk hukum pemerintahan daerah juga mengatur sanksi. Sanksi jika setiap daerah telat pengesahan APBD, diganjar dengan tidak membayarkan hak-hak keuangan kepala daerah--dalam hal ini juga wakilnya---dan seluruh anggota DPRD di tingkat provinsi/kabupaten dan kota di seluruh wilayah Indonesia selama enam bulan.
Lalu bagaimana kelanjutan pembangunan setelahnya. Dalam undang-undang itu juga, selain menjatuhkan sanksi juga memberi opsi lanjutan demi kelanjutan pembangunan di daerah. Jika APBD gagal disahkan oleh eksekutif dan legislatif, maka anggaran tahun selanjutnya bisa dibuatkan melalui peraturan kepala daerah disingkat perkada---kalau di Pariaman berwujud nama perwako. Perkada tersebut nantinya akan menjadi pengesah APBD Kota Pariaman tahun 2018.
Dalam perkada, nominal anggaran yang akan disahkan tidak boleh melebihi anggaran tahun sebelumnya. Karena gagal pengesahan adalah APBD Kota Pariaman 2018, maka nilai nominal APBD oleh perkada, tidak boleh melebihi nominal APBD Kota Pariaman tahun 2017. Dalam hal ini tidak ada peningkatan belanja daerah dari tahun sebelumnya.
Mari kita lihat fakta yang terjadi dengan menyandingkan Permendagri tentang pedoman penyusunan APBD. Jika kesepakatan KUA (kebijakan umum APBD) PPAS (prioritas dan plafon anggaran sementara) diteken tanggal 23 November, bermakna tahapan tersebut sudah telat.
Untuk tahapan tersebut, antara eksekutif dan legislatif Pariaman telah meneken KUAPPAS sebelum tanggal batas akhir tersebut. Jadi, tidak ada persoalan dalam mekanisme tahapan APBD. APBD Kota Pariaman tidak memenuhi unsur keterlambatan, tapi tarik menarik kepentingan antara eksekutif dan legislatif.
Yang menjadi persoalan mendasar dalam pengesahan APBD Kota Pariaman tahun 2018 sudah dapat diduga jauh hari sebelumnya. Adalah rencana pembangunan masjid terapung di Pantai Gandoriah. Untuk diketahui, anggaran pembangunan masjid terapung sudah dianggarkan sebelumnya pada APBD tahun 2017. Namun karena belum siapnya analisis dampak lingkungan (Amdal) pembangunan batal dilaksanakan.
Pembangunan masjid terapung merupakan visi misi dari walikota-wakil walikota Pariaman periode 2013-2018 yang tak kunjung terealisasi. Wacana pembangunan masjid terapung disambut baik oleh segenap masyarakat Pariaman. Namun untuk membangunnya, dibutuhkan berbagai dokumen karena kota Pariaman berada di kawasan zona mitigasi gempa. Dalam hal ini terlihat jelas benang merah perbedaan pendapat antara walikota dan DPRD dalam memandang suatu persoalan.
Bagi walikota Pariaman sendiri Mukhlis Rahman, tidak ada salahnya mengesahkan anggaran pembangunan masjid terapung sementara pembuatan Amdal sedang berlangsung di tahun anggaran 2017. Sedangkan pihak DPRD berargumen Amdal mesti ada dahulu, baru disahkan dengan alasan tidak ingin kena masalah hukum di kemudian hari.
Perbedaan tersebut seharusnya bisa disatukan jika eksekutif dan legislatif menempuh opsi ketiga yakni meminta pendapat pakar hukum dan pengacara negara (jaksa) tentang ketakutan dewan mengesahkan anggaran terkait persoalan hukum Amdal. Asalkan kedua belah pihak akan menerima keputusan/petunjuk para ahli hukum tersebut. Tentunya duduk semeja diperlukan dalam hal ini.
Pandangan awam, APBD tahun 2018 penuh muatan politis jelang pilkada Pariaman dan penghujung jabatan Mukhlis Rahman sebagai walikota. Banyak kalangan menilai, Mukhlis tidak perlu lagi ditakuti karena jabatannya akan berakhir beberapa bulan lagi.
Jika hal tersebut benar adanya, tentu hal tersebut sangat disayangkan. Mengesampingkan peran Mukhlis dalam membangun Pariaman dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir, adalah tanda ketidakbijaksanaan dalam cara berfikir.
Penulis: Ikhlas Bakri
Editor: Ikhlas Bakri