Nama pria berbadan kurus ini adalah Jasmin acap digelari dikalangan pebisnis dan pencinta batu akik Amin si Raja Bacan. Jasmin lahir di Ketaping Padangpariaman pada Tahun 1970. Amin adalah pebisnis batu akik. Berpuluhan tahun dia menjalani usaha batu akik. Pahit getir, jatuh bangun bisnis batu akik pernah dia jalani. Dari miskin hingga kaya raya bisnis batu akik pernah dia rasakan.
Amin berasal dari Simpang Setia, Jembatan Lating, Padangpariaman. Sewaktu kecil dia hidup miskin. Kehidupan berat sejak kecil telah dia jalani. Sekolah sembari bekerja mencari kayu dan mencari belut pernah dia lakoni. Pekerjaan rumahtangga dia kerjakan. Memasak sambil menggendong adik adalah hari harinya. Karena tak tahan, setamat SD waktu kecil Amin tidak melanjutkan sekolah. Kala itu dia bersama orangtuanya menjaga kebun sawit di bilangan Ketaping sebelum diusir pamannya. Dia beserta keluarga akhirnya pindah ke Simpang Setia menghuni pondok kayu bekas kandang ayam berlantai tanah di tanah kelahiran ibunya. Hidup berteman lipan, tikus atap bocor menghiasi kehidupan mereka sekeluarga di masa itu. Hidupnya getir berteman airmata.
Setelah memutuskan berhenti sekolah, Amin kemudian bertekad membantu ibunya menghidupi adik-adiknya. Amin siang malam bekerja keras banting tulang. Dia dan adik-adik sejak kecil telah ditinggal pergi begitu saja oleh ayahnya. Sang ayah tidak bertanggungjawab. Beristri dua. Tiap hari Amin mencari kayu bakar dan juga
mencari belut untuk dijual.
Di usia belasan tahun, Amin kemudian diajak oleh pamannya belajar mengasah batu akik di Pasar Pariaman. Amin begitu bersemangat belajar mengasah batu cincin. Dalam waktu tak terlalu lama, Amin sudah bisa mengasah batu dan hasil asahannya sudah cukup bersih.
Setelah merasa kemampuan mengasah batunya sudah cukup bagus serta yakin sudah punya bekal bagaimana menjalankan bisnis batu akik, sekitar tahun 1987 Amin pamit kepada pamannya untuk pergi menjalankan usaha batu akik sendiri di luar kota.
Dengan modal pas-pas-an yang dikumpulkan saat bekerja dengan pamannya, Amin kemudian membeli batu-batu akik obralan dan cetakan. Lalu dia berkeliling berjualan dari kota satu ke kota lain di berbagai provinsi di Pulau Sumatera. Antara ain di Pekanbaru,
Jambi, Palembang dan Padang. Dia terbiasa berjalan kaki hingga puluhan kilometer.
Awalnya, bisnis batu akiknya berjalan aman dan lancar. Usahanya sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Namun, karena semakin hari semakin berubah trend mode dan minat masyarakat terhadap batu cincin akik mengalami kemunduran, usaha Amin-pun akhirnya bangkrut.
Bangkrut di usaha batu akik di Pulau Sumatera, sekitar awal tahun 90-an, Amin kemudian memutuskan ingin mencoba mengadu nasib ke Tanah Jawa. Niatnya ke Jawa sama, yakni ingin kembali melanjutkan usaha dan bisnis batu akik yang sempat bangkrut. Dia hanya bermodal keahlian mengasah batu, naluri bisnis dan kejujuran.
Dengan modal kemampuan mengasah batu dan pengetahuan bisnis batu akik yang didapat dari paman dan dari pengalaman berjualannya di Pulau Sumatera, Amin ingin masuk pasar Jakarta untuk merubah jalan hidupnya. Pahit getir hidup di Jakarta bertahun-tahun dia lalui.
Pertama datang ke Jakarta, Amin tidur menumpang berpindah-pindah di rumah temannya. Sebelum masuk ke pasar batu akik terkenal Rawa Bening, Jati Negara, Amin buka lapak kaki lima di lapangan rumput, Jl. Jendral Oerip Soemohardjo, 5 Km dari Rawa Bening. Disana dia membuka asah batu sendiri usai pecah kongsi dengan induk semang pertamanya Sumardi. Dengan modal peralatan dan kemampuan mengasah batu dia menerima upah mengasah dari konsumen.
Saat itu di awal tahun 90-an lapangan rumput, Jl. Jendral Oerip Soemohardjo, jumlah pedagang belum sebanyak sekarang. Paling banyak waktu itu jumlah pedagang sekitar 10 orang saja. Di sana dia menerima upah asah bergantian dari toke satu ke toke lain. Penghasilannya pas-pas untuk makan sehari-hari saja.
Di sana Amin kenal dengan seorang penjual batu akik, pak Ali namanya. Mereka berteman akrab hingga sekarang. pak Ali orangnya rendah hati suka membantu teman. Dia tipe orang yang mau berkorban.
Saat berjualan batu akik bersama pak Ali di Lapangan Urip, Amin berkenalan dengan pak Bunbun warga Betawi yang berprofesi sebagai tukang bangunan dan bekerja di Garut, Jawa Barat. Melihat kemampuan Amin mengasah batu, pak Bunbun kemudian menceritakan perihal batu Garut kepada Amin.
Sampai akhirnya, Amin tertarik dengan cerita pak Bunbun. Amin kemudian diajak oleh pak Bunbun pergi ke Garut melihat langsung bagaimana batu akik asal Garut itu ditambang. Di Garut, Amin kemudian dikenalkan kepada seorang bos batu akik Garut bernama pak Lurah alias Abdul Qodar.
Abdul Qodar alias pak Lurah adalah seorang kepala desa di Kecamatan Caringin, Garut. Pak Lurah adalah bos besar batu akik galian Garut. Pak Lurah saat itu menguasai tambang dan bisnis batu akik Garut. Mulai dari jenis pancawarna hingga batu hijau Garut.
Amin kemudian bekerja mengasah batu untuk pak Lurah. Karena asah batunya yang bersih dan bagus, Amin sangat disayangi oleh pak Lurah. Amin mendapat tempat di hati pak Lurah. Amin kemudian dipercaya ikut memasarkan batu akik galian Garut sampai ke Jakarta.
Amin kemudian diberi modal batu akik oleh pak Lurah. Amin lalu bolak balik Garut-Jakarta memasarkan batu Garut. Amin adalah orang pertama mengasah batu di Garut kala itu. Dia tak sungkan mengajarkan keahliannya pada warga setempat. Dia yang mengasah dan memasang ikat sendiri lalu memasarkannya di Pasar Rawa Bening Jati Negara. Modal dari pak Lurah hanya pas-pas-an dan cukup hanya untuk makan.
Di tengah usahanya mengawali bisnis batu akik Garut, Amin jatuh cinta kepada seorang gadis asal Garut bernama Daryati alias Dadar yang kemudian menjadi istri pertamanya. Teh Dadar dinikahi Amin pada usia 16 tahun. Teh Dadar kelahiran 1975, asli orang Caringin, Garut.
Amin kenal dengan Dadar karena almarhum istrinya itu bekerja di rumah makan dan Amin sering makan di rumahmakan tersebut. Sejak awal bertemu dan berpandang mata, Amin dan Dadar sudah sama-sama jatuh cinta. Cuma, keduanya sama-sama tak berani mengungkapkan perasaan masing-masing.
Kemudian, Amin kenal dengan seorang bos besar batu akik warga keturunan Tionghoa bernama Edi Aqued. Edi adalah pakar batu di Rawa Bening, Jati Negara, Jakarta. Edi Aqued sanggup memodali Amin dalam jumlah besar. Syaratnya asal Amin mau diajak ke lokasi tambang Garut.
Berangkatlah Amin dan Edi Aqued ke Garut. Amin diberi modal Rp900 ribu oleh Edi Aqued kala itu. Sesampai di Garut, uang pinjaman Edi bukannya untuk membeli bahan batu akik, tapi oleh Jasmin dijadikan modal untuk menikahi Dadar wanita pujaan hati yang telah lama dicintai Amin di Garut.
Aminpun memberanikan diri melamar Teh Dadar. Namun, persoalan muncul. Keluarga Teh Dadar yang saat itu sedang bermasalah. Teh Dadar tak tinggal di rumah orangtuanya. Ada pertentangan soal rencana perkawinan Amin dan Dadar.
Amin tak punya KTP dan syarat administrasi lainnya. Dadar sempat kabur. Dadar bahkan sempat dicari- cari oleh polisi, karena diduga bunuh diri. Akhirnya Edi Aqued menjaminkan diri untuk menikahkan Amin dengan Dadar.
Jadilah Amin dan Dadar menikah. Awal menikah, Amin tetap bolak balik bisnis batu akik Garut-Jakarta. Teh Dadar tetap tinggal di Garut. Sepekan bolak balik Garut-Jakarta, Amin merasa berat. Waktu habis di jalan saja. Amin kemudian memutuskan membawa Teh Dadar ke Jakarta.
Saat membawa istri ke Jakarta, tempat tinggal tetap belum ada. Akhirnya memilih menumpang di rumah kontrakan kawan. Kawan tersebut sangat pengertian, Amin diberi kesempatan tinggal di rumah kontrakan ukuran kecil tersebut bersama istri. Sedangkan dia sendiri tidur di tempat lain.
Sejak menikah dengan Teh Dadar, Amin mulai sungguh-sungguh melakoni bisnis batu akik, khususnya batu Garut. Sedikit demi sedikit rezekinya mulai mengalir. Uang hasil bisnis batu akik dikumpulkan, lalu dibelikan sebidang tanah dan kemudian dibangun rumah di daerah
Pondok Kopi, Jakarta Timur.
Di rumah di Pondok Kopi itu kemudian dibuat tempat usaha. Dia bersama temannya bernama Awal kemudian tekun menjalani bisnis batu akik. Amin jadi pengrajin, mulai belajar membuat ikat cincin, gagang cincin lalu temannya Awal memasarkan ke Rawa Bening.
1994 booming-lah batu akik jenis pancawarna jenis Edong dari Garut. Saat itu dia masih bolak balik ke Garut. Namun, masih fokus pada batu hijau Garut. Bacan saat itu belum dikenal di pasar Jakarta. Bahan batu akik Edong itu dia terima berton-ton banyaknya.
Bahan tersebut kemudian dibawa dengan truk ke Jakarta atas perintah pak Lurah. Bahan batu galian Edong itu dibeli Rp12 juta satu truk, uangnya boleh diangsur. Nama batu akik pancawarna Edong, Amin-lah yang memperkenalkan kepada pasar di Rawa Bening. Batu Edong ditemukan oleh pak Edong, orang yang pertama mendapatkan dan punya lahan tambang, di Bukit Kencana, Desa Sukarame, Caringin, Garut.
Bahan batu Edong yang berton-ton tersebut kemudian diolah oleh Amin bersama teman akrab sebayanya Awal. Amin bersama beberapa karyawan dari Garut mengasah dan memasang ring cincin sendiri. Bahan yang telah selesai diolah jadi cincin kemudian dipasarkan oleh Awal ke Rawa Bening.
Saat itu bahkan saking banyaknya bahan, batu Edong dijual dengan sistem kodian. Sekodi dijual mencapai harga Rp500 ribu. Sekarang, kualitas batu seharga itu jika dijual bisa laku puluhan juta bahkan ada yang sampai harga setengah milliar rupiah per-bijinya.
Amin tak tertarik untuk turut berjualan di Rawa Bening. Pemasaran Rawa Bening dia serahkan ke temannya Awal. Amin sendiri kemudian mengumpulkan batu akik yang telah jadi cincin-cincin telah siap olah, yang sebagian besar berkualitas tinggi.
Mulai dari jenis pancawarna Garut Edong, batu akik hijau Garut dan dari jenis lain, kemudian dia memilih pergi berjualan ke daerah-daerah yang baru booming batu akik. Dia berjualan sampai ke Kalimantan, Sulawesi, Surabaya dan daerah lainnya.
Suatu hari di tahun 1995 Amin pergi berjualan ke Surabaya. Saat itu dia membawa satu tas besar berisikan cincin dan bahan batu akik berkualitas super untuk dijual. Tas tersebut entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja hilang. Selain barang jualan, dalam tas
tersebut juga ada uang, peralatan dan pakaian Amin. Kalau ditaksir nilai barang yang hilang dalam tas mencapai Rp30 juta saat itu.
Usai kehilangan tas tersebut, Amin stress. Lama sekali dia stress pasca kejadian kehilangan tas tersebut. Modal yang dia kumpul-kumpulkan selama ini habis hilang. Amin kemudian memilih pergi menenangkan diri dengan pulang kampung ke Pariaman. Di Pariaman kemudian terpikir oleh Amin untuk bekerja ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Tak mau larut dalam duka nestapa, Amin kemudian memutuskan kembali ke Jakarta dan akan melakoni kembali bisnis batu akik. Dia mulai kembali usaha dari nol. Dengan modal kejujurannya, dia kembali dapat kepercayaan dari bos-bos batu Garut. Dia kemudian diajak bekerjasama mengolah bahan-bahan milik bos batu tersebut. Sebagian bahkan Amin dipercaya oleh bos turut memasarkannya.
Tak berselang lama, Amin kembali mampu mengumpulkan uang dan punya modal membeli sendiri bahan kepada bos-bos tambang di Garut. Bahan dia olah, asah, ikat dia siapkan dan batu cincin itu dia pasarkan sendiri. Ekonominya kembali menggeliat. Bisnis batu akiknya kembali menjanjikan.
Pada akhir tahun 1999 masalah besar terjadi dengan bisnis batu akik Amin. Bahan baku batu akik asal Garut mulai susah didapat. Tahun 2000 hampir seluruh tambang batu akik di Garut tutup, karena sudah semakin dalam penggalian. Amin kembali stress memikirkan bahan baku. Dia sendiri waktu itu bukan penjual batu tok, tapi adalah seorang pengrajin yang sangat membutuhkan pasokan bahan baku.
Menjelajah Mencari Batu Bacan
Di tengah kegalauan tersebut, Amin teringat sebuah jenis batu baru yang dibawa temannya dari Surabaya. Batu tersebut jenisnya hampir sama dengan batu hijau Garut. Kawannya itu mengatakan, nama batu itu Bacan. Stoknya cukup banyak waktu itu. Amin kemudian membeli batu tersebut, lalu mengolah dan memasarkan di Rawa Bening.
Saat itu tahun 2000, konsumen batu akik di Pasar Rawa Bening, Jakarta khususnya belum kenal dengan nama batu Bacan. Untuk mengakali pemasaran, Amin kemudian menyebutkan bahwa batu jenis baru yang dia pasarkan itu adalah batu hijau Garut. Karena disebutkan batu Garut, batu hijau jenis Bacan itu kemudian cukup laku dijual di Pasar Rawa Bening. Cukup banyak peminatnya saat itu.
Stok bahan Bacan yang dibeli dan dijual kodian tersebut kemudian habis. Pasca kemunduran batu akik asal Garut, Amin kembali menaruh harapan kepada batu hijau jenis Bacan yang dia dapat dari kawannya tersebut. Amin kemudian memutar otak, dia punya keinginan untuk pergi langsung ke daerah asal batu Bacan itu.
Berbekal kemampuan, keahlian dan pengetahuannya yang matang tentang ilmu batu akik, dalam dirinya muncul semangat optimisme bahwa batu jenis Bacan tersebut kedepan akan jadi batu akik mahal dan digilai konsumen.
Batu jenis Bacan baginya adalah harapan kedua setelah batu Garut. Semakin lama mempelajari seluk beluk jenis batu Bacan, semakin kuat keinginannya untuk datang daerah asal batu tersebut.
Lama Amin mempersiapkan diri untuk bisa mewujudkan harapannya bisa pergi langsung mendapatkan bahan batu akik jenis Bacan di daerah asalnya. Berbagai persiapan dia lakukan. Amin kemudian mempelajari seluk beluk geografis dan bagaimana akses dia bisa sampai ke daerah asal batu Bacan tersebut.
Amin kemudian silih berganti membeli peta dan bola dunia untuk mencari pulau yang namanya Pulau Bacan. Satu persatu peta dia pelajari. Ada lima jenis peta dia beli. Dari lima peta itu hanya satu peta yang ditemukan menuliskan adanya nama lokasi Bacan. Lokasi daerahnya di Maluku Utara, persisnya di Halmahera Selatan. Amin mulai bersemangat. Dia optimis akan mampu mewujudkan harapan besarnya.
Setelah itu, Amin mencoba mencari tahu lebih detail lagi tentang nama Bacan dan jenis batu akik hasil tambang disana. Dari rekan-rekannya didapat informasi bahwa daerah tersebut sangat jauh. Datang ke sana nyawa akan jadi taruhannya. Selain letaknya jauh di kepulauan Maluku, keamanan di daerah sekitar saat itu masih belum stabil pasca kerusuhan SARA Ambon 1999.
Sedikit demi sedikit Amin mulai mendapatkan akses lokasi Pulau Bacan. Mulai dari akses transportasi menuju kesana, hingga jalur-jalur laut yang akan ditempuh untuk bisa sampai ke pulau-pulau penghasil tambang
batu Bacan tersebut.
Jalur yang akan ditempuh Amin, dari Jakarta harus naik pesawat ke Manado dulu. Pesawat ke Menado saat itu hanya terbang sekali sepekan. Sekarang kalau kesana, pesawat sudah bisa tujuh kali sehari. Amin membuat analisa sendiri.
Dari Manado ke Ternate ibukota Provinsi Maluku. Perjalanan ke Ternate dilanjutkan dengan kapal laut. Sedangkan, perjalanan menuju pulau-pulau kecil disana, nantinya akan disiapkan di lokasi saja. Begitu setidaknya analisa awal perjalanan dibuat oleh Amin.
Niatnya berangkat ke Pulau Bacan Halmahera Selatan semakin kuat. Sekuat keinginannya berangkat, sekuat itu pula teman dan sejawatnya melarang. Teman-teman mengingatkan Amin bahwa perjalanan kesana sangat berat, bisa-bisa nyawa akan melayang.
Semua apa yang dikatakan temannya itu tak digubris oleh Amin. Dalam hati Amin sudah punya tekad bulad bahwa dia berangkat ke Pulau Bacan untuk merubah hidup. Prinsipnya, dalam memperjuangkan nasib dan hidup, mati sekalipun tak gentar dia. Semua akan dia hadang.
Jadilah tahun 2003 Amin memulai penjelajahan panjangnya mencari sumber harta karun batu akik jenis Bacan ke Halmahera Selatan, Provinsi Maluku. Dari Jakarta ke Menado, dari Menado ke Ternate hampir dua minggu perjalanan laut dia habiskan.
Singkat cerita, akhirnya Amin sampai juga di Pulau Kasiruta, tepatnya di Desa Doko dan Desa Palamea, Kecamatan Bacan, pulau-pulau kecil penghasil tambang batu akik jenis Bacan yang kini terkenal itu. Amin senang luar biasa, saat bisa menginjakan kaki di pulau impiannya
itu.
Sepanjang perjalanan berhari-hari dan singgah-singgah dari Ternate hingga sampai ke Bacan, yang dicari Amin hanyalah lokasi tempat mengasah batu, dimana dia bisa menemukan bahan-bahan batu Bacan. Saat itu sudah cukup banyak pengrajin dan bahan batu Bacan eksis di sana, khususnya di Labuha, Pulau Bacan.
Melihat bahan-bahan batu Bacan beredar di pasaran lokal, Amin sudah amat senang sekali. Dia datangi para pengrajin batu, lalu bertanya panjang lebar seluk beluk batu tersebut. Saat itu dia belum berani menyatakan ingin mendapatkan jenis bahan batu tersebut. Padahal
keinginannya sudah tak terbendung.
Keinginan Amin datang ke Bacan selain untuk mengumpulkan bahan batu Bacan, dia juga ingin melihat langsung bahkan mendapatkan langsung bahan batu Bacan dari tambangnya. Aminpun membuat strategi bagaimana supaya mengakses lokasi-lokasi tambang batu Bacan tersebut.
Dari cerita punya cerita para pengrajin di Bacan, didapatlah informasi bahwa lokasi tambang batu Bacan tersebut terbanyak di Pulau Kasiruta namanya. Pulau tersebut merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang terdiri dari beberapa desa.
Desa tambang batu Bacan terkenal antara lain, Desa Palamea, Desa Doko dan Desa Bisori. Sedikitnya ada belasan desa di Pulau Kasiruta, namun hanya tiga desa tersebut diatas yang menghasilkan bahan tambang batu Bacan. Di Bacan Amin kemudian punya orangtua angkat yang seorang pengrajin batu Bacan juga.
Berkat orangtua angkatnya itu, Amin punya akses dengan seorang bos besar batu Bacan bernama Amin Dullah. Amin Dullah saat itu merupakan bos besar yang telah melayani pelanggan batu akik asal luar negeri. Antara lain pelanggaran dari Korea, Thailand, Singapura, Taiwan dan negara lain.
Amin Dullah seorang bos besar yang sengaja ditanam di Pulau Bacan untuk memuluskan bisnis batu akik oleh para kolektor asal luar negeri. Kalau-lah melalui tangan bos Amin Dullah, tahun 2003 itu semua urusan akan lancar. Bahan baku batu Bacan akan ada terus mengalir.
Amin Dullah orangnya temperamental. Dia sangat disegani. Anak buahnya sangat patuh padanya. Amin Dullah mengkop hampir semua tambang yang jadi sumber bahan batu Bacan. Amin menguasai bisnis batu Bacan saat itu. Namun, sekarang bos besar Amin Dullah itu sudah bangkrut.
Berkat kegigihannya, Amin bisa diterima oleh bos Amin Dullah. Amin sangat senang bisa diterima oleh bos besar sekelas Amin Dullah. Amin Dullah sendiri sangat sayang kepadanya. Amin sangat menjaga hubungan baiknya dengan sang majikan baru tersebut.
Bos Amin Dullah saat itu hanya mengkop bahan batu Bacan super yang telah kristal saja. Sedangkan, bahan batu Bacan yang masih proses dia biarkan begitu saja. Setelah kedatangan Amin, bahan batu Bacan yang masih kondisi menghitam dan dalam proses itu diberikan begitu saja kepada Amin.
Amin datang ke Pulau Bacan hanya dengan modal uang Rp3,9 juta. Untuk ongkos pulang pergi Jakarta-Bacan dan kembali ke Jakarta habis Rp2 juta lebih. Uang yang bisa dia belanjakan untuk beli bahan batu Bacan hanya Rp750.000,-. Untuk Amin diberikan bahan batu proses dalam jumlah banyak oleh bos Amin Dullah.
Cukup lama Amin tinggal menetap di Bacan, ia terus berupaya mengumpulkan bahan batu Bacan. Stok bahan batu proses yang dia dapat dari bos Amin Dullah jumlahnya sudah cukup banyak, ditambah pula bahan yang dia kumpulkan dan beli sendiri dari pengepul.
Setelah hampir setahun di Bacan, Amin memutuskan kembali dulu ke Jakarta untuk mencoba memasarkan batu akik jenis Bacan. Berat perjalanan Amin membawa batu Bacan ke Jakarta. Amin mengasah sendiri bahan batu Bacan lalu menjualnya. Harga saat itu masih kalah bersaing dengan bahan batu jenis lain.
Dari penjualan beberapa batu akik Bacan, Amin bisa mengembalikan modal pergi ke Pulau Bacan. Bahkan, bahan batu proses yang didapat gratis dari bos besar Amin Dullah, bisa dia jual dengan harga cukup tinggi di Jakarta. Akhirnya, Amin bisa mengumpulkan uang modal untuk usahanya kembali.
Bersambung..
Biography Jasmin si Raja Bacan (Pra buku Bagian Dua)
Biography Jasmin si Raja Bacan (Pra buku Bagian Tiga)
Tim/OLP