Ilustrasi siswa SUPM
Menindaklanjuti kasus kekerasan senior yang berujung kematian Yahya Suryaman (18) siswa tingkat II di Sekolah Umum Pelayaran Menengah (SUPM) Pariaman, tim Ombudsman Sumbar baru-baru ini turun ke sekolah tersebut. Tim mencari apa benar penyebab terjadinya aksi kekerasan di SUPM.
Dari penelusuran tim dan dirangkai dengan keterangan pihak sekolah, Ombudsman menyimpulkan, ada sejumlah kelemahan dan kekurangan dalam pelaksanaan sistem pendidikan di sekolah yang tata kelolanya langsung berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut.
Kelemahan dan kekurangan pelaksanaan sistem pendidikan di SUPM antara lain, lemahnya pola pengawasan, minimnya tenaga pengasuh, tak adanya perangkat dan fasilitas alat pemantau aktifitas warga kampus. Padahal sekolah menerapkan pendidikan disiplin semi militer dan rawan tindak kekerasan.
Asisten Bidang Pencegahan Ombudsman Sumbar, Adel Wahidi kemarin mengatakan, peristiwa kekerasan senior kepada junior di SUPM bukan sekali ini saja terjadi. Setidaknya sudah dua kali. Tahun 2013 lalu Ombudsman Sumbar juga pernah menerima laporan serupa.
"Bukan sekali ini saja aksi kekerasan senior kepada junior terjadi di SUPM. April 2013 lalu kita juga pernah menerima laporan dari masyarakat soal kasus serupa. Kita tindaklanjuti. Sekolah mengakui hal itu. Bahkan, senior pelaku kekerasan saat itu juga dijatuhi sanksi skorsing," kata Adel Wahidi.
Ombudsman prihatin dan sangat menyayangkan terjadinya pengulangan kasus serupa di SUPM. Padahal baru setahun berselang. Bahkan, aksi kekerasan yang terjadi sekarang dampaknya kian luar biasa. Jika dulu korbannya hanya luka memar, kini korbannya malah sampai meninggal dunia.
"Kita sangat prihatin dengan terjadinya pengulangan aksi kekerasan di SUPM. Padahal belum setahun berselang. Karena itulah kita bergerak cepat menindaklanjuti kasus ini. Kita sudah lihat langsung kondisi di lapangan dan bertemu dengan kepala sekolah dan jajaran," kata dia.
Dari penelusuran tersebut, pihaknya melihat ada persoalan serius dalam penerapan model pendidikan di SUPM, termasuk pola pengawasan terhadap aktifitas warga di sekolah tersebut. Baik itu pengawasan terhadap siswa di asrama oleh pengasuh maupun pengawasan sekolah terhadap pengasuh itu sendiri.
Dikatakan, tim Ombudsman menemukan kejanggalan dalam pola pengasuhan di asrama. Jumlah pengasuh tak sebanding dengan jumlah siswa yang diawasi. 400 orang lebih siswa hanya diasuh dan diawasi hanya oleh lima orang pengasuh. Idealnya rasio satu orang pengasuh mengawasi 35 sampai 40 siswa.
"Kita dapat bayangkan, bagaimana pola pengawasan dan pengasuhan bisa berjalan dengan baik, 400 lebih jumlah siswa tinggal di asrama hanya diawasi oleh hanya lima orang. Idealnya itu satu orang pengasuh untuk 35 sampai 40 siswa saja. Ini tidak, satu pengasuh mengawasi seratusan siswa," ujar Adel Wahidi.
Menurutnya rasio jumlah pengasuh yang mengawasi kehidupan siswa di asrama SUPM sangat tak sebanding dan proporsional. Apalagi itu dilaksanakan dalam model pendidikan boarding school yang pola asuh dan disiplin pendidikannya memakai pendekatan semi militer.
Model pendidikan dengan pola kehidupan siswa di asrama, apalagi itu diterapkan dengan disiplin semi militer pula, jelas ini sangat rentan terjadi tindakan kekerasan. Model pendidikan seperti ini benar-benar butuh pola pengawasan dan disiplin yang ketat.
Tak hanya itu, tim Ombudsman juga menemukan kejanggalan dalam pelaksanaan pengawasan oleh pengasuh di lapangan. Pengasuh sendiri tak tinggal satu gedung asrama dengan siswa yang diawasi dan diasuh. Rumah tempat tinggal pengasuh lokasinya terpisah dengan asrama siswa. Itupun jaraknya cukup jauh.
Sistem dan pola pengawasan terhadap aktivitas warga kampus juga tak didukung dengan perangkat pemantau yang memadai. Parahnya, tim Ombudsman di lapangan bahkan tak menemukan ada satupun CCTV dan perangkat pemantau lainnya untuk mengawasi aktivitas warga sekolah di gedung seluas itu.
"Banyak kelemahan, kekurangan dan kejanggalan ditemukan di SUPM. Pihak sekolah faham dan mengakui hal itu. Sudahlah SDM pengawas kurang, pengawas rumahnya jauh pula dari asrama siswa. Parahnya gedung tak pula punya CCTV untuk memantau aktivitas siswa. Ini yang membuat kekerasan terus berulang," katanya.
Ombudsman Sumbar telah meminta kepala sekolah agar memperbaiki model dan pola pengawasan serta pengasuhan kehidupan asrama siswa SUPM. Kalau pola pengawasan dan pengasuhan seperti selama ini tetap dipakai dan diterapkan, maka peristiwa kekerasan akan terus saja berulang.
"Kalau ingin tindakan kekerasan tak terjadi lagi di SUPM, pihak sekolah dan pengelola mesti merubah model serta pola pengawasan maupun pengasuhan. Tambah jumlah pengawas, pengawas harus dekat dengan siswa di asrama dan lengkapi gedung dengan CCTV pemantau," terang Adel Wahidi.
Adel mengungkapkan, selain merekomendasi perbaikan kepada pihak sekolah, hasil temuan lapangan di SUPM tersebut nantinya juga akan disampaikan kepada pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai 'induk semang' yang mengelola SUPM Pariaman.
Ia berharap pihak kementerian jangan sampai abai menanggapi persoalan tindak kekerasan yang berujung kematian siswa di SUPM Pariaman. Ini persoalan serius. Peristiwa ini tak saja berdampak pada sekolah, tapi juga bagi dunia pendidikan secara luas.
"Kita berharap pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan selaku pengelola SUPM Pariaman cepat tanggap mengatasi berbagai persoalan yang terjadi di sekolah tersebut. Jangan bisanya hanya melaksanakan sekolah secara otonom, tapi giliran pengawasan diabaikan begitu saja," tegas Adel Wahidi.
(TIM)