Meski sudah 3 kali Republik
Indonesia menggelar pemilihan Presiden secara langsung yang melibatkan
partisipasi rakyat untuk memilih calon pemimpinnya, namun Pilpres kali
ini memang terasa lain dibanding Pilpres 2004 dan 2009. Pilpres 2004
adalah Pilpres langsung pertama kali, kontestan pesertanya pun cukup
banyak, ada 5 pasangan capres-cawapres yang berlaga – itu pun setelah
sebelumnya KPU menggugurkan pasangan Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud
Ibrahim karena alasan tak lolos tes kesehatan. Dengan peserta 5
kontestan, tak pelak lagi sulit ada calon yang akan meraih suara 50%,
sehingga perlu ada putaran kedua untuk menentukan pemenang. Pada Pilpres
2009, ada 3 pasangan calon yang menjadi kontestan dan Pilpres
berlangsung satu putaran, meski saat itu tak sepi dari “tuduhan” telah
terjadi kecurangan yang masif akibat apa yang disebut “penggelembungan
DPT”.
Pada Pilpres kali ini, sejak awal
hanya ada 2 pasangan capres-cawapres yang mendaftar ke KPU. Adanya 2
calon ini membuat masyarakat Indonesia seolah terbelah menjadi 2 kubu.
Polarisasi dukungan pada kedua pasangan capres
terasa lebih heboh dan lebih melibatkan emosi masyarakat jika
dibandingkan dengan Pilpres 2004 putaran kedua yang juga hanya
menyisakan 2 pasangan capres: Megawati
Soekarnoputri–Hasyim Muzadi dan Susilo Bambang Yudhoyono–Muhammad Jusuf
Kalla. Maraknya media sosial dan media warga, turut meramaikan fenomena
dukung mendukung di ranah dunia maya. Sepuluh tahun yang lalu, saat Pilpres 2004, internet sudah masuk Indonesia, namun penggunanya masih terbatas. Media sosial pun belum marak saat itu.
Berbeda dengan Pilpres tahun
ini, karena mengerucutnya polarisasi itu, sentimen dukung-mendukung di
kalangan pengguna internet pun berdampak pada fenomena saling caci maki,
hujat, bahkan pemutusan pertemanan di dunia maya. Jimly Asshiddiqy
menilai hal ini wajar dan merupakan bagian dari proses belajar
berdemokrasi bagi masyarakat kita. Bandingkan dengan Amerika Serikat
yang sudah lebih dari dua ratus tahun merdeka, sudah lama disana partai
politik hanya ada 2 dan setiap kali pilpres calonnya selalu hanya ada 2
pasang dan biasanya relatif sama kuat. Seorang pengamat sosial pun
menilai, fenomena ‘unfriend’ di media sosial, tidak terjadi di
negara yang sudah matang demokrasinya. Sementara bagi masyarakat
Indonesia yang baru kali ini menghadapi pilpres dengan 2 pasang calon
saja, umumnya mereka juga lebih suka “harmoni”, yaitu hanya mendengar,
melihat dan membaca apa yang ingin didengarnya saja, maka relatif tidak
siap menghadapi kondisi seperti ini, hingga akhirnya ada yang memilih
memutus pertemanan ketimbang melihat postingan yang berbeda dengan yang
diinginkannya. Mungkin, kalau ke depan setiap kali pilpres kita hanya memiliki 2 pasangan capres saja, masyarakat kita akan mulai terbiasa, sehingga menyikapinya pun akan biasa saja, tak sampai terjadi permusuhan.
Banyak pula yang meramalkan,
Pilpres 2014 jumlah golput akan menurun drastis karena tingginya animo
masyarakat untuk memilih. Kedua pasangan calon sama-sama punya magnet
kuat untuk membuat warga negara yang biasanya cuek dan apatis, kini
terdorong untuk ikut datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya.
Usai Pilpres dan proses
perhitungan suara di KPU, ada kubu pasangan capres yang tidak puas
dengan hasil KPU, karena menduga ada indikasi kecurangan. Kubu
Prabowo–Hatta Radjasa menilai telah terjadi beberapa kecurangan yang
menyebabkan pihaknya dirugikan. Kemudian Prabowo-Hatta membawa masalah
ini ke Mahkamah Konstitusi. Sebenarnya, proses gugatan ke MK ini adalah hal yang wajar dan konstitusional.
Dalam berbagai ajang Pilkada di seluruh Indonesia, sudah tak terhitung
hasil Pilkada yang digugat ke MK. Sebagian dari tuntutan tersebut ada
yang dikabulkan MK, ada yang direkomendasikan untuk dilakukan PSU
(Pemungutan Suara Ulang) di beberapa daerah yang diduga terjadi
kecurangan, dll. Pilkada Gubernur Jawa Timur pada 2008 lalu, bahkan
sampai terjadi 3 putaran karena ada beberapa daerah yang harus diulang.
Dalam proses di MK, ada yang putusannya tetap memenangkan pasangan calon
yang ditetapkan menang oleh KPUD, namun ada pula yang pemenangnya
kemudian berubah.
Namun entah karena skalanya yang bersifat nasional atau karena pembentukan opini publik oleh media mainstream kebanyakan, gugatan hasil Pilpres ke MK oleh pasangan Prabowo-Hatta ini banyak yang beranggapan sebagai wujud “tidak legowo”. Padahal, sebenarnya pasangan
capres tidak menerima hasil putusan KPU dan menggugat ke MK, itu sudah
terjadi sejak Pilpres langsung pertama di tahun 2004. Waktu itu, pasangan Wiranto–Gus Sholah juga melayangkan gugatan hasil perhitungan suara pilpres ke MK yang didaftarkan pada Kamis 29 Juli 2004. Selain menggugat ke MK, Wiranto-Wahid juga mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung,
terkait keluarnya SK KPU No. 1151 Tahun 2004 tentang pengesahan kertas
suara yang tercoblos ganda. Hal itu dilakukan kubu pasangan yang diusung
partai Golkar dan PKB tersebut dengan alasan ada pelanggaran yang
terjadi selama proses perhitungan suara yang menyebabkan pasangan
Wiranto-Gus Sholah kehilangan suara yang signifikan sehingga gagal
melaju ke putaran ke dua. Saat itu Wiranto menyatakan : “Saya menggugat bukan karena kalah atau tidak mau menerima hasil suara. Saya hanya mau meluruskan lewat jalur hukum,”
kata Wiranto di Jakarta, Kamis 5 Agustus 2004. Wiranto juga menyatakan
langkahnya membawa ke proses persidangan itu adalah upaya untuk
menyelesaikan berbagai problem. “Paling tidak, saya sudah berani masuk dalam proses hukum yang benar,” katanya. sebagaimana dikutip oleh Tempo.co
Pada Pilpres 2009, kedua
pasangan lain (yaitu Megawati–Prabowo dan Jusuf Kalla–Wiranto) bahkan
sama-sama tak menerima hasil KPU dan menggugatnya ke MK. Jadi sebenarnya upaya Prabowo–Hatta membawa hasil Pilpres ke MK adalah hal yang biasa dan itu adalah bagian dari pembelajaran demokrasi.
Bukankah memang seharusnya pihak yang mengatakan telah terjadi
kecurangan berani membawanya ke jalur hukum, ketimbang hanya berteriak
curang namun tak mau berproses di depan hukum?
Ketua Bidang Hukum DPP Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Syaiful Bakhri mengatakan bahwa gugatan itu dinilai positif
untuk pembelajaran demokrasi di Indonesia agar kedepan demokrasi lebih
matang dan dewasa. Dengan begitu, penyelenggara Pemilu akan belajar
untuk bekerja secara lebih independen dan profesional. Mantan Komisioner KPU tahun 2009, I Gusti Putu Artha, dalam salah satu talk show di televisi mengatakan : “dahulu kami ‘dipecat’ secara politik oleh DPR hanya karena adanya pemilih yang menggunakan KTP saja sebanyak 450 ribu”.
Artinya : jika sekarang terjadi penambahan signifikan pemilih dalam
DPKTb (Daftar Pemilih Khusus Tambahan) yang tak memiliki Form A5 dan
hanya menggunakan KTP saja di luar KTP setempat, sampai mencapai 2,9 juta pemilih (4,5 kali lipat dari 450 ribu),
cukup layak untuk dipersoalkan. Ini bukan semata-mata hitung-hitungan
suara, namun sudahkah penyelenggara Pemilu dari pusat sampai daerah
mematuhi regulasi yang dibuat sendiri?
Jika kita cermati iklan
sosialisasi KPU yang ditayangkan media TV, dengan bintang iklan Melanie
Putria, sama sekali tak disebutkan bahwa pemilih yang belum terdaftar
dalam DPT boleh memilih hanya berbekal KTP saja, kecuali warga setempat
yang memiliki KTP setempat, itupun harus menunggu jam 12 siang, satu jam
sebelum TPS ditutup, agar tak terjadi pengerahan pemilih hanya dengan
bermodal KTP saja. Pemilih dari luar kota bisa memilih di tempat
domisilinya sekarang, dengan cara mendaftar ke KPUD setempat untuk
dicatat menjadi Pemilih Tambahan, seperti yang digambarkan dilakukan
oleh bintang iklannya. Adapun pemilih yang mobile, bisa memilih
di tempat lain dengan menggunakan formulir A5, Surat Keterangan Pindah
Memilih. Jadi cukup janggal juga jika beberapa KPUD kemudian
mengeluarkan Surat Edaran yang bertentangan dengan aturan KPU, yang justru membolehkan siapa saja, dari mana saja bisa memilih di TPS mana saja cukup dengan menunjukkan KTP atau keterangan domisili lainnya.
Apalagi jika dikaitkan dengan
kebijakan kelebihan surat suara di tiap TPS yang hanya diijinkan
sebanyak 2% saja dari jumlah pemilih dalam DPT resmi. Misalnya di satu
TPS jumlah DPT-nya ada 400 pemilih, maka kelebihan surat suara maksimal
hanya 8 lembar saja, untuk mengganti apabila ada surat suara rusak atau
pemilih dengan form A5. Namun faktanya, di beberapa TPS, jumlah pemilih dadakan yang dicatat dalam DPKTb jumlahnya bisa puluhan bahkan ratusan. Ambil contoh di
TPS 23 Kecamatan Waru, Sidoarjo, Jatim, sebagaimana diakui oleh Nanang
Haromi (anggota KPUD Sidoarjo, Jatim) yang bersaksi di MK, ada 130
pengguna DPKTb. Padahal, di TPS tersebut jumlah DPT-nya ada 493 pemilih.
Artinya maksimal surat suara cadangan hanya ada 10 lembar. Bagaimana mungkin pengguna DPKTb yang mencapai 26,3% itu bisa memilih? Anggota KPUD itu sendiri bahkan bingung menjawabnya. Apakah
KPUD sengaja mendistribusikan surat suara berlebih pada TPS-TPS
tertentu? Apakah jumlah itu sesuai dengan jumlah golput? Apakah golput
di TPS tersebut mencapai jumlah 25%an sehingga surat suara tak terpakai
bisa dialihkan pada pemilih DPKTb?
Masalah lain lagi, kebijakan
untuk mengijinkan pemilih tak terdaftar dalam DPT untuk menggunakan hak
pilih dengan menunjukkan KTP saja, ternyata bersifat tidak merata, atau
tebang pilih. Itu sebabnya penumpukan jumlah pemilih
pada DPKTb terjadi di TPS-TPS tertentu, sehingga seolah ada konsentrasi
pemilih tambahan mendadak di TPS-TPS tersebut. Salah
satu kasus dialami keponakan teman saya, mahasiswi Unair, Surabaya.
Karena masih menjalani UAS, ia baru sempat datang ke KPUD Kota Surabaya
untuk mendaftar sebagai Pemilih Tambahan pada H-8 sebelum pencoblosan.
Namun niatnya untuk mendaftar sebagai pemilih ditolak KPUD Surabaya,
dengan alasan kesempatan untuk itu sudah ditutup sejak H-10. Padahal,
iklan layanan masyarakat dari KPU tentang himbauan mendaftar DPTb, masih
ditayangkan di televisi sampai H-3. Sebagai solusinya, KPUD Surabaya
menyarankan keponakan teman saya itu untuk menunjukkan surat undangan
memilih dari daerah asalnya, sebagai bukti bahwa ia telah terdaftar di
daerah asal.
Akhirnya, keponakan teman saya menghubungi keluarganya di
Jakarta, untuk mengirim form C-6 (undangan memilih).
Dua hari kemudian, form C-6 diterima. Berbekal form C-6, ia diantar
teman saya datang ke PPS di Kelurahan setempat. Maksudnya ingin
memberitahu bahwa pada 9 Juli nanti akan ikut mencoblos di TPS terdekat.
Namun, sekali lagi Petugas PPS Kelurahan menolak. Alasannya : mereka
hanya menerima form A5 saja, sesuai aturan KPU. Tanpa A5, tak ada
dispensasi lain. Padahal, tak mungkin bagi keponakan teman saya itu
untuk pulang ke Jakarta mengurus form A5.
Namun nasib berbeda dialami
kerabatnya di kecamatan lain di Surabaya. Meski sama-sama mahasiswa
perantauan, kerabatnya itu boleh mencoblos di TPS terdekat, cukup hanya
menunjukkan KTP saja. Alasannya: si calon pemilih “kenal” dengan Pak
RT-nya. Nah, kebijakan tebang pilih seperti inilah yang
semestinya diluruskan lewat jalur hukum, agar ke depan, Pemilu demi
Pemilu, KPU sebagai penyelenggara Pemilu tidak terus menerus mengulang
kesalahan yang sama. Bukankah Pilpres 2009 dulu juga kisruh
soal issu “penggelembungan” DPT? Kali ini, DPT juga diabaikan, dengan
tingginya pemilih dalam DPKTb. Jika memang cukup bermodal KTP saja bisa
mencoblos, untuk apa susah payah menyusun DPT?
Itulah salah satu hikmah yang
bisa dipetik dengan adanya gugatan hasil dan proses Pilpres ke Mahkamah
Konstitusi. Demokrasi tanpa Pemilu itu mustahil. Tapi Pemilu yang tidak
demokratis, juga hanya akan menghasilkan pemerintahan demokratis semu.
Selama kurun waktu Orde Baru, kita disuguhi demokrasi abal-abal. Pemilu
selalu saja curang, namun tak ada yang bisa menggugat karena saluran
untuk menggugat juga tak ada. Salah satu buah Reformasi adalah adanya
lembaga Mahkamah Konstitusi. Di banyak negara, gugatan melalui MK di
negara tersebut juga suatu hal yang wajar. Jadi, semestinya semua pihak
bisa menilai gugatan lewat MK adalah upaya penegakan demokrasi,
pembelajaran bagi penyelenggara pemilu sekaligus mendewasakan masyarakat
pemilih agar bisa lebih dewasa dan disiplin mengikuti aturan dalam
menyalurkan hak suaranya. Sebab,
bukan rahasia lagi bahwa masyarakat kita banyak yang ogah/malas
mengurus KTP, SIM, tapi maunya hak-haknya dipenuhi, termasuk hak
memilih.
Catatan Ira Oemar