Membaca surat terbuka Fera Nuraini yang ditujukan pada Pak Presiden SBY,
saya tercekat. Fera mengadukan nasib koleganya, sesama pekerja rumah
tangga yang mencari peruntungan di Hongkong, Erwiana. Saya sendiri
mendengar kabar soal Erwiana dari televisi, setelah disiksa hingga babak
belur, majikannya mengantarnya ke bandara dengan hanya dibekali tiket
perjalanan ke Indonesia, lalu ditinggal bergitu saja. Beruntung, ada BMI
Hongkong yang kebetulan hendak pulang ke tanah air, yang kemudian
membantu Erwiana. Sangat miris dan mengenaskan apa yang menimpa Erwiana.
Bukan cerita baru, sebab tragedi seperti ini selalu terulang nyaris tiap tahun. Tidak di Hongkong ya di Singapore atau di Malaysia atau juga di Saudi Arabia.
Mendadak ingatan saya berkelana ke peristiwa sekitar 5 tahun lalu. Saat itu Siti Hajar TKW yang bekerja di Malaysia mendapat perlakuan sangat kejam, sadis bahkan tak manusiawi dari majikannya, sejak pertama kali bekerja selama 3 tahun. Seluruh tubuhnya penuh luka, tubuhnya dijadikan sansak hidup sasaran tinju, dipukul dengankayu dan rotan, ditendang, disiram air panas, disetrika, punggungnya diiris dengan pisau, pahanya diiris dengan gunting. Ah…, ngeri saya mengingatnya kembali. Satu hal yang saya ingat betul, Pak SBY segera menelepon Siti Hajar yang masih dirawat intensif di University Malaya Medical Center, langsung
dari ponselnya. Tentu saja, sorot kamera media massa merekamnya. Baik
ketika Pak SBY menelepon maupun saat Siti Hajar dengan lemah menerimanya
dan berusaha menjawab Pak SBY.
Tak cukup hanya itu, Pak SBY yang waktu itu tinggal 17 hari lagi akan berkompetisi di Pilpres 2009, merasa perlu menegaskan dengan pidato resmi (konpers kepresidenan) bahwa beliau telah menelepon Siti Hajar, “Saya
berbicara langsung dengan Siti Hajar untuk menenangkan hatinya, tabah.
Saya beritahu saudara-saudara di Indonesia menyayangi Siti Hajar, dan
saudara yang bekerja di luar negeri dan memberikan bantuan semestinya“. Beliau, Pak SBY, menginstruksikan Dubes RI di Malaysia, Da’i Bachtiar dan Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat untuk mengambil langkah semestinya agar hukum ditegakkan di Malaysia. Tegas sekali Pak SBY kala itu. “Apa yang dialami diluar batas kemanusiaan. Saya sungguh prihatin” kata Pak SBY.
Ada komentar di media sosial
waktu itu : Siti Hajar “beruntung”. Lho, disiksa kok beruntung?! Ya,
karena kasusnya terkuak saat menjelang Pilpres, jadi segera
mendapatperhatian dari pucuk pimpinan negeri ini. Kembali ke surat Fera,
semestinya Erwiana juga “beruntung” karena momennya juga terjadi di
tahun politik menjelang Pemilu dan Pilpres. Tapi kenapa gaung derita
Erwiana tak begitu keras gemanya? Kenapa perhatian untuk Erwiana
terkesan sekedarnya saja? Pak Menteri Tenaga Kerja, kata Fera, baru tahu setelah di mention Fera melalui twitter. Harap maklum Fera, Pak Muhaimin lagi sibuk nyaleg. Sebagai Ketua Umum parpol beliau juga harus konsentrasi mengurus partainya, lobbying
kesana kemari untuk menentukan siapa capres yang akan diusung
partainya. Tadi pagi saya nonton TV, Pak Muhaimin sedang berbangga
karena menurut hasil beberapa survey parpolnya berada di posisi teratas
partai menengah, itu penting Fera!
Saya jadi berpikir, apakah
Fera salah alamat menuliskan suratnya? Saat kasus Siti Hajar meruak, Pak
SBY sedang akan berlaga di Pilpres 2009. Sebulan sebelumnya, Mei 2009, kasus Prita Mulyasari sudah “diambil” ibu Megawati untuk jadi panggungnya. Bu Mega menjenguk Prita di LP Wanita Tangerang sampai 40 menit, lalu meminta pihak terkait membebaskan Prita. Setelah bebas, Prita dan saudara-saudaranya menjenguk Bu Mega yang sedang menggelar demo memasak, dan itu disiarkan stasiun televisi. Jadi, supaya tak kalah dengan pesaingnya, Pak SBY butuh Siti Hajar untuk dijadikan panggung. Sekarang, kasus Erwiana panggung untuk siapa?!
Mungkin Fera perlu meralat suratnya, tujukan pada figur-figur berikut ini :
1. Para peserta Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat (Dahlan Iskan, Pramono Edhie Wibowo, Gita Wiryawan, Dino Patti Jalal, Ali Masykur Musa, Marzuki Alie, dll) ;
2. Para Capres dan Cawapres parpol-parpol yang sudah beriklan di media massa, mencari celah sebelum peluit KPU dan Bawaslu bisa ditiup (ARB, Prabowo, Win-HT dan Hatta Radjasa) ;
3. Para peserta Pemira (Pemilihan Raya) PKS yang akan dijagokan jadi Capres dari PKS (Hidayat Nur Wahid dan Anis Matta yang unggul di peringkat satu dan dua) ;
4. Para Capres yang digadang-gadang PKB (Bang Haji Rhoma Irama dan Mahfud MD)
5. Pak Jokowi, kandidat kuat capres PDIP ;
6. Pak Surya Paloh dan politisi Partai Nasdem yang akan merestorasi Indonesia ;
7. Para caleg DPR RI Dapil DKI yang juga perlu berebut suara WNI di luar negeri.
Suara rakyat memang hanya
dibutuhkan 5 tahun sekali, di bilik suara bernama TPS. Lebih dari itu,
ya harus cukup puas berteriak, menangis, bahkan memaki di media sosial.
Kalau tiba saatnya moment pemilihan seperti ini, derita rakyat bisa jadi
panggung politik bagi mereka.
Fera menggugat kenapa dia
belum mendengar kata “prihatin” seperti kalau partai Pak SBY sedang
dilanda issu tak sedap. Ah…, Fera, kamu tak tahu, sekarang ini Partai
Demokrat sedang prihatin, setidaknya karena ruang kerja dan rumah Soetan
Bhatoegana digeledah KPK. Lagi pula, kamu salah alamat Fera, sekarang
slogannya bukan “Lanjutkan!”. Jadi semestinya kamu tahu, Fera, suratmu
itu tujukan saja pada yang akan me-“lanjutkan” Pak SBY. Mari kita colek
mereka.
Pak Dahlan Iskan, bapak
sudah mempertontonkan pada rakyat Indonesia, dengan sepatu kets bapak
naik KRL, bonceng ojek, makan soto di kaki lima, marah-marah di jalan
toll, bahkan menyapu pelataran Monas dan mengepel toilet bandara. Coba
tolong kali ini tunjukkan perhatian dan solusi untuk BMI kita yang butuh
bantuan. Pak Pramono Edhie Wibowo, sebagai purnawirawan TNI, tunjukkan
ketegasan bapak, sebab kami sudah lelah selama 10 tahun dipimpin
pemimpin yang tidak berani bersikap tegas pada negara tetangga. Pak
Gita Wiryawan, apa kabar Pak? Iklannya sudah tersenyum dimana-mana,
termasuk di Kompasiana. Apa bapak tak ingin “beriklan” di Hongkong?
Pak
Dino Patti Djalal yang sedang pulang ke tanah air dan menyempatkan diri
menjenguk koleganya Andi Alfian Mallarangeng di rutan KPK, bisakah bapak
sebagai diplomat menyempatkan memberi saran solusi? Memang, jadi Dubes
di AS sepertinya kecil kemungkinan akan menghadapi kasus penyiksaan
tenaga kerja seperti ini. Tapi bukankah bapak
sedang mencalonkan diri jadi capres lewat konvensi PD? PakMarzuki Alie,
Ketua DPR, pimpinan dari wakil rakyat di Senayan, bagaimana sebaiknya
soal Erwiana ini diselesaikan? Pak Ali Masykur Musa, Pak Anies Baswedan,
dll., ini ada masalah riil, yang merupakan puncak gunung es beribu problem ketenagakerjaan buruh migran kita di manca negara.
Pak ARB, biasanya TV One
terdepan dalam mengeksploitasi derita warga negara, kok pemberitaan soal
Erwiana minim? Bahkan ketika kasus Kartika, saya malah tak mendengar
sama sekali diberitakan di tanah air. Nah, Pak ARB apakah tak tertarik
membantu menyelesaikan kasus Erwiana dan buruh migran lainnya? Atau
mereka sama saja dengan korban lumpur Lapindo : hanya kerikil yang akan
jadi batu sandungan? Pak Prabowo, Pak Wiranto dan Hary Tanoe Soedibjo,
Pak Hatta Radjasa, bisa urun rembug sekaligus memberikan solusi jangka
panjang? Sebagai rakyat yang punya hak pilih, kami perlu juga disuguhi solusi nyata, bukan iklan meriah di televisi.
Pak Anis Matta, ini ada
Erwiana yang sedang menderita, dia mungkin tak secantik gadis Hungaria
yang kapan hari bapak pamerkan kemesraan bersamanya, dikenalkan sebagai
istri kedua, supaya masyarakat siap kalau punya dua
ibu negara. Ini bukan “konspirasi” Yahudi, Pak (seperti konon katanya
yang menimpa Pak LHI). Ini konspirasi sekeluarga di Hongkong yang kejam
sekali. Pak Hidayat Nur Wahid yang percaya diri akan mengalahkan Pak
Jokowi karena katanya meski kalah di Jakarta ternyata di luar Jakarta
Pak HNW lebih didukung, apa bapak juga masih butuh dukungan BMI
Hongkong? Sebagai caleg DPR RI Dapil DKI bapak tentunya butuh juga suara
mereka.
Bang Haji Rhoma Irama, bagaimana ini majikan Erwiana, sungguh therlhaluh mereka! Apa Bang Haji punya saran solusi? Atau akan menggelar konser dangdut di Hongkong untuk sekedar charity? Pak Mahfud MD, sebagai pakar hukum, tolong sumbangkan pemikirannya Pak. Khusus untuk PKB,
yang Ketua Umumnya tak lain dan tak bukan Menteri Tenaga Kerja, maaf
Pak Muhaimin Iskandar, kalau boleh jujur dan ceplas ceplos, saya anggap
bapak Menteri yang paling tidak peduli dengan masalah ketenagakerjaan.
Bapak hanya menikmati duduk di kursinya saja, tapi tidak larut dalam gunungan persoalannya.
Lihatlah waktu ada TKW kita di Arab yang dihukum pancung tanpa Pemerintah RI diberitahu dulu, bapak sama sekali tak bersuara. Dua pekan berlalu, Pak SBY bikin konpers, barulah anda “nunut”
berdiri di samping podium Pak SBY. Terlalu banyak kasus ketenagakerjaan
yang anda lalaikan. Bahkan perbudakan buruh pabrik kuali di depan mata
saja tak anda hiraukan kecuali sekedarnya saja. Tiap kali ada kasus
ketenagakerjaan, yang anda kirim untuk “dibantai” hanya staf ahli anda,
Dita Indah Sari. Beginikah seorang Menteri, hanya dapat nama baiknya
saja, sementara kasusnya jadi urusan bawahan? Erwiana pastilah dari
keluarga kurang mampu, Pak Muhaimin. Dia bak langit dan bumi dibanding
Pak Rusdi Kirana, Boss Lion Air, yang anda gelari karpet merah dan disiapkan kursi Wakil Ketua. Tapi justru karena dia orang biasa yang lemah, maka dia butuh bantuan, Pak Muhaimin. Berat tanggung jawab anda di akhirat nanti, Cak Imin!
Pak Jokowi, saya tahu bapak pasti sudah cukup pusing dengan banjir Jakarta dan sekitarnya. Kami sudah tahu bagaimana bapak blusukan,
mencari solusi tata kota DKI, mencoba mencari cara agar Jakarta
terlepas dari kemacetan. Kalau nanti bapak jadi Presiden, masalah warga
negara yang disiksa di negeri orang pun akan terpaksa dihadapi. Semoga
Pak Jokowi sudah punya rencana solusinya. Pak Surya Paloh, bagaimana
suara media anda dan partai anda? Apakah restorasi Indonesia juga
mencakup soal perburuhan di manca negara?
Dan…, last but not least,
para caleg DPR RI Dapil DKI, para BMI Hongkong kalau mereka memilih
maka suaranya akan dihitung untuk anda. Setidaknya meski tak mencoblos
nama orang, tapi mencoblos tanda gambar partainya akan berkontribusi
menambah suara anda agar mencapai BPP. Ada ibu Andi Nurpati, apa kabar
Bu? Apa suara ibu sebagai sesama perempuan? Para caleg Dapil DKI
lainnya, mana suaranya?
Maaf ya Fera, saya paham perasaanmu, sekaligus
saya salut konsistensimu menyuarakan nasib buruh migran. Saat kasus
Kartika pun kamu menyuarakannya lewat facebookmu. Kali ini, mungkin Fera
dan rekan-rekan harus lebih bersabar, karena para penyelenggara negara
semuanya sedang sibuk. Kalau gak sibuk nyaleg ya sibuk nyapres.
Pileg tinggal 82 hari lagi, jadwal kampanye ke berbagai daerah dan
janji manis penting dipikirkan, meski sejatinya soalan riil tak pernah
terselesaikan. Pada siapa surat Fera harus dikirim? Untuk para politisi
yang dicolek, mohon maaf, ini hanya sekedar mengingatkan, siapa tahu ada
yang peduli pada nasib warga negara yang kurang beruntung, maksud hati
mencari peruntungan di negeri orang, apa daya malang yang menimpa. Saya –
dan mungkin jutaan rakyat Indonesia lainnya – sudah jenuh dengan
panggung pencitraan, kami hanya berharap perhatian yang sungguh-sungguh.
Catatan Ira Oemar