Robert Fogel, seorang sejarawan, meraih penghargaan Nobel di bidang ekonomi setelah menerbitkan karya tentang pengaruh jalan kereta api bagi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) pada abad ke-19. Jarang ada sejarawan bisa meraih hadiah Nobel Ekonomi. Ia meraihnya pada 1993, jauh setelah karya-karyanya diterbitkan pada 1964. Fogel dilahirkan pada 1926 dan meninggal dunia dalam usia 86 tahun pada 11 Juni 2013.
Fogel menghitung dampak pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat akibat pengaruh jalan kereta api. Pendapatnya mengundang kontroversi luas, yakni ekonomi AS jauh lebih berkembang lagi apabila jalan kereta api tidak dibangun. Ia menyebut keberadaan jalur dan alat transportasi lain, seperti kanal, gerobak, dan jalur air alami lain. Artinya, apabila Amerika membangun lebih banyak kanal, gerobak angkut ataupun perahu, dengan biaya yang lebih murah, ekonomi USA lebih berkembang lagi.
Apa yang mau kita katakan atas karya Fogel itu? Dalam konteks Indonesia, kita lebih banyak menggunakan sarana transportasi yang berbahan impor. Contoh kasus, Jakarta. Terdapat 13 sungai (kali) yang melewati Jakarta. Yang terjadi, sungai itu malah centang perenang, mengirimkan air dalam debit yang lebih, lalu banjir ke seantero Jakarta dan sekitarnya.
Jarang kita dengar ada kendaraan air yang digunakan sebagai jalur transportasi alternatif melewati sungai-sungai itu. Beragam bangunan berada di sisi kiri dan kanan sungai, membelintang di atasnya, termasuk berbagai jenis kabel dan pipa untuk menjadikannya sebagai bagian dari daratan.
Indonesia kini jadi negara dengan beragam bencana. Banjir menjadi langganan, di luar gempa bumi, tanah longsor, sampai gunung meletus. Belum lagi bencana akibat kecelakaan mobil, kereta api, kapal laut, dan kapal udara. Setiap peristiwa perayaan hari besar agama, terutama Lebaran, kita tinggal menghitung seberapa banyak korban yang tewas di jalanan. Padahal, dari sejarawan kita juga bisa belajar tentang moda transportasi lain yang sudah teruji, ketika sejumlah kerajaan besar di Pulau Jawa dan Sumatera menjadikan maritim sebagai area penaklukan.
Belum lagi daftar kerajaan menengah dan kecil yang berada di muara atau pinggiran sungai dan juga laut. Jarang yang berada di pegunungan. Yang lebih banyak kita persoalkan dan percakapkan adalah pergantian raja-raja, konflik di sekitarnya, bukan bagaimana menata pemerintahan dan membangun negara berdasarkan keadaan zamannya.
Kita lebih menyukai jatuh-bangunnya dinasti-dinasti politik ketimbang bagaimana dinasti-dinasti itu menggunakan ilmu pengetahuan guna kepentingan kerajaan dan rakyatnya.
Menjelang Pemilu 2014, kita menyaksikan kian berkembangnya nalar politis dibanding nalar akademis. Nalar politis masuk ke ruang-ruang pribadi kita. Beragam serangan dan pembelaan muncul, baik atas pribadi maupun atas kelompok, termasuk partai politik. Sementara, akibat-akibat dari bencana (yang juga masih berlangsung) perlu penanggulangan segera. Ini untuk tanggap darurat. Di luar itu, pengembangan infrastruktur menjadi prioritas guna mengantisipasi kejadian yang sama pada waktu mendatang.
Negara dan bencana kian akrab di keseharian kita. Tinggal bagaimana kita lebih sungguh-sungguh lagi memikirkan penanggulangannya dalam jangka menengah dan panjang. Kalau perlu, dalam hitungan abad. ***
Indra Jaya Piliang