Yusril Ihza Mahendra sudah bersedia memberikan pendampingan dan nasehat
hukum kepada Nazar hanya untuk pengungkapan kasus-kasus korupsi agar tak
menjadi fitnah (foto : inilah.com)
Kemarin saya membaca tulisan Prof. Yusril Ihza Mahendra yang HL di Kompasiana, judulnya “Soal Nazaruddin : Sepanjang Memberi Nasehat Saya Bersedia”. Pak Yusril menanggapi permintaan Nazaruddin yang diungkapkan di pengadilan tipikor, bahwa dirinya meminta Prof. Yusril untuk memberikan bantuan/nasehat dan pendampingan untuk ungkapkan kasus-kasus besar di negara ini. BUKAN untuk meminta Yusril menjadi penasehat hukum dalam menangani kasus yang dihadapinya, karena Nazar sudah berulangkali meminta Yusril menjadi penasehat hukumnya namun selalu ditolak kalau diminta menangani dakwaan korupsi yang dilakukannya.
Keinginan Nazar dan sikap Pak Yusril menanggapinya, tergambar jelas pada 2 alinea terakhir sebelum kalimat penutup : “Kini Nazar berkeinginan untuk mengungkapkan banyak kasus korupsi di negara ini, namun dia masih ragu-ragu dan khawatir mengungkapkannya. Sebab itu dia perlu nasehat dan pendampingan dari saya agar tidak salah ungkap, dan agar ia punya keberanian untuk mengungkapkannya. Kalau seperti itu permintaannya, maka bagi saya tidak masalah. Saya bersedia saja memberikan nasehat dan pendampingan kepadanya. Tokh tugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas apa yang diungkapkan Nazar nantinya adalah tugas aparatur penegak hukum.”
Kesediaan Pak Yusril didasari alasan ini : “Sebagai warga negara, saya tentu berkewajiban membantu seseorang untuk ungkapkan kasus kejahatan, apalagi korupsi. Tentu sepanjang apa yang ingin diungkapkan itu ada alat buktinya, agar tidak menjadi fitnah bagi orang lain. Jadi sepanjang memberi nasehat dan pendampingan untuk mengungkapkan kasus korupsi yang diminta Nazar, saya bersedia saja.”
Nah, kalau nanti terwujud inilah “duet maut” yang bakal “menggoyang” negeri ini. Nazaruddin seperti kita tahu mulutnya suka ‘ember’ kata istilah anak sekarang. Dia berceloteh apa saja dan menyasar siapa saja yang dia tak suka. Saya pribadi, tiap kali dengar ocehan Nazaruddin, antara percaya dan tidak. Tak percaya karena kerap terlalu bombastis dan mengada-ada, tapi mau tak mau kadang percaya juga sebab di belakang hari apa yang dikatakan ada benarnya.
Kasus Hambalang misalnya, siapa nyana akan jadi sebesar ini setelah dibedah dari segala sisi. Dulu, Nazar mati kutu soal proyek Wisma Atlet. Dia sadar betul akan “habis” sendirian kalau hanya proyek itu yang diungkap. Maka ia pun melontarkan issu proyek Hambalang. Saat itu, siapa yang tahu adanya proyek Hambalang selain pihak yang terlibat? Begitu peluit ditiup Nazar, ternyata benarlah bahwa proyek itu sarat kejanggalan yang tak masuk akal. Maka, issu yang – kata Anas – bersumber dari ocehan dan karangan yang tidak jelas itupun menjadi fakta hukum betapa bobroknya kongkalikong eksekutif–yudikatif–BUMN (Adhikarya)–pengusaha. Jadi, saya pribadi cenderung percaya pada omongan Nazar 35–40% saja, selebihnya menunggu pengungkapan pihak berwenang.
Di sisi lain, kita kenal Pak Yusril sebagai pakar sekaligus praktisi hukum yang prudent. Yusril selalu jeli, teliti, akurat dan hati-hati dalam memandang suatu kasus. Karakter ini dipadu dengan kompetensinya yang sangat mumpuni di bidang ilmu hukum jika dipasangkan dengan Nazar yang ‘ember’ tapi punya banyak info dan tahu banyak hal, tentu akan saling melengkapi dan menguatkan.
Nazar akan mendapat nasehat dan pendampingan, memilah dan memilih issu mana yang akan diungkap, jika Pak Yusril yakin ada alat buktinya, bukan fitnah semata, sehingga bisa ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan dan penyidikan oleh aparat penegak hukum untuk membongkar kasus tersebut lebih jauh. Ibaratnya Nazar menulis lirik lagu yang akan dia nyanyikan, Pak Yusril yang menggubah aransemennya menjadi harmoni yang indah. Suara Nazar yang sumbang akan dipaksa mengikuti aturan nada dan ketukan birama yang benar, agar lagunya terdengar merdu.
Kalau itu yang terjadi, benar-benar “WOW!!!” Nama yang disebut tak bisa lagi berkilah “ah…, itu hanya ocehan tak jelas” atau “Nazaruddin berhalusinasi”. Pak Yusril mungkin akan memberikan sejumlah syarat, misalnya agar Nazar tak berbicara dulu ke media sebelum pak Yusril sepakat issu mana saja yang bisa di”ledak”kan. Orang yang tahu banyak karena pernah ikut terlibat dalam persekongkolan jahat menggarong APBN, didampingi pakar hukum yang prudent dan hati-hati, lalu keduanya melempar “bom”, pasti daya ledaknya tinggi. Kita tahu selama ini Pak Yusril belum pernah digugat karena pencemaran nama baik, fitnah, dan sejenisnya, bukan? Hayooo…, yang pernah “berkomplot” dengan Nazar tapi belum kebagian dipanggil KPK, harap siap mental. Nama yang disebut-sebut Nazar akan diungkapnya adalah Mirwan Amir dan tentu saja Anas.
YUSRIL TAK MEMBELA NAZAR ATAS DAKWAAN KORUPSI
Saya sangat mengapresiasi keputusan Pak Yusril untuk tetap menolak menjadi pengacara Nazar dalam menghadapi dakwaan korupsinya, sebab ke depan Nazar masih akan menghadapi sidang tuntutan atas kasus korupsi lain-lain yang datanya sudah ada di KPK. Menurut keterangan Elza Syarif di acara ILC Selasa malam lalu, Nazar memilih disidang cukup 2 kali saja, karenaya Nazar akan membuka semua kasus korupsinya kepada KPK, berikut siapa saja yang terlibat. Saya dukung sikap Pak Yusril untuk tidak menjadi pembela, hanya mendampingi Nazar sebatas memberikan nasehat hukum terkait pengungkapan kasus-kasus korupsi lainnya yang diketahui Nazar.
Menurut saya, sikap ini penting ditegaskan oleh Pak Yusril, sebab sekali menjadi pengacara tersangka korupsi, biasanya akan keterusan. Ada beberapa contohnya, Tengku Nasrullah misalnya, dulu berjanji tak akan mau jadi pembela Angelina Sondakh. Ketika kemudian menjadi pembela Angie, Tengku Nasrullah berdalih atas pertimbangan kemanusiaan, karena sampai sehari sebelum pemeriksaannya di KPK dengan status tersangka, Angie tetap tak mau didampingi pengacara kalau bukan Tengku Nasrullah. Beliau mengaku iba pada Angie yang datang siang hari ke kantornya didampingi ibunya sambil menggendong putranya Keanu yang saat itu baru berumur 2,5 tahun. Tapi kemudian kita tahu Tengku Nasrullah juga jadi pembela Irjen Djoko Susilo. Padahal, sang jendral sejak berstatus tersangka sudah didampingi lawyer ternama Hotma Sitompul, Juniver Girsang dan Tommy Sihotang. Begitupun dengan Atut Chosiyah, gubernur Banten itu sudah punya pengacara keluarga sejak masih belum tersangka. Apakah Tengku Nasrullah juga punya pertimbangan kemanusiaan terhadap rakyat Banten yang APBD-nya digarong?
Contoh terbaru adalah Adnan Buyung Nasution. Setelah dulu mendampingi Gayus Tambunan penilep pajak, ternyata tak jua ada tersangka kakap lain di balik Gayus yang bisa diseret, kini Bang Buyung mendampingi Anas Urbaningrum. Sebelumnya Bang Buyung juga menyatakan bersedia jadi pembela Wawan – adik kandung Atut, tersangka suap kepada Akil Mochtar dan korupsi pengadaan alkes Provinsi Banten – dengan alasan : balas budi kepada Airin yang pernah membantunya soal administrasi rumah dan tanah.
NAZARUDDIN SEBUT NAMA SETYA NOVANTO SANG SINTERKLAS
Ada yang menarik dari beberapa nama yang disebut Nazar kepada pers. Dia tampak menekankan pada Setya Novanto, yang kata Nazar dirinya pernah ditekan orang suruhan Setya Novanto ketika di LP. Setya Novanto – politisi senior asal Golkar –disebutnya “sinterklas” karena suka bagi-bagi hadiah. Nama Setya Novanto sudah tak asing, tahun 1999 namanya kerap disebut di masa Presiden BJ. Habibie, terkait skandal cessie Bank Bali. Setya Novanto (yang saat itu menjadi Bendahara Partai Golkar) adalah Dirut PT. Era Giat Prima (EGP) yang menandatangani perjanjian cessie (pengalihan) tagihan piutang Bank Bali senilai Rp. 798,09 milyar. Kemudian Bank Bali juga menandatangani perjanjian cessie dengan Setya Novanto untuk menjual seluruh tagihan pinjaman antarbanknya di BDNI, BUN, dan Bank Bira kepada PT EGP yang totalnya mencapai Rp 3 triliun.
Perlu dicatat : itu kejadian Januari 1999, jadi nilai nominal itu daya belinya 15 tahun lalu kira-kira berapa? Rekan Setya Novanto di PT. EGP adalah pengusaha Joko S. Tjandra yang duduk sebagai Direktur PT. EGP. Setidaknya, dana yang sudah mengalir pada 3 Juni 1999 atas instruksi BPPN dilakukan transfer dana dari rekening Bank Bali di BI ke sejumlah rekening berjumlah Rp 798 miliar secara bersamaan (Rp 404 miliar ke rekening PT. EGP di Bank Bali Tower, Rp 274 miliar ke rekening Djoko S. Tjandra di BNI Kuningan, 120 miliar ke rekening PT. EGP di BNI Kuningan). (sumber : tempo.co)
Skandal ini sudah memakan “korban” Syahril Sabirin, Gubernur BI pada waktu itu yang sempat divonis bersalah dan dihukum 3 tahun penjara, meski akhirnya pada Agustus 2002 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan Syahril Sabirin dari semua dakwaan. Ironisnya, pada 28 Agustus 2000, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan justru membebaskan Joko S. Tjandra dari tuntutan hukum dengan alasan : bukan termasuk kasus pidana, melainkan perdata, meski sebelumnya jaksa Antasari Azhar – yang kemudian menjadi Ketua KPK jilid 2 – menuntut Joko S. Tjandra 18 bulan penjara. Pada 28 Juni 2001, dalam putusan Kasasi, kembali Mahkamah Agung memenangkan Joko S. Tjandra. Namun, satu anggota majelis kasasi, Artidjo Alkostar, mengajukan dissenting opinion dengan menyatakan Joko bersalah melakukan korupsi.
Pada 11 Juni 2009, Majelis Peninjauan Kembali MA (termasuk didalamnya ada Hakim Artidjo Alkostar) memutuskan menerima permohonan PK yang diajukan Jaksa. Joko S. Tjandra dihukum 2 tahun penjara dan denda denda Rp. 15 juta serta uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp. 546.166.116.369 dirampas untuk negara. (sumber : detik.com). Namun “hebat”nya, persis sehari sebelum putusan dibacakan, pada 10 Juni 2009, Djoko S. Tjandra sudah kabur ke Papua Nugini. Dia terbang dengan pesawat carteran milik maskapai TAG Aviation yang bermarkas di Amerika Serikat. Pesawat itu terbang langsung dari Hongkong. Djoko – yang bernama asli Tjan Kok Hui – dengan santai dan tenang melenggang ke Port Moresby melalui Bandara Halim Perdanakusuma.
Pada 16 Juni 2009, Joko mangkir dari panggilan eksekusi Kejaksaan. Sejak itu kemudian Joko dinyatakan buron. Meski pemerintahan Presiden SBY telah menyerahkan penanganan kasus Djoko Tjandra kepada Kejaksaan Agung, namun Kejakgung kesulitan untuk memulangkan Djoko Tjandra ke tanah air. Targetnya paling lambat Juni 2013, Djoko Tjandra sudah diekstradisi ke Indonesia. Faktanya, sejak 10 Juni 2009 sampai dengan Januari 2014 ini, sudah 4,5 tahun Joko tak kunjung bisa dipulangkan. Pemerintah sempat menyebut Djoko sudah menjadi warga negara Papu Nugini, namun Yusril Ihza Mahendra membantahnya. Sekarang ini Djoko disebut lebih banyak tinggal di Singapura dan hanya sesekali ke PNG. Pemerintah PNG telah menerbitkan paspor atas nama Joe Chan untuk Djoko S. Tjandra. Hebat dan sakti bukan Djoko Segiarto Tjandra?
Kalau Direktur PT. EGP saja sakti, maka tak heran jika Nazaruddin meragukan keberanian KPK membidik Setya Novanto, mantan Dirut PT. EGP, yang sampai sekarang masih “sakti” menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Golkar. Kini namanya disebut-sebut Nazar terlibat dalam proyek E-KTP yang menurutnya merugikan keuangan negara hampir Rp 2,5 triliun. WOW lagi! Disinilah kenapa Nazar yang sudah didampingi 4 pengacara papan atas – Ibu Elza Syarif, Hotman Paris Hutapea, Rufinus Hutauruk dan Junimart Girsang – masih merasa perlu meminta nasehat hukum dari Profesor Yusril Ihza Mahendra. Yang dihadapinya tokoh sakti dari parpol sakti.
Sekedar tambahan info, pada Senin, 30 Desember 2013 lau, Setya Novanto dan Idrus Marham – keduanya Bendahara Umum dan Sekjen Partai Golkar – kompak tak mendatangi panggilan pemeriksaan penyidik KPK untuk diperiksa terkait kasus suap pengurusan sengketa Pilkada yang melibatkan Akil Mochtar dan Atut Chosiyah. Meski akhirnya keduanya kemudian datang juga ke KPK setelah dipanggil ulang.
Selamat bekerja Pak Yusril, hati-hati, ini bukan kasus kecil tampaknya. Saya yakin rakyat Indonesia pasti mendukung dengan doa selama ini untuk kepentingan penegakan hukum. Negeri ini sudah di tubir jurang kehancuran karena hukum diinjak-injak dan korupsi merajalela, para koruptor bebas berkeliaran dan menjadi warga negara terhormat.
Ira Oemar
Kemarin saya membaca tulisan Prof. Yusril Ihza Mahendra yang HL di Kompasiana, judulnya “Soal Nazaruddin : Sepanjang Memberi Nasehat Saya Bersedia”. Pak Yusril menanggapi permintaan Nazaruddin yang diungkapkan di pengadilan tipikor, bahwa dirinya meminta Prof. Yusril untuk memberikan bantuan/nasehat dan pendampingan untuk ungkapkan kasus-kasus besar di negara ini. BUKAN untuk meminta Yusril menjadi penasehat hukum dalam menangani kasus yang dihadapinya, karena Nazar sudah berulangkali meminta Yusril menjadi penasehat hukumnya namun selalu ditolak kalau diminta menangani dakwaan korupsi yang dilakukannya.
Keinginan Nazar dan sikap Pak Yusril menanggapinya, tergambar jelas pada 2 alinea terakhir sebelum kalimat penutup : “Kini Nazar berkeinginan untuk mengungkapkan banyak kasus korupsi di negara ini, namun dia masih ragu-ragu dan khawatir mengungkapkannya. Sebab itu dia perlu nasehat dan pendampingan dari saya agar tidak salah ungkap, dan agar ia punya keberanian untuk mengungkapkannya. Kalau seperti itu permintaannya, maka bagi saya tidak masalah. Saya bersedia saja memberikan nasehat dan pendampingan kepadanya. Tokh tugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas apa yang diungkapkan Nazar nantinya adalah tugas aparatur penegak hukum.”
Kesediaan Pak Yusril didasari alasan ini : “Sebagai warga negara, saya tentu berkewajiban membantu seseorang untuk ungkapkan kasus kejahatan, apalagi korupsi. Tentu sepanjang apa yang ingin diungkapkan itu ada alat buktinya, agar tidak menjadi fitnah bagi orang lain. Jadi sepanjang memberi nasehat dan pendampingan untuk mengungkapkan kasus korupsi yang diminta Nazar, saya bersedia saja.”
Nah, kalau nanti terwujud inilah “duet maut” yang bakal “menggoyang” negeri ini. Nazaruddin seperti kita tahu mulutnya suka ‘ember’ kata istilah anak sekarang. Dia berceloteh apa saja dan menyasar siapa saja yang dia tak suka. Saya pribadi, tiap kali dengar ocehan Nazaruddin, antara percaya dan tidak. Tak percaya karena kerap terlalu bombastis dan mengada-ada, tapi mau tak mau kadang percaya juga sebab di belakang hari apa yang dikatakan ada benarnya.
Kasus Hambalang misalnya, siapa nyana akan jadi sebesar ini setelah dibedah dari segala sisi. Dulu, Nazar mati kutu soal proyek Wisma Atlet. Dia sadar betul akan “habis” sendirian kalau hanya proyek itu yang diungkap. Maka ia pun melontarkan issu proyek Hambalang. Saat itu, siapa yang tahu adanya proyek Hambalang selain pihak yang terlibat? Begitu peluit ditiup Nazar, ternyata benarlah bahwa proyek itu sarat kejanggalan yang tak masuk akal. Maka, issu yang – kata Anas – bersumber dari ocehan dan karangan yang tidak jelas itupun menjadi fakta hukum betapa bobroknya kongkalikong eksekutif–yudikatif–BUMN (Adhikarya)–pengusaha. Jadi, saya pribadi cenderung percaya pada omongan Nazar 35–40% saja, selebihnya menunggu pengungkapan pihak berwenang.
Di sisi lain, kita kenal Pak Yusril sebagai pakar sekaligus praktisi hukum yang prudent. Yusril selalu jeli, teliti, akurat dan hati-hati dalam memandang suatu kasus. Karakter ini dipadu dengan kompetensinya yang sangat mumpuni di bidang ilmu hukum jika dipasangkan dengan Nazar yang ‘ember’ tapi punya banyak info dan tahu banyak hal, tentu akan saling melengkapi dan menguatkan.
Nazar akan mendapat nasehat dan pendampingan, memilah dan memilih issu mana yang akan diungkap, jika Pak Yusril yakin ada alat buktinya, bukan fitnah semata, sehingga bisa ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan dan penyidikan oleh aparat penegak hukum untuk membongkar kasus tersebut lebih jauh. Ibaratnya Nazar menulis lirik lagu yang akan dia nyanyikan, Pak Yusril yang menggubah aransemennya menjadi harmoni yang indah. Suara Nazar yang sumbang akan dipaksa mengikuti aturan nada dan ketukan birama yang benar, agar lagunya terdengar merdu.
Kalau itu yang terjadi, benar-benar “WOW!!!” Nama yang disebut tak bisa lagi berkilah “ah…, itu hanya ocehan tak jelas” atau “Nazaruddin berhalusinasi”. Pak Yusril mungkin akan memberikan sejumlah syarat, misalnya agar Nazar tak berbicara dulu ke media sebelum pak Yusril sepakat issu mana saja yang bisa di”ledak”kan. Orang yang tahu banyak karena pernah ikut terlibat dalam persekongkolan jahat menggarong APBN, didampingi pakar hukum yang prudent dan hati-hati, lalu keduanya melempar “bom”, pasti daya ledaknya tinggi. Kita tahu selama ini Pak Yusril belum pernah digugat karena pencemaran nama baik, fitnah, dan sejenisnya, bukan? Hayooo…, yang pernah “berkomplot” dengan Nazar tapi belum kebagian dipanggil KPK, harap siap mental. Nama yang disebut-sebut Nazar akan diungkapnya adalah Mirwan Amir dan tentu saja Anas.
YUSRIL TAK MEMBELA NAZAR ATAS DAKWAAN KORUPSI
Saya sangat mengapresiasi keputusan Pak Yusril untuk tetap menolak menjadi pengacara Nazar dalam menghadapi dakwaan korupsinya, sebab ke depan Nazar masih akan menghadapi sidang tuntutan atas kasus korupsi lain-lain yang datanya sudah ada di KPK. Menurut keterangan Elza Syarif di acara ILC Selasa malam lalu, Nazar memilih disidang cukup 2 kali saja, karenaya Nazar akan membuka semua kasus korupsinya kepada KPK, berikut siapa saja yang terlibat. Saya dukung sikap Pak Yusril untuk tidak menjadi pembela, hanya mendampingi Nazar sebatas memberikan nasehat hukum terkait pengungkapan kasus-kasus korupsi lainnya yang diketahui Nazar.
Menurut saya, sikap ini penting ditegaskan oleh Pak Yusril, sebab sekali menjadi pengacara tersangka korupsi, biasanya akan keterusan. Ada beberapa contohnya, Tengku Nasrullah misalnya, dulu berjanji tak akan mau jadi pembela Angelina Sondakh. Ketika kemudian menjadi pembela Angie, Tengku Nasrullah berdalih atas pertimbangan kemanusiaan, karena sampai sehari sebelum pemeriksaannya di KPK dengan status tersangka, Angie tetap tak mau didampingi pengacara kalau bukan Tengku Nasrullah. Beliau mengaku iba pada Angie yang datang siang hari ke kantornya didampingi ibunya sambil menggendong putranya Keanu yang saat itu baru berumur 2,5 tahun. Tapi kemudian kita tahu Tengku Nasrullah juga jadi pembela Irjen Djoko Susilo. Padahal, sang jendral sejak berstatus tersangka sudah didampingi lawyer ternama Hotma Sitompul, Juniver Girsang dan Tommy Sihotang. Begitupun dengan Atut Chosiyah, gubernur Banten itu sudah punya pengacara keluarga sejak masih belum tersangka. Apakah Tengku Nasrullah juga punya pertimbangan kemanusiaan terhadap rakyat Banten yang APBD-nya digarong?
Contoh terbaru adalah Adnan Buyung Nasution. Setelah dulu mendampingi Gayus Tambunan penilep pajak, ternyata tak jua ada tersangka kakap lain di balik Gayus yang bisa diseret, kini Bang Buyung mendampingi Anas Urbaningrum. Sebelumnya Bang Buyung juga menyatakan bersedia jadi pembela Wawan – adik kandung Atut, tersangka suap kepada Akil Mochtar dan korupsi pengadaan alkes Provinsi Banten – dengan alasan : balas budi kepada Airin yang pernah membantunya soal administrasi rumah dan tanah.
NAZARUDDIN SEBUT NAMA SETYA NOVANTO SANG SINTERKLAS
Ada yang menarik dari beberapa nama yang disebut Nazar kepada pers. Dia tampak menekankan pada Setya Novanto, yang kata Nazar dirinya pernah ditekan orang suruhan Setya Novanto ketika di LP. Setya Novanto – politisi senior asal Golkar –disebutnya “sinterklas” karena suka bagi-bagi hadiah. Nama Setya Novanto sudah tak asing, tahun 1999 namanya kerap disebut di masa Presiden BJ. Habibie, terkait skandal cessie Bank Bali. Setya Novanto (yang saat itu menjadi Bendahara Partai Golkar) adalah Dirut PT. Era Giat Prima (EGP) yang menandatangani perjanjian cessie (pengalihan) tagihan piutang Bank Bali senilai Rp. 798,09 milyar. Kemudian Bank Bali juga menandatangani perjanjian cessie dengan Setya Novanto untuk menjual seluruh tagihan pinjaman antarbanknya di BDNI, BUN, dan Bank Bira kepada PT EGP yang totalnya mencapai Rp 3 triliun.
Perlu dicatat : itu kejadian Januari 1999, jadi nilai nominal itu daya belinya 15 tahun lalu kira-kira berapa? Rekan Setya Novanto di PT. EGP adalah pengusaha Joko S. Tjandra yang duduk sebagai Direktur PT. EGP. Setidaknya, dana yang sudah mengalir pada 3 Juni 1999 atas instruksi BPPN dilakukan transfer dana dari rekening Bank Bali di BI ke sejumlah rekening berjumlah Rp 798 miliar secara bersamaan (Rp 404 miliar ke rekening PT. EGP di Bank Bali Tower, Rp 274 miliar ke rekening Djoko S. Tjandra di BNI Kuningan, 120 miliar ke rekening PT. EGP di BNI Kuningan). (sumber : tempo.co)
Skandal ini sudah memakan “korban” Syahril Sabirin, Gubernur BI pada waktu itu yang sempat divonis bersalah dan dihukum 3 tahun penjara, meski akhirnya pada Agustus 2002 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan Syahril Sabirin dari semua dakwaan. Ironisnya, pada 28 Agustus 2000, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan justru membebaskan Joko S. Tjandra dari tuntutan hukum dengan alasan : bukan termasuk kasus pidana, melainkan perdata, meski sebelumnya jaksa Antasari Azhar – yang kemudian menjadi Ketua KPK jilid 2 – menuntut Joko S. Tjandra 18 bulan penjara. Pada 28 Juni 2001, dalam putusan Kasasi, kembali Mahkamah Agung memenangkan Joko S. Tjandra. Namun, satu anggota majelis kasasi, Artidjo Alkostar, mengajukan dissenting opinion dengan menyatakan Joko bersalah melakukan korupsi.
Pada 11 Juni 2009, Majelis Peninjauan Kembali MA (termasuk didalamnya ada Hakim Artidjo Alkostar) memutuskan menerima permohonan PK yang diajukan Jaksa. Joko S. Tjandra dihukum 2 tahun penjara dan denda denda Rp. 15 juta serta uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp. 546.166.116.369 dirampas untuk negara. (sumber : detik.com). Namun “hebat”nya, persis sehari sebelum putusan dibacakan, pada 10 Juni 2009, Djoko S. Tjandra sudah kabur ke Papua Nugini. Dia terbang dengan pesawat carteran milik maskapai TAG Aviation yang bermarkas di Amerika Serikat. Pesawat itu terbang langsung dari Hongkong. Djoko – yang bernama asli Tjan Kok Hui – dengan santai dan tenang melenggang ke Port Moresby melalui Bandara Halim Perdanakusuma.
Pada 16 Juni 2009, Joko mangkir dari panggilan eksekusi Kejaksaan. Sejak itu kemudian Joko dinyatakan buron. Meski pemerintahan Presiden SBY telah menyerahkan penanganan kasus Djoko Tjandra kepada Kejaksaan Agung, namun Kejakgung kesulitan untuk memulangkan Djoko Tjandra ke tanah air. Targetnya paling lambat Juni 2013, Djoko Tjandra sudah diekstradisi ke Indonesia. Faktanya, sejak 10 Juni 2009 sampai dengan Januari 2014 ini, sudah 4,5 tahun Joko tak kunjung bisa dipulangkan. Pemerintah sempat menyebut Djoko sudah menjadi warga negara Papu Nugini, namun Yusril Ihza Mahendra membantahnya. Sekarang ini Djoko disebut lebih banyak tinggal di Singapura dan hanya sesekali ke PNG. Pemerintah PNG telah menerbitkan paspor atas nama Joe Chan untuk Djoko S. Tjandra. Hebat dan sakti bukan Djoko Segiarto Tjandra?
Kalau Direktur PT. EGP saja sakti, maka tak heran jika Nazaruddin meragukan keberanian KPK membidik Setya Novanto, mantan Dirut PT. EGP, yang sampai sekarang masih “sakti” menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Golkar. Kini namanya disebut-sebut Nazar terlibat dalam proyek E-KTP yang menurutnya merugikan keuangan negara hampir Rp 2,5 triliun. WOW lagi! Disinilah kenapa Nazar yang sudah didampingi 4 pengacara papan atas – Ibu Elza Syarif, Hotman Paris Hutapea, Rufinus Hutauruk dan Junimart Girsang – masih merasa perlu meminta nasehat hukum dari Profesor Yusril Ihza Mahendra. Yang dihadapinya tokoh sakti dari parpol sakti.
Sekedar tambahan info, pada Senin, 30 Desember 2013 lau, Setya Novanto dan Idrus Marham – keduanya Bendahara Umum dan Sekjen Partai Golkar – kompak tak mendatangi panggilan pemeriksaan penyidik KPK untuk diperiksa terkait kasus suap pengurusan sengketa Pilkada yang melibatkan Akil Mochtar dan Atut Chosiyah. Meski akhirnya keduanya kemudian datang juga ke KPK setelah dipanggil ulang.
Selamat bekerja Pak Yusril, hati-hati, ini bukan kasus kecil tampaknya. Saya yakin rakyat Indonesia pasti mendukung dengan doa selama ini untuk kepentingan penegakan hukum. Negeri ini sudah di tubir jurang kehancuran karena hukum diinjak-injak dan korupsi merajalela, para koruptor bebas berkeliaran dan menjadi warga negara terhormat.
Ira Oemar