Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pengacara Lutfi Dan Argumen " Konyolnya "

4 Juli 2013 | 4.7.13 WIB Last Updated 2013-07-04T05:06:53Z
1372758828321104723
foto : merdeka.com


Ada yang menarik dan sedikit lucu di acara Primetime News yang ditayangkan Metro TV semalam, sekitar jam 18.30-an sampai lewat jam 7 malam. Acara yang dipandu salah satu news anchor Metro TV, Cheryl Tanzil, menghadirkan 2 nara sumber, yaitu salah satu pengacara LHI (maaf saya lupa namanya) dan Febri Diansyah dari ICW. Topik yang dibahas seputar eksepsi penasehat hukum LHI atas dakwaan Jaksa pada persidangan kedua kasus yang menimpa LHI.

Yang diberikan kesempatan pertama menyampaikan pendapatnya adalah pengacara LHI. Saya merasa geli ketika beliau mengatakan bahwa dakwaan KPK hanyalah pencitraan semata. Cheryl Tanzil kemudian meminta sang pengacara untuk menjelaskan alasannya kenapa dakwaan itu disebut “pencitraan”. Ternyata alasannya sangat naif dan menggelikan. KPK menjadikan kasus LHI untuk menaikkan popularitas. Bukti dan indikasinya : jika kita melakukan Google search dengan menggunakan kata kunci “PKS” + “LHI” maka akan muncul sejuta artikel tentang ini. Sedangkan kalau kita hanya melakukan searching menggunakan kata “PKS” saja, maka yang muncul hanya ratusan artikel saja.

Kontan ini membuat saya tertawa. Betapa tidak, kalau kata PKS dan LHI menjadi populer lewat search engine Google, apa keuntungannya bagi KPK? Apakah KPK otomatis mendapat credit point dari banyaknya artikel yang muncul di Google search? Bukankah dengan kata kunci “PKS” + “LHI” itu artikel yang muncul akan beragam, termasuk artikel yang menghujat KPK? Tidak usah terlalu luas melakukan pencarian dengan Google yang mampu menjangkau ribuan situs. Cukup kita melakukan pencarian di lingkup Kompasiana ini saja, mulai kurun waktu Pebruari sampai Juni 2013, semua tulisan yang membahas soal PKS dan LHI, maka akan muncul ratusan (atau bahkan ribuan?) tulisan yang tidak semuanya mendukung KPK. Yang sangat membela LHI dan PKS serta menghujat KPK pun tak kurang banyaknya. Jadi sangat naif dan tidak masuk akal jika indikasi munculnya sejuta artikel hasil pencarian dengan Google dijadikan fakta bentuk pencitraan bagi KPK.

Tidak itu saja, pengacara LHI ini menuduh KPK menyetir pemberitaan di media, seolah karena KPK lah maka pemberitaan di media menjadi seperti itu. Nah, ini lagi, argumen yang sangat lemah dan sulit dibuktikan. Ada berapa banyak media di Indonesia? Ada berapa banyak ragam media (media cetak, media elektronik yang audio, media elektronik yang audio visual, media internet dan mungkin masih ada jenis lain)? Siapa saja pemilik media itu dan kemana keberpihakannya? Apakah sedemikian hebat KPK mampu menyetir semua media dengan beragam afiliasinya itu untuk tunduk pada kemauan KPK? Bukankah bagi media selalu berlaku rumus : bad news is a good news.

Jadi wajar saja kalau pemberitaan terkait hal-hal yang menyangkut keburukan akan lebih luas diliput media. Seorang polisi berpangkat Aiptu di Papua, bernama Labora Sitorus yang memiliki rekening gendut dan disinyalir menjalankan praktik bisnis kotor dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai anggota Polri, jauh lebih menarik perhatian media dan diberitakan secara luas, ketimbang seorang Aiptu di Rembang yang nyambi menjadi tukang kayu dan merangkai jala ikan sepulang dari tugasnya di Polres, demi menambal kebutuhan hidupnya. Mungkin hanya 1 stasiun TV yang memberitakannya, itupun dalam segmen berita sekilas saja. Jadi logika bahwa KPK yang menyetir media agar memberitakan kasus LHI, sungguh sulit diterima akal.

Kembali ke soal munculnya sejuta artikel terkait pencarian menggunakan kata kunci “PKS” + “LHI”, saya jadi teringat seruan dari sebuah akun di Kompasiana – yang bersama sekelompok akun-akun lainnya menamakan diri PKS Lovers – kepada akun-akun lain untuk terus menulis dan menulis hingga mencapai sejuta artikel. Bahkan bagi akun baru yang belum bisa menulis, disarankan men-copas saja tulisan-tulisan dari penulis lain. Nah, apakah seruan/ajakan agar kader PKS berlomba-lomba menulis sampai sejuta artikel ini tidak turut berkontribusi menaikkan rating di mesin pencari semacam Google? 

Apalagi kalau kita perhatikan, tulisan-tulisan dari akun-akun yang menyebut dirinya PKS Lovers itu rata-rata kemudian dihujani vote oleh komunitas mereka, lalu dalam tempo sekejap sudah di share ke berpuluh-puluh bahkan kadang ratusan akun facebook dan twitter, sehingga jumlah click-nya pun menjadi ribuan. Tak jarang pula tulisan itu di-copy paste ke situs PKS Piyungan. Atau sebaliknya sebuah artikel di PKS Piyungan di-copy paste ke Kompasiana oleh lebih dari satu akun. Nah, setiap kali duplikasi tulisan, bukankah itu juga menambah jumlah hasil pencarian di Google? Sebuah tulisan yang sama persis tapi diunggah/diposting ke lebih dari satu situs atau lebih dari satu akun, maka otomatis akan menambah jumlah hasil pencarian. Apalagi kalau kemudian dibagikan ke banyak akun media sosial semacam facebook dan twitter. Nah, kalau sudah begini, akankah KPK yang disalahkan?

Kalau pengacara LHI menuduh KPK yang menyetir media massa untuk menuliskan soal PKS dan LHI, bagaimana dengan media sosial dan media warga? Apakah KPK mampu menyetir jutaan pemilik akun facebook dan twitter serta ratusan pemilik akun di Kompasiana dan media warga lainnya? Apakah akun-akun PKS Lovers yang terus menerus menulis tentang PKS dan LHI itu juga didikte KPK? Karena argumen pengacara LHI hanya soal munculnya sejuta artikel jika melakukan pencarian dengan Google Search. Jadi belum sampai melihat apa isi dari masing-masing artikel hasil pencarian.

Beberapa waktu lalu ada yang menulis di Kompasiana, bahwa sebenarnya yang kurang cerdas itu akun-akun pendukung/pembela PKS dan LHI. Sebab mereka lah yang membuat pro-kontra soal PKS dan LHI ini tidak berhenti. Dengan terus menerus membuat tulisan berisi puja-puji, sanjungan dan pembelaan, otomatis akan memancing tulisan bantahan dan reaksi sebaliknya. Padahal, kalau saja akun-akun itu cukup cerdas memanfaatkan momentum, mereka bisa saja memanfaatkan issu-issu lain untuk mengalihkan fokus perhatian pembaca. Seharusnya mereka berhenti menulis tentang PKS dan LHI lalu menulis tentang issu lain yang saat itu sedang trend. Misalnya issu tentang penangkapan terduga teroris yang penuh kejanggalan, atau issu pemberlakuan e-ticketing commuter line dan issu penggusuran PKL di sekitar stasiun-stasiun KA. Ada juga issu pembagian BLSM yang tak tepat sasaran, issu pembakaran hutan dan asap, issu permintaan maaf SBY kepada Malaysia dan Singapura, sampai issu beragam kerusuhan dan bentrok akibat intoleransi yang kontras dengan penghargaan yang diterima SBY.

Tapi karena kemampuan akun-akun itu dalam hal menulis yang memang tak seberapa, ditambah dengan wawasan yang tak cukup luas, referensi mereka hanya situs PKS Piyungan, akhirnya mereka tak mampu menangkap issu lain yang berseliweran dan mengolahnya menjadi issu baru sehingga perhatian pembaca tak terfokus pada PKS dan kasus LHI semata. Sayangnya, ketidak cerdasan dalam mengelola issu ini tidak mereka sadari dan tidak diakui sebagai kelemahan, ujung-ujungnya hanya menuduh pihak lain yang menunggangi. 

Termasuk tuduhan bahwa KPK yang mengarahkan media agar menulis demikian, sehingga KPK mendapatkan pencitraan positif. Kalau itu dilakukan oleh akun-akun tak beridentitas di media sosial, mungkin tak masalah. Tapi kalau itu dilontarkan oleh seorang pengacara dari seorang pucuk pimpinan parpol, jadi sangat menggelikan. Sejuta artikel yang muncul dari pencarian di Google, adalah indikasi KPK melakukan pencitraan. Padahal, dari sejuta artikel itu bisa saja ratusan ribu diantaranya tulisan kader/simpatisan PKS sendiri yang di-share ke ribuan akun media sosial. Inilah pembelaan paling menggelikan yang pernah saya dengar.

1372828857303360820
Usai persidangan pembacaan eksepsi LHI (foto : news.detik.com)

Difoto terakhir ini, pengacara LHI yang saya maksud dalam tulisan ini adalah beliau yg dalam foto di atas mengenakan kemeja batik warna biru muda di balik jas hitamnya. Saat wawancara dengan Metro TV juga masih mengenakan kemeja tersebut, karena baru selesai menghadiri sidang.

Foto ini saya muat untuk menghindari salah duga, dikira yang saya ceritakan Zainuddin Paru.

Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer
×
Berita Terbaru Update