Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Beli Kucing Dalam Karung

1 Juli 2013 | 1.7.13 WIB Last Updated 2013-06-30T17:02:35Z
13724130382030564155
sebagian parpol peserta pemilu 2014 (foto : antaranews.com)

Menjadi anggota legislatif rupanya masih menjadi impian sebagian orang. Entah apa yang mendasari impian itu, apakah demi memperjuangkan sebuah idealisme yang didukung dengan keyakinan akan kapabilitas dan potensi yang dimiliki, atau sekedar ingin “naik derajat” dengan motif perbaikan ekonomi. Padahal, kalau dipikir-pikir, menjadi wakil rakyat mestinya derajatnya di bawah rakyat yang diwakilinya. Namanya juga cuma “wakil”, yang lebih berkuasa yang “mewakilkan”.

Karena tingginya antusiasme menjadi wakil rakyat, maka ribuan orang dari seluruh Indonesia bersedia ikut dalam ajang kompetisi akbar tahun 2014. Sayangnya, minat itu tak disertai keseriusan dan kepatuhan pada proses, serta rasa tanggung jawab moril yang memadai. Buktinya, pada tahap pengajuan DCS (Daftar Calon Sementara) ada 4.701 bacaleg dari 6.577 orang yang mendaftar, yang tidak memenuhi persyaratan administratif, alias 71,5% berkas terpaksa dikembalikan. Dari 12 parpol nasional (di luar parpol lokal Aceh) ada 3 parpol yang 100% bacalegnya tak memenuhi persyaratan, yaitu PPP, PKS dan PKPI. Saya pernah menulisnya di SINI. Kelihatannya sepele, hanya persyaratan administratif. Tapi setidaknya itu bisa jadi tolok ukur keseriusan parpol dan para bacaleg untuk mematuhi aturan main yang mereka tetapkan sendiri melalui UU Pemilu.

Kini semua parpol sudah memperbaiki DCS-nya. Maka para bacaleg pun segera resmi menjadi CALEG dan mulai mempromosikan dirinya ke tengah masyarakat di daerah pemilihannya. Atau bahkan sudah mulai kampanye?! Ironisnya, ada sekitar 140 caleg yang menolak curriculum vitae (CV) atau riwayat hidupnya dipublikasikan oleh KPU. Lho, kok?! Katanya mau jadi wakil rakyat, kenapa tak mau riwayat hidupnya diketahui rakyat yang akan mewakilkan aspirasinya? Apa yang jadi keberatan? Apalah arti sebuah Curriculum Vitae? Padahal CV itu hanya sebagian kecil saja dari seluruh kisah hidup kita yang sebenarnya.

Misalnya caleg Fulan menulis SD di kota X dari tahun sekian sampai sekian, SMP di kota Y dari tahun sekian sampai sekian, SMA di kota Z mulai tahun sekian sampai sekian. Tapi semua itu tak cukup menjelaskan bahwa ketika di SD Fulan sempat tak naik kelas 3x misalnya. Saat di SMP Fulan pernah tak lulus karena bandel kelewatan dan menganiaya temannya. SMA Fulan pernah masuk tahanan Polsek karena kriminalitas. Atau caleg Fulanah aktif di organisasi kemahasiswaan A sebagai bendahara, pernah menjadi pengurus koperasi warga B, pernah aktif di LSM C sebagai Ketua. Itu semua belum menggambarkan bahwa selama jadi bendahara di organisasi A, Fulanah pernah menilep uang sehingga dicopot dari jabatan. Sewaktu menjadi pengurus koperasi, Fulanah pernah menggelapkan SHU warga. Ketika menjadi Ketua LSM C, Fulanah menjadikan LSM itu sebagai alat untuk mendapatkan dana bantuan tapi sebenarnya program kerjanya tidak ada.

1372413247243555215
Foto : riau2020.wordpress.com

Nah, apakah ketakutan semacam itu yang menyertai diri caleg sehingga mereka keberatan jika riawayat hidupnya di publikasikan melalui situs resmi KPU? Mereka yang berijazah “aspal” akan ketahuan, misalnya si Anu mengaku lulusan PTN ternama jurusan ini-itu angkatan tahun sekian. Maka alumni PTN di jurusan tersebut akan tahu bahwa si Anu hanya mengaku-ngaku saja. Sebab sebenarnya mereka tak pernah punya teman si Anu, atau benar si Anu pernah kuliah di sana, tapi tak sampai lulus karena keburu di DO. Jaman teknologi internet seperti sekarang, tidak terlalu susah menelusuri rekam jejak seseorang dengan bantuan Mbah Google dan piranti lain. Mungkin hal ini juga yang menambah kecemasan para caleg itu jika riwayat hidupnya dipublikasikan.

Memang ada sedikit kekonyolan yang dilakukan KPU. Saat mengisi formulir BB 11 yang diwajibkan bagi para caleg, KPU memberikan pilihan apakah sang caleg bersedia atau tidak riwayat hidupnya dipublikasikan? Maka tak heran kalau dari ribuan caleg ada 140 orang yang menolak dipublikasikan. Seharusnya, KPU sebagai penyelenggara Pemilu, menjamin pula hak pemilih untuk tahu betul pada caleg yang telah dicalonkan parpol-parpol dan diloloskan KPU. Oleh sebab itu seharusnya formulir BB 11 itu hanya berisi pernyataan kesediaan. Misalnya begini : “dengan ini saya sebagai calon anggota legislatif menjamin bahwa apa yang saya tulis dalam riwayat hidup ini adalah benar dan siap mempertanggungjawabkan secara hukum. Untuk itu saya bersedia riwayat hidup saya ini dipublikasikan oleh KPU demi transparansi kepada calon pemilih”.

Akibat dari pilihan yang diajukan KPU tersebut, maka dari 5.650 Caleg, 140 diantaranya menyatakan KEBERATAN data riwayat hidup mereka dipublikasikan. Sebelumnya, hanya 2 dari 12 partai politik peserta Pemilu 2014 yang semua data calegnya boleh dibuka ke publik. Dua partai itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Berikut saya kutip pernyataan Anggota KPU, Hadar Nafis Gumay seperti ditulis dalam Kompas.com : “sebagian caleg dari 10 partai lain menolak jika data riwayat hidupnya dipublikasikan. Dari 5.650 nama dalam daftar calon sementara (DCS) Pemilu Legislatif 2014, sebut dia, 140 caleg menyatakan keberatan jika data riwayat hidup mereka dipublikasikan. Sebelumnya, hanya dua dari 12 partai politik peserta Pemilu 2014 yang semua data calegnya boleh dibuka ke publik. Dua partai itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Amanat Nasional.”

13724134421279519534
foto : amri.web.id

Ada 12 parpol yang akan berlaga pada Pemilu 2014 (sesuai urutan) : Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Hanura, PBB, PKPI. Yang 2 parpol sudah 100% calegnya bersedia dipublikasikan riwayat hidupnya. Bagaimana dengan yang 10 parpol lainnya?! Kalau ada sebagian caleg yang menolak dipublikasikan CV-nya, apa sanksi dari parpol yang mencalonkan? Rupanya selama ini kita sibuk mendengarkan berita parpol-parpol yang kadernya bermasalah dengan hukum dan kasus korupsi, sampai-sampai dilalaikan dengan persiapan Pemilu 2014, yang ternyata sejak awal sudah sarat dengan intransparansi dari sebagian caleg. Kalau caleg banyak tingkah dan sok eksklusif begini dilindungi oleh parpol yang mengusungnya, maka sesungguhnya antara si caleg dan parpolnya setali tiga uang! Nah, masih mau pilih kucing dalam karung? Kucing yang gak dikarungin aja belum tentu kucing buduk atau kucing garong, apalagi yang karungnya diikat tali rapat-rapat. Be smart voters, please!

Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer
×
Berita Terbaru Update