Menjadi anggota legislatif rupanya masih menjadi
impian sebagian orang. Entah apa yang mendasari impian itu, apakah demi
memperjuangkan sebuah idealisme yang didukung dengan keyakinan akan
kapabilitas dan potensi yang dimiliki, atau sekedar ingin “naik derajat”
dengan motif perbaikan ekonomi. Padahal, kalau dipikir-pikir, menjadi
wakil rakyat mestinya derajatnya di bawah rakyat yang diwakilinya.
Namanya juga cuma “wakil”, yang lebih berkuasa yang “mewakilkan”.
Karena tingginya antusiasme menjadi wakil
rakyat, maka ribuan orang dari seluruh Indonesia bersedia ikut dalam
ajang kompetisi akbar tahun 2014. Sayangnya, minat itu tak disertai
keseriusan dan kepatuhan pada proses, serta rasa tanggung jawab moril
yang memadai. Buktinya, pada tahap pengajuan DCS (Daftar Calon
Sementara) ada 4.701 bacaleg dari 6.577 orang yang mendaftar, yang tidak
memenuhi persyaratan administratif, alias 71,5% berkas terpaksa
dikembalikan. Dari 12 parpol nasional (di luar parpol lokal Aceh) ada 3
parpol yang 100% bacalegnya tak memenuhi persyaratan, yaitu PPP, PKS dan
PKPI. Saya pernah menulisnya di SINI.
Kelihatannya sepele, hanya persyaratan administratif. Tapi setidaknya
itu bisa jadi tolok ukur keseriusan parpol dan para bacaleg untuk
mematuhi aturan main yang mereka tetapkan sendiri melalui UU Pemilu.
Kini semua parpol sudah memperbaiki DCS-nya.
Maka para bacaleg pun segera resmi menjadi CALEG dan mulai mempromosikan
dirinya ke tengah masyarakat di daerah pemilihannya. Atau bahkan sudah
mulai kampanye?! Ironisnya, ada sekitar 140 caleg yang menolak curriculum vitae (CV) atau riwayat hidupnya dipublikasikan oleh KPU. Lho, kok?! Katanya
mau jadi wakil rakyat, kenapa tak mau riwayat hidupnya diketahui rakyat
yang akan mewakilkan aspirasinya? Apa yang jadi keberatan? Apalah arti sebuah Curriculum Vitae? Padahal CV itu hanya sebagian kecil saja dari seluruh kisah hidup kita yang sebenarnya.
Misalnya caleg Fulan menulis SD di kota X dari
tahun sekian sampai sekian, SMP di kota Y dari tahun sekian sampai
sekian, SMA di kota Z mulai tahun sekian sampai sekian. Tapi semua itu
tak cukup menjelaskan bahwa ketika di SD Fulan sempat tak naik kelas 3x
misalnya. Saat di SMP Fulan pernah tak lulus karena bandel kelewatan dan
menganiaya temannya. SMA Fulan pernah masuk tahanan Polsek karena
kriminalitas. Atau caleg Fulanah aktif di organisasi kemahasiswaan A
sebagai bendahara, pernah menjadi pengurus koperasi warga B, pernah
aktif di LSM C sebagai Ketua. Itu semua belum menggambarkan bahwa selama
jadi bendahara di organisasi A, Fulanah pernah menilep uang sehingga
dicopot dari jabatan. Sewaktu menjadi pengurus koperasi, Fulanah pernah
menggelapkan SHU warga. Ketika menjadi Ketua LSM C, Fulanah menjadikan
LSM itu sebagai alat untuk mendapatkan dana bantuan tapi sebenarnya
program kerjanya tidak ada.
Nah, apakah ketakutan semacam itu yang menyertai
diri caleg sehingga mereka keberatan jika riawayat hidupnya di
publikasikan melalui situs resmi KPU? Mereka yang berijazah “aspal” akan
ketahuan, misalnya si Anu mengaku lulusan PTN ternama jurusan ini-itu
angkatan tahun sekian. Maka alumni PTN di jurusan tersebut akan tahu
bahwa si Anu hanya mengaku-ngaku saja. Sebab sebenarnya mereka tak
pernah punya teman si Anu, atau benar si Anu pernah kuliah di sana, tapi
tak sampai lulus karena keburu di DO. Jaman teknologi internet seperti
sekarang, tidak terlalu susah menelusuri rekam jejak seseorang dengan
bantuan Mbah Google dan piranti lain. Mungkin hal ini juga yang menambah
kecemasan para caleg itu jika riwayat hidupnya dipublikasikan.
Memang ada sedikit kekonyolan yang dilakukan
KPU. Saat mengisi formulir BB 11 yang diwajibkan bagi para caleg, KPU
memberikan pilihan apakah sang caleg bersedia atau tidak riwayat
hidupnya dipublikasikan? Maka tak heran kalau dari ribuan caleg ada 140
orang yang menolak dipublikasikan. Seharusnya, KPU sebagai penyelenggara
Pemilu, menjamin pula hak pemilih untuk tahu betul pada caleg yang
telah dicalonkan parpol-parpol dan diloloskan KPU. Oleh sebab itu
seharusnya formulir BB 11 itu hanya berisi pernyataan kesediaan.
Misalnya begini : “dengan ini saya sebagai calon anggota
legislatif menjamin bahwa apa yang saya tulis dalam riwayat hidup ini
adalah benar dan siap mempertanggungjawabkan secara hukum. Untuk itu
saya bersedia riwayat hidup saya ini dipublikasikan oleh KPU demi
transparansi kepada calon pemilih”.
Akibat dari pilihan yang diajukan KPU tersebut, maka dari 5.650 Caleg, 140 diantaranya menyatakan KEBERATAN data riwayat hidup mereka dipublikasikan. Sebelumnya, hanya 2 dari 12 partai politik peserta Pemilu 2014 yang semua data calegnya boleh dibuka ke publik. Dua partai itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Berikut saya kutip pernyataan Anggota KPU, Hadar Nafis Gumay seperti ditulis dalam Kompas.com : “sebagian
caleg dari 10 partai lain menolak jika data riwayat hidupnya
dipublikasikan. Dari 5.650 nama dalam daftar calon sementara (DCS)
Pemilu Legislatif 2014, sebut dia, 140 caleg menyatakan keberatan jika
data riwayat hidup mereka dipublikasikan. Sebelumnya, hanya dua dari 12
partai politik peserta Pemilu 2014 yang semua data calegnya boleh dibuka
ke publik. Dua partai itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
dan Partai Amanat Nasional.”
Ada 12 parpol yang akan berlaga pada Pemilu 2014
(sesuai urutan) : Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat,
PAN, PPP, Hanura, PBB, PKPI. Yang 2 parpol sudah 100% calegnya bersedia
dipublikasikan riwayat hidupnya. Bagaimana dengan yang 10 parpol
lainnya?! Kalau ada sebagian caleg yang menolak dipublikasikan CV-nya, apa sanksi dari parpol yang mencalonkan?
Rupanya selama ini kita sibuk mendengarkan berita parpol-parpol yang
kadernya bermasalah dengan hukum dan kasus korupsi, sampai-sampai
dilalaikan dengan persiapan Pemilu 2014, yang ternyata sejak awal sudah
sarat dengan intransparansi dari sebagian caleg. Kalau caleg banyak
tingkah dan sok eksklusif begini dilindungi oleh parpol yang
mengusungnya, maka sesungguhnya antara si caleg dan parpolnya setali tiga uang!
Nah, masih mau pilih kucing dalam karung? Kucing yang gak dikarungin
aja belum tentu kucing buduk atau kucing garong, apalagi yang karungnya
diikat tali rapat-rapat. Be smart voters, please!
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer