Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Suatu pagi musim gugur Jepang

9 Juni 2013 | 9.6.13 WIB Last Updated 2013-06-09T15:41:58Z




Musim hangat sudah pergi entah ke mana. Kutub utara
mengembangkan sayap dinginnya menutupi Nihonmatsu yang sepi. Langit
kuat tersaput awan kelabu yang sendu. Sebaliknya pohon-pohon mulai
ganti baju, bersolek menggincui daunnya, kuning, merah, dan coklat.
Beberapa di antaranya melayang gugur mewarnai jalan yang dilalui oleh
anak sekolah menuju impian masa depan mereka. 

  
Pada musim gugur yang dingin begini, bangun pagi adalah pekerjaan
yang memberatkan. Maunya aku terus tidur siang malam di balik selimut
yang hangat. Maunya aku menjadi beruang yang tidur nyenyak selama musim
dingin. Maunya aku bisa menjelma menjadi beruang dan berhibernasi panjang.


Kalau pada musim panas burung-burung sudah menyanyi
pagi-pagi dengan gembira untuk membangunkan matahari
dan aku, pada musim gugur ini kerapkali kesiangan
mereka bangun. Otomatis matahari dan aku juga tidak
bisa membukakan incat mata sebelum pukul 6. Ketika
coba aku bangun, yang terdengar hanyalah sisa-sisa
nyanyian serangga malam sayup-sayup dari kejauhan yang
meninabobokkan hati.


"Bangun!"

Suara siapa itu? Rasanya kenal aku akan suara itu?
Mungkin aku bermimpi, jadi begitu saja mata ini
dikatupkan lagi dan tidur lagi. Tiap orang tahu bahwa
tidur nyenyak adalah salah satu masa yang paling
bahagia dalam hidup manusia.


"Cepat bangun! Sudah waktu!"

Kali ini suara itu kedengaran lebih keras seperti
petir yang menyambar. Aku sadar suara itu keluar dari
mulut Natsuko yang mulai hilang kesabarannya dan
berdiri di depan pintu kamar tidur dengan muka yang
mengerikan.


Kalau tak bangun cepat, siraman seember air akan
membuatku tenggelam modar dalam kamar. Atau, tendangan
kungfunya bisa bikin nyawaku melayang cepat. Juga,
tebasan pedang samurai yang melayang menyamping
menebas merih ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan.

Aku belum mau mati. Jadi, cepat-cepat kusambar pakaian
dan pergi menuju kamar mandi. Menyiramkan air yang
hangat ke badan dalam udara yang dingin ini sangat
enak terasa. Suhu air dibuat sedikit lebih hangat dari
suhu badan. Itu juga kebahagiaan yang tidak ternilai
dalam udara yang dingin ini.


Sehabis mandi, aku sarapan pagi yang terdiri dari dua
potong roti tawar dengan selai kacang dan segelas
besar teh panas sambil sedikit membaca surat kabar.
Sesudah istirahat sejenak, seperti monyet Gunung
Singgalang aku mulai menyantap irisan pisang yang
diatasnya disirami yoghurt.


Biasanya persiapan pelajaran hari berikutnya
kulaksanakan pada malam hari bersebab selalu tak ada
waktu pada pagi hari. Sesudah sarapan pagi, hanya
tersisa waktu sedikit sebelum bus balai latihan
datang. Waktu yang beberapa menit ini kupergunakan
untuk melamun sambil memandang ke luar. Aku kira
melamun juga salah satu masa yang paling bahagia dalam
hidup manusia.


"Bus segera datang! Nanti terlambat!"

"Ya," jawabku dan keluar dengan tergesa-gesa.

Mungkin teori evolusi bisa dipakai sebagai rujukan
mengapa perempuan tahun-tahun terakhir ini menjadi
lebih kuat. Mungkin kata yamato nadeshiko* sudah tidak
ada lagi dalam kamus masyarakat Jepang. Mungkin hanya
laki-laki yang sudah menikah yang bisa mengerti bahwa
kadang-kadang perempuan lebih mengerikan daripada
seekor harimau.


Itu adalah satu hari aku pada pagi hari musim gugur
yang dingin. Pagi berikutnya drama kehidupan yang
mirip akan terulang lagi. Kalau aku tak menulis lagi,
berarti sesuatu terjadi, termasuk kemungkinannya
merihku sudah habis ditebas biniku.


*Yamato nadeshiko adalah sebutan buat perempuan Jepang
yang cantik, anggun, menawan hati, dan setia pada
suaminya.


Edizal 
×
Berita Terbaru Update