Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sketsa: Film Jokowi dan Elegi Penulis Novel

9 Juni 2013 | 9.6.13 WIB Last Updated 2013-06-09T14:58:30Z




Sejak Jokowi menjadi Walikota Solo, sosoknya fenomenon diberitakan. Apalagi di saat jelang jadi Cagub DKI. Saya sendiri beberapa kali menulis sketsa, dari hasil reportase dengan deskriptif naratif, literair. Tulisan-tulisan deskriptif naratif, ber-setting, sudah mengarah kepada penulisan skenario film.

Salah satu penulis serius menjadikan buku sosok Jokowi adalah Gatotkoco Suroso. Sosok kelahiran 21 Juni — sama dengan  tanggal lahir Jokowi — 1979 ini membuat novel Jokowi si Tukang Kayu. Penerbitnya Ufuk Publishing. Saya ingat bagaimana ketika kami mengadakan acara National Lecture Jokowi di Mabes TNI, 25 Oktober 2012, Gatot berusaha datang dari Dukuh Sawit, Desa Kunti, Kecamatan Andong, Boyolali, Jawa Tengah. Di momen di Cilangkap itu, Gatot menyerahkan bukunya ke Jokowi.

“Kendati Novel, buku itu saya gali dari merekonstruksi cerita mereka yang paham siapa Jokowi. Dan saya batasi hanya hingga ia sebelum jadi Walikota,” tutur Gatot.

“Jauh sebelumnya saya sudah ijin ke Pak Jokowi menulis Novel tentangnya.”

Saya menemui Gatot, bersama isteri, Sandra,  pekan silam di desa Kunti di kediaman orangtuanya. Sebuah rumah berdinding kayu beratap genteng tampak bersahaja. Di bagian kiri dinding kayu dipajang sebuah banner berisi sebuah kegiatan diskusi ala lesehan, Gatot sebagai salah pembicara.
Duduk di sampingnya sang ayah, di era 80-an silam bertutur berjuang untuk gusuran masyarakat Waduk Kedung Ombo. Tak lama kemudian sang ibu menghidangkan rebus kacang tanah, pisang goreng, hasil kebun sendiri. Suara ayam berkotek menghiasi suasana.

Di kanan-kiri kampung Gatot dominan petani menggarap sawah, Maka ketika meninggalkan desa itu terasa kental kehidupan keras. Hingga kini jalanan ke desa itu berlubang-lubang. Kendati ada aspal, namun sejak jaman kemerdekaan hingga sekarang tak dibuatkan parit, got, aliran air. Setiap hujan tiba air membuncah ke jalanan, aspal mengelupas, lubang menganga-nganga. “Perhatian Bupati Boyolali ke desa kami, dan banyak desa lain kurang,” ujar Gatot. 

Di kejauhan batas desa seakan terpaut nyata dibatasi labirin bukit datar memanjang. Agaknya rona hijau dataran lebih tinggi itu mencatat panjang pergumulan hidup warga desa di Kunti ini. Perjalanan kehidupan itulah agaknya mengantar Gatot menjadi penulis.

Di Novel Jokowi ia menggoreskan tulisan:

Menjadi penghuni liar bantaran kali serba tidak enak, harus siap jika sewaktu-waktu digusur paksa. Itulah yang dialami Jokowi sekeluarga. Bantaran Kali Anyar menjadi tempat tinggal ketiga, setelah sebelumnya tinggal di daerah Srambatan dan bantaran Kali Pepe di Desa Munggung. Sehari-hari, Jokowi kecil dihadapkan pada kehidupan yang keras. Setiap pulang sekolah, Jokowi membantu bapaknya bongkar-muat gerobak kayu dan bambu. Begitu juga di hari libur, hanya ada waktu sedikit untuk bermain. Sebagai sulung dari empat bersaudara, dipundaknya ada tanggung jawab yang harus dipikul, membantu dan menggantikan peran bapaknya dalam berbagai hal. Ini demi membantu uang sekolahnya dan tiga adiknya yang sering telat, demi impiannya mengangkat harkat diri dan keluarga. Kerja keras ini membuat Jokowi menjadi anak yang mulai mengenal kemandirian, tak hanya bisa nyadhong pada orangtua. Dia jadi tahu kalau mencari uang itu tidak mudah. Dan, seperti tradisi pada umumnya, anak pertama diharapkan dapat mewarisi dan meneruskan apa yang telah diperjuangkan orangtua: menjadi tukang kayu.

Sebelum Novel Jokowi si Tukang Kayu, Gatot telah menulis Novel Sarjana Muda. Ia menulis bersama Menur Widilaksmi. Penerbitnya, Ufuk juga. Dan juga belum ada menerima rolaty.
Hingga saya datang ke desanya, Gatot mengaku belum juga mendapatkan pembayaran royalty penjualan bukunya oleh penerbit. Padahal sudah sejak tahun lalu diterbitkan.

“Buku kami yang Sarjana Muda juga belum mendapatkan royalty dari penerbit.”

Saya katakan kepada Gatot, jika membuka usaha penerbit, sejatinya bergerak di ranah memajukan peradaban. Dan kalau penerbit justeru mengabaikan penulis, itu artinya mengingkari ruh kepenerbitan. Maka ketika pihak Ufuk pekan lalu menghubunginya, saya katakan biarlah saya menjembatani, terlebih sesama anggota Persatuan Pewarta Warga Indionesia (PPWI).

“Sudah ada rencana pihak Ufuk membayar royalty, namun tak ada pernyataan berapa buku terjual,” ujarnya.
Fakta itu kini menjadi berlanjut mengingat ada pihak yang membuat film Jokowi. Dan diduga buku Gatot dijadikan acuan. “Apalagi ada sosok yang mewakili kontrak saya dengan Ufuk, kini keluar dari Ufuk, dan membuka usaha penerbitan baru mengaku berkomunikasi dengan pembuat film Jokowi,” tutur gatot.
Lantas? “Suatu hari saya mendadak dia SMS mengabari bahawa produser film Jakowi berkenan menjadikan cover buku novel dengan poster film Jokowi.”

“Lho apa-apain ini?”

“Tak ada pembicaraan apa-apa, tahu-tahu ada SMS demikian.”

Di sisi lain saya menyarankan ada pertemuan penerbit, penulis, dan produser.
Hingga hari ini belum juga terlaksana.

Dan melalui info dari Gatot, ia mendapatkan kesan produser Film Jokowi juga merasa tak perlu novelnya Gatot. Lantas pertanyaannya dari mana produser mendapatkan cerita. Subjektif Gatot mengatakan, dia yakin dari novelnya dominan kisah diambil
Ketika dua kali berjumpa Jokowi, Gubernur DKI, Mei 2013, saya konfirmasi apakah pihak produser film meminta ijin kepadanya untuk membuat film Jokowi?

“Iya ada datang sekali. Dan saya tak berkenan diri saya difilm-layarlebarkan,” ujar Jokowi.
Konon pihak produser kini sudah selesai menggarap film Jokowi. 

Dan konon pula, produser sangat yakin Jokowi hadir di pemutaran perdananya di bioskop. Dan dugaan saya kontroversi ini sengaja dibiarkan produser agar filmnya terkenal dan orang berbondong-bondong ke bioskop. Mereka ingin mengambil momentum mengingat kini apa-apa serba Jokowi mendapat rating tinggi.
Akan hal nasib dialami penulis seperti Gatot, bukan barang baru. Mereka yang mengeluarkan daya upayanya, sebagai penulis di negeri ini sudah panjang cerita acap diinjak-injak. Faktor keinsanan selama ini menjadi titik masalah yang tak di-wongke. Apalagi bila berhadapan dengan para produser film yang berkapital kuat. Penulis hanyalah sekrup yang kadang tak dibutuhkan. Apalagi juga bisa diciptakan penulis skenario film yang mengaku bisa melakukan riset sendiri, mengarang sendiri.

Maka Minggu 9, Juni 2013 atas dukungan kawannya, Gatot ingin melakukan konperensi pers di restoran Bandar Jakarta, Ancol, Jakarta Utara, akan nasib yang dia alami ini. Pertanyaan berikutnya siapa wartawan yang mau datang? Karena di setiap konperensi pers, pihak penyelenggra selalu menyiapkan amplop berisi uang untuk ongkos. Gatot tentulah tak memiliki duit. 

Saya katakan kepada Gatot undang saja, siapa tahu satu dua kawan-kawan media berkenan datang. Toh, Gatot juga penulis, tulis saja akan kenyataan ini. 

Iwan Piliang, Citizen Reporter
×
Berita Terbaru Update