Dari beberapa pertemuan saya dengan warga Kota Pariaman, salah satu yang paling dipertanyakan adalah bagaimana membuat Kota Pariaman lebih ramai? Jangan sampai Pariaman hanya ramai di waktu Tabuik Piaman, setiap tanggal 10 Muharram. Ramainya kota Pariaman berkontribusi atas ekonomi Pariaman, terutama kepada para pedagang. Dengan meramaikan Kota Pariaman, berarti income per kapita penduduk Kota Pariaman naik.
Pariaman yang sepi berarti bencana bagi penduduk yang hidup dari perdagangan dan wisata.
Pertanyaan itu saya jawab dengan satu kalimat pendek: kalau selama ini Pariaman hanya sebagai kota tempat lalu (lewat), jadikan Pariaman sebagai kota tempat singgah. Bahkan, ke depan, apabila kota Pariaman makin ramai, jadikan sebagai kota tempat menetap. Selama ini, Pariaman hanya sebagai kota tempat berseliwerannya kendaraan dari Kota Padang menuju daerah-daerah sebelah utara Sumatera Barat dan bagian selatan Sumatera Utara. Padahal, daerah-daerah itu lumayan kaya secara ekonomi, seperti Pasaman Barat dan Pasaman.
Ketika mengunjungi Pasaman Barat beberapa kali, saya seperti memasuki daerah-daerah di Kalimantan. Penduduknya jarang yang pergi ke lapau, sebagaimana masyarakat Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman. Penduduk Pasaman Barat dan Pasaman lebih banyak bekerja di siang hari, sehingga malam adalah wakt istirahat. Kalaupun ada acara di malam hari, sifatnya hanyalah hiburan orgen tunggal yang panggungnya tinggi. Kegunaan panggung tinggi itu untuk mencegah orang-orang berjoget, karena bisa memicu perkelahian. Apalagi, Pasaman Barat terkenal lebih heterogen daripada Pariaman. Penduduk Pasaman Barat berasal dari suku Jawa, Batak, sampai dengan Melayu dan Minangkabau.
Nah, lonjakan ekonomi di Pasaman Barat dan Pasaman itu, serta Agam Barat, belum memberikan manfaat kepada ekonomi Kota Pariaman. Sebabnya adalah masyarakat dari daerah itu lebih banyak berbelanja di Bukittinggi, Padang Panjang atau Padang, bahkan sampai ke Pekanbaru dan Jakarta. Keberadaan Bandara Internasional Minangkabau juga belum membantu Kota Pariaman. Bukannya makin ramai, Kota Pariaman harus kehilangan pegawai-pegawai Kabupaten Padang Pariaman yang pindah ke Parit Malintang.
***
Kondisi itulah yang bisa dimanfaatkan. Daripada jauh-jauh ke Bukittinggi, Padang Panjang dan Padang, lebih baik masyarakat di Pasaman, Pasaman Barat, Agam Barat dan Padang Pariaman, berbelanja di Kota Pariaman. Belum lagi masyarakat di Sumatera Utara bagian Selatan, seperti Natal, Muara Sipongi, dan Kota Nopan. Penduduk di wilayah ini lebih mudah ke Pariaman, daripada mereka ke Medan atau Pekanbaru. Apalagi jalanan di Sumatera Barat dikenal lebih bagus daripada di Sumatera Utara. Dengan keberadaan Kota Pariaman yang strategis, bisa jadi memanfaatkan penduduk bagian utara Sumbar dan selatan Sumut ini saja sudah menjadi kelebihan yang bisa dimanfaatkan.
Bagaimana caranya?
Pertama, pembangunan infrastruktur jalan yang melintang dan melingkar. Jadi, nuansa kota dibuat jadi bunderan demi bunderan, bukan hanya lurus menggunakan jalan-jalan lama. Jalan-jalan dibuat untuk mengintari seluruh kota, begitu juga aturan berkendaraan. Kecuali jalan yang tentunya untuk menuju bandara. Taman-taman kota dibuat di beberapa titik. Dengan cara seperti ini, pemilik kendaraan bisa melihat-lihat sebagian besar wilayah Kota Pariaman, berikut potensi yang ada.
Kedua, pembuatan gerai-gerai atau outlet-outlet di sejumlah desa yang potensial menghasilkan ciri khas Pariaman. Gerai-gerai itu dilengkapi dengan ruangan parkir yang luas dan tempat bermain anak-anak yang aman. Sehingga, ketika ibu-ibu berbelanja, mereka tidak khawatir dengan keselamatan anak-anaknya. Lokasi penunjuk jalan ke arah gerai-gerai itu dibuat semenarik mungkin. Semua pihak yang berkepentingan juga mengetahuinya, termasuk tukang-tukang ojek dan bendi.
Ketiga, membuat ciri masing-masing desa atau kelurahan sebagai sentra-sentra ekonomi kreatif. Sulaman Nareh, misalnya, dijadikan sebagai iko Nareh dengan cara membuat area seperti Pandai Sikat. Padang Biriak-Biriak menjadi lokasi berjualan kerupuk baguak. Kampung Perak menjadi sentra kerajinan perak untuk oleh-oleh, seperti kapal-kapalan atau tabuik mini Piaman. Simpang Jaguang menjadi sentra kuliner, dari jagung, perkedel, kacang hijau sampai nenas. Palak Aneh betul-betul ada tanaman nenasnya. Jadi, ada 71 ciri khas di Kota Pariaman, sesuai dengan jumlah desa dan kelurahan.
Keempat, pembuatan homestay yang nyaman, murah dan rapi. Homestay ini gunanya bagi para musafir yang singgah, baik dari arah utara ataupun dari arah selatan. Homestay lebih ditujukan kepada penduduk Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Sumatera Utara yang ingin bermalam di Kota Pariaman. Saya membayangkan ucapan berikut, “Ayok bermalam di Pariaman, makan-makan dan melihat-lihat pemandangan laut.” Ucapan itu datang dari pekerja perkebunan di Pasaman, Pasaman Barat atau Agam.
Kelima, memberdayakan pegawai negeri sipil Kota Pariaman. Survei saya membuktikan, mayoritas pegawai menghabiskan waktu lebih banyak di kantor, tapi dengan nilai pekerjaan yang belum maksimal. Apa salahnya para pegawai negeri sipil dipulangkan lebih cepat, lalu bekerja untuk kebutuhan keluarganya, termasuk meramaikan Kota Pariaman?
Para pegawai ini selain memiliki suatu jenis usaha tertenu, juga bisa meramaikan kota dengan kegiatan olahraga, kesenian ataupun kegiatan produk lainnya di bidang organisasi.
Usia kota ini sudah lima abad, tepatnya sejak Tome Pires datang ke kota ini pada tahun 1513 dan mencatatnya dalam buku Suma Oriental. Petualang asal Portugis itu hadir di kota ini, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Nah, jalur perdagangan saja bisa pindah dari pesisir barat ke pesisir timur Sumatera pada abad-abad lampau. Kenapa tidak hal serupa terjadi untuk kota Pariaman? Iko Jaleh Piaman!
catatan Indra J Piliang