Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tentang Tim Kurcaci IJP-JOSS

9 Mei 2013 | 9.5.13 WIB Last Updated 2013-05-09T05:40:38Z





Jelang pukul 4 pagi, tanggal 12 April 2013 ini, pasangan Indra Jaya Piliang dan Joserizal IJP-JOSS dinyatakan KPU Kota Pariaman memenuhi syarat untuk tahapan berikutnya lewat jalur perseorangan. Walau tertatih, deg-degan, serta sempat stress, tim IJP-JOSS mampu melewatinya dengan hasil memuaskan. Tidak maksimal, namun penuh kegairahan. 

Selama ini, banyak masukan atau pertanyaan kepada saya tentang tim yang selama ini mendampingi saya. Soalnya, dari sisi usia, mereka relatif muda. Ada yang berumur 16 tahun, ada juga yang 40 tahun. Namun, diukur dari rata-rata, usia mereka masih 22 tahun. Artinya, dari usia rata-rata, mereka belum sekalipun ikut menjadi pemilih dalam pemilu. Tentu ada yang sudah ikut pemilu legislatif 2009 dan pemilu presiden 2009, juga pilkada gubernur Sumbar 2010. 

“Kenapa tim bapak berusia muda? Apa yang tua-tua tidak mampu?” begitu antara lain bunyi pertanyaan via sms dalam dialog saya dengan pendengar Radio Damai FM Kota Pariaman.
Pertanyaan yang sama saya hadapi ketika berjumpa dengan sejumlah orang. “Apa itu NBI? Apa itu Alang Babega?” Begitu nadanya. 


NBI singkatan dari Nangkodo Baha Institute, sebuah lembaga think tank yang saya dirikan di Kota Pariaman dan diawaki oleh anak-anak muda di bawah 30 tahun. Sementara Alang Babega adalah relawan yang saya latih selama tiga hari dua malam di INS Kayu Tanam yang rata-rata usianya 22 tahun tadi. Metode pelatihannya lumayan keras dan disiplin. Bahkan, Angkatan Pertama sempat diinisiasi, dimandikan di dalam kolam pada pukul 02.00 dinihari. Angkatan Kedua tidak bisa, mengingat cuaca sedang mendung dan beberapa peserta jatuh sakit dan kesurupan. 

Kedua organisasi inilah yang menjadi relawan saya atau dikenal oleh masyarakat sebagai “Tim IJP-JOSS”. Di luar itu, terdapat Tim IJP Center yang merupakan veteran IJP 09 yang menjadi inti dari tim pemenangan saya dalam pemilu legislatif 2009. Dalam masa kerja selama delapan bulan, Tim IJP 09 berhasil meraih suara sebesar 26.599 untuk saya. Tentu, ada banyak faktor lain yang menyebabkan suara itu didapat. Tapi inti dari tim yang saya bentuk itu menjadi kekuatan utama. 

Praktis, sejak tahun 2009, saya berkembang bersama dengan alumni-alumni IJP 09. Sebagian kecil berangkat ke Jakarta dan bekerja di kantor yang saya dirikan. Sebagian lain melanjutkan kuliahnya.
Tentu ada supervisor yang datang dari Jakarta, bahkan Malang, untuk menetap berminggu-minggu dan berbulan-bulan di Pariaman. Saya menjadi saksi akan dedikasi mereka, perjuangan mereka, serta cara mereka menyembunyikan banyak masalah agar saya tidak tahu. Saya terpaksa menggunakan insting untuk menemukan atau menanyakan masalah mereka. Tembok yang tebal seolah berdiri ketika proses menemukan masalah itu terjadi. 

***

Ada juga Tim Keluarga yang juga berusia muda. Serta bantuan dari orang-orang baik yang datang. Rata-rata mereka terpancing oleh ucapan para relawan bahwa kami tidak ingin membeli KTP. Kalau memang mau membantu, kami menyediakan biaya sekadarnya. Rupa-rupanya, para kandidat independen lain sudah “merusak” pasar, yakni membeli KTP seharga Rp. 10.000,- sampai Rp. 15.000,-. Kami tentu tidak cukup uang untuk itu. Sebab, kami perlu KTP sebanyak 7.000 lembar. 

Untunglah, saya sudah terlebih dahulu melatih Relawan Alang Babega. Mereka datang dari setiap desa dan kelurahan. Sempat muncul seloroh di mulut mereka, “Pak IJP kabarnya mau jadi Walikota, kenapa bersikap keras kepada kita?” Saya memang mengatakan kepada mereka untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Kalaupun mereka akhirnya terlibat, sifatnya bukanlah paksaan. Relawan ini memang saya persiapkan sebagai cadangan sumberdaya manusia di Kota Pariaman, dengan cara bekerja sama. Bayangkan, pergaulan mereka semula hanya sebatas desanya atau keluarga dekatnya. Lalu, setelah mengikuti pelatihan dan aktif, mereka menjadi memiliki banyak kawan di seluruh Kota Pariaman dan di luar Pariaman. 

Mereka saya lantik sebagai relawan perubahan. “Sekalipun Superman yang menjadi Walikota Pariaman, apabila masyarakatnya tidak mau berubah, pastilah Superman akan gagal,” kata saya. Dengan semangat itulah, mereka manjadi agen-agen perubahan, minimal berubah untuk diri sendiri, sikap, posisi dalam keluarga, sampai bisa menjadi bagian perubahan di masyarakat. 

Sebagian besar relawan ini bekerja, sehingga kesulitan mencari waktu. Saya sama sekali tidak meminta mereka melepaskan diri dari pekerjaannya, bahkan relawan yang paling inti sekalipun. Bahkan, beberapa menjadi tulang punggung keluarganya. Pekerjaan mereka macam-macam, mulai dari petani, pengajar di Pendidikan Anak Usaha Dini (PAUD), pedagang keliling, kuli bangunan, mahasiswa, bahkan ada yang menjadi debt collector bagi perusahaan kendaraan bermotor, lalu memilih berhenti.

Hanya sebagian kecil relawan yang aktif, bahkan sampai 24 jam, tidur di Kantor NBI, bergelimpangan. Baru seminggu yang lalu mereka dibelikan bantal. Biasanya, mereka berebut untuk memakai bantalan sofa ruang tamu untuk dijadikan bantal. Seluruh supervisor juga tidur dalam keadaan yang sama. Hanya saya yang tidur lebih enak, yakni di atas sofa di kamar kerja saya. Sejak membentuk Tim IJP 09 dalam pemilu 2009 lalu, saya memang membiasakan diri tidur di tempat tim saya tidur. Tanpa kasur. 

Tentu, saya punya rumah di Kota Pariaman, milik saudara. Namun, rumah itu jarang saya pakai. Letaknya di pinggir laut. Saya baru tidur di rumah itu, kalau badan terasa mulai tidak enak dan butuh istirahat. Pada awal tim dibentuk, saya pernah sakit, terkilir di bagian pangkal lengan. Salah urat. Butuh sebulan untuk menyembuhkannya, setelah saya datang ke dokter akupuntur langganan di dekat Hotel Mulia, Jakarta. Alhamdulillah, di luar penyakit itu, badan saya terasa sehat, walau kurang tidur. Sebab, saya menghindari sarapan pagi dengan menu berat. Hanya makan roti dan bubur, disertai buah-buahan dalam jumlah banyak. 

*** 

Suasana itulah yang membentuk tim. Sama sekali tidak ada jarak. Kadang, muncul pertengkaran, akibat emosi sesama anak-anak muda. Saya menyelesaikan setiap pertikaian itu dengan cara mendekati masing-masing pihak. Untunglah, tim inti sudah saling mengenal selama lima tahun. Saya percaya total kepada mereka. Dalam lima tahun ini, saya terus berkomunikasi dengan mereka, bahkan mengajaknya sebagian ke Jakarta untuk sekolah atau bekerja. Satu “jaminan” yang mereka ingat adalah: saya tidak akan pernah melupakan mereka. Sekalipun gagal menjadi anggota DPR RI, walau suara yang saya peroleh besar, tetap saja saya membina mereka sesuai dengan minat, bakat dan cita-cita masing-masing. 

Militansi yang terjadi dalam tim saya sampai ke telinga dari orang-orang lain yang mengamati. Mereka tahan bekerja di saat hujan atau panas. Ketika saya datangi rumah mereka satu demi satu, terlihat kehidupan orang tuanya. Ternyata, tidak semuanya miskin, melainkan juga terdiri dari anak-anak orang berada di Kota Pariaman. Orang tua mereka seperti menyerahkan anak-anak mereka untuk “bersekolah” di posko. Laki-laki dan perempuan. Tapi ada juga orang tua yang meminta anak-anaknya bekerja untuk saya secara sembunyi-sembunyi, mengingat posisi orang tuanya dalam pemerintahan. Ya, orang tua mereka adalah anak buah dari incumbent

Tentu saya tidak ingin menyebut nama mereka satu demi satu, walau saya mulai menghafalnya. Biarlah, suatu saat, nama itu saya tulis dalam data yang sebenarnya. Mereka masih muda. Sebagian bahkan masih teramat muda, belum mampu berbicara secara baik dan benar, sama sekali membisu dan hanya tahu melakukan hal-hal teknis. Yang pandai bicara juga ada, menjadi penyambung lidah teman-temannya kalau ada yang mereka mau sampaikan kepada saya. Cara berbicaranya ada yang sangat sopan dan tertata, tetapi ada juga yang ceplas-ceplos. 

Saya berterima kasih kepada mereka, Tim Kurcaci yang dipandang sebelah mata. Namun, Tim Kurcaci inilah yang menunjukkan sebuah prestasi, mengumpukan 7000 KTP dalam waktu kurang dari dua minggu, sesuatu yang dikerjakan berbulan-bulan oleh tim lain. Tentu, KTP tidak hanya datang dari mereka, juga dari tim yang lain, bahkan ada seorang ibu yang sanggup mengumpulkan hampir 1.000 lembar KTP. Tetapi, merekalah yang menemukan ibu-ibu itu, lalu mengerjakan bagian mereka: menulis kembali alamat di dalam blangko, mengarsipkan, memasukkan ke dalam komputer, sampai melakukan verifikasi selama bermalam-malam dalam wajah yang mirip KTP juga. 

Selain kepada mereka, saya berterima kasih kepada masyarakat Kota Pariaman. Satu bukti sudah terpampang bahwa tidak semua kerja politik bernilai uang...  


Catatan Indra Jaya Piliang
×
Berita Terbaru Update