Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Inilah Hasil UN Tingkat SMA Tahun 2013

25 Mei 2013 | 25.5.13 WIB Last Updated 2013-05-27T04:33:01Z
13693766251557613955
Ilustrasi. Siswa mengikuti ujian nasional SMA/SMK sederajat./Admin (KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP)


Akhirnya, setelah sebulan berlalu pasca penyelenggaraan Ujian Nasional yang kisruh, diwarnai penundaan beberapa kali di berbagai daerah serta carut marut tertukarnya soal, kurangnya soal dan beragam persoalan ikutannya, hari ini siswa tingkat SMA/Madrasah Aliyah dan SMK akan menerima hasil UN mereka.
Prosentase kelulusan tahun ini sedikit mengalami penurunan dibanding tahun lalu. 

Jika pada UN SMA 2012 prosentase kelulusannya 99,50%, tahun ini menjadi 99,48%. Rupanya penurunan yang tak signifikan ini yang membuat Mendikbud berani mengklaim bahwa meski UN ditunda, tak mempengaruhi kelulusan. Padahal, dari nilai rata-rata kelulusan tahun ini, ada penurunan tajam dibanding tahun lalu. Tahun 2012 angka rata-rata kelulusan mencapai 7,57 sedangkan tahun ini hanya 6,35. Sedangkan siswa yang tidak lulus sebanyak 8.250 orang. Sebanyak 24 sekolah tingkat kelulusannya 0% alias tak satu pun siswa dari 24 sekolah itu yang lulus.

Sebenarnya mengukur sukses atau pengaruh penundaan UN hanya dilihat dari prosentase kelulusan secara nasional sangatlah prematur untuk mengatakan tak ada pengaruh. Harus lebih tajam lagi dianalisa pada masing-masing kabupaten/kota yang mengalami penundaan dan keterlambatan datangnya soal. Semisal keluhan teman saya yang tinggal di Mataram, NTB. Putrinya sudah mengalami penundaan yang seharusnya dilakukan hari Senin 15 April diundur menjadi hari Kamis, 18 April. Siswa pun sejak pagi hari sudah bersiap hadir di sekolah. Ternyata tetap saja soal datang terlambat, hingga UN baru bisa benar-benar dilaksanakan di atas jam 1 siang waktu setempat dan berakhir persis menjelang adzan Maghrib. 

Bayangkan, siswa harus menunggu sekian lama, mungkin saja mereka tak siap dengan membawa bekal makan siang atau uang yang cukup, karena seharusnya mereka hanya ujian satu mata pelajaran saja, dimulaipagi hari dan berakhir siang, sehingga mereka bisa makan siang di rumah.

Dalam beberapa berita di TV, saya lihat bahkan sebagian siswa yang bosan menunggu akhirnya tertidur di bangkunya. Bahkan ada yang tak kuat menahan kantuk sampai sore, akhirnya mereka hanya mengerjakan sebagiann soal UN dan selebihnya mereka tertidur. Ini bukan joke, tapi ini kenyataan. Kita harus maklum di beberapa daerah di Indonesia, perjalanan menuju ke sekolah adalah perjuangan panjang sejak subuh hari, mengerahkan energi fisik melintasi sungai dan jalanan berbatu. Jadi kalau UN dilaksanakan pagi hari, mungkin sisa energi mereka masih cukup untuk mengerjakan soal. Sedangkan menunggu 5-6 jam bukan pekerjaan yang menyenangkan. Kantuk menyerang itu sudah hal yang wajar.

Belum lagi kalau UN berakhir senja/petang, jam berapa mereka tiba di rumahnya kembali? Kalaupunharus naik angkutan umum, tak selalu tersedia angkutan 24 jam di daerah tertentu. Masih butuh perjuangan panjang lagi untuk kembali ke rumah, sampai di rumah dalam kondisi lelah luar biasa dan tak ada kesempatan untuk sekedar buka buku pelajaran yang akan UN esok harinya.

Begitupun sekolah-sekolah yang 100% siswanya tidak lulus, Kemendikbud perlu mengevaluasi apakah UN di sekolah-sekolah itu berjalan normal tanpa penundaan baik penundaan hari atau jam. Sehingga bisa dipastikan siswa benar-benar mengerjakan UN tanpa rasa tegang, stress, lelah, bosan. Ada juga sekolah-sekolah di daerah yang memang tak terdapat mesin foto kopi, sehingga kekurangan soal tak bisa ditutupi dengan soal fotokopian, maka para siswa terpaksa mengerjakan soal secara bergantian, 1 soal dipakai untuk beberapa siswa sekaligus, dengan jalan dibuka klip-nya dan tiap siswa mengerjakan soal 1 lembar sambil menunggu rekan lainnya selesai untuk ditukar. Ini sungguh-sungguh kacau, bukan ujian sebagaimana layaknya.

Seseorang yang akan diuji seharusnya dalam kondisi psikis yang nyaman dan fisik yang prima, kemudian diberikan saran yang memadai serta keleluasaan mengerjakan soal sesuai mana yang dianggapnya lebih mudah dikerjakan dulu. Kalau soal harus berbagi dengan teman, tentu kenyamana dan keleluasaan itu sama sekali tidak ada. Pada sekolah-sekolah yang mengalami kasus semacam ini, sudah seharusnya Mendikbud bertanggung-jawab dengan memberi kelonggaran untuk UN ulang. Jangan sampai karena ketidakpiawaian Kemendikbud mengelola UN, siswa yang jadi korban harus mengulang setahun lagi. 

Selain waktu dan usia mereka yang tersia-sia, orang tua pun harus mengeluarkan biaya ekstra karena anaknya mengulang setahun.

Semoga saja Kemendikbud – terutama Mendikbud-nya – mau lebih introspeksi dan bijak menyikapi pelaksanaan UN kali ini, agar tujuan pendidikan yang sebenarnya dapat tercapai. Selamat bagi siswa SMA/Aliyah/SMK yang lulus UN, jangan terlalu terbawa emosi hura-hura, sebab ke depan tantangan kalian masih banyak. Untuk yang belum berhasil, semoga tidak putus asa.

Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer
×
Berita Terbaru Update