Ilustrasi. Siswa mengikuti ujian nasional SMA/SMK sederajat./Admin (KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP)
Akhirnya, setelah sebulan berlalu pasca
penyelenggaraan Ujian Nasional yang kisruh, diwarnai penundaan beberapa
kali di berbagai daerah serta carut marut tertukarnya soal, kurangnya
soal dan beragam persoalan ikutannya, hari ini siswa tingkat
SMA/Madrasah Aliyah dan SMK akan menerima hasil UN mereka.
Prosentase kelulusan tahun ini sedikit mengalami
penurunan dibanding tahun lalu.
Jika pada UN SMA 2012 prosentase
kelulusannya 99,50%, tahun ini menjadi 99,48%. Rupanya penurunan yang
tak signifikan ini yang membuat Mendikbud berani mengklaim bahwa meski
UN ditunda, tak mempengaruhi kelulusan. Padahal, dari nilai rata-rata
kelulusan tahun ini, ada penurunan tajam dibanding tahun lalu. Tahun
2012 angka rata-rata kelulusan mencapai 7,57 sedangkan tahun ini hanya
6,35. Sedangkan siswa yang tidak lulus sebanyak 8.250 orang. Sebanyak 24
sekolah tingkat kelulusannya 0% alias tak satu pun siswa dari 24
sekolah itu yang lulus.
Sebenarnya mengukur sukses atau pengaruh penundaan
UN hanya dilihat dari prosentase kelulusan secara nasional sangatlah
prematur untuk mengatakan tak ada pengaruh. Harus lebih tajam lagi
dianalisa pada masing-masing kabupaten/kota yang mengalami penundaan dan
keterlambatan datangnya soal. Semisal keluhan teman saya yang tinggal
di Mataram, NTB. Putrinya sudah mengalami penundaan yang seharusnya
dilakukan hari Senin 15 April diundur menjadi hari Kamis, 18 April.
Siswa pun sejak pagi hari sudah bersiap hadir di sekolah. Ternyata tetap
saja soal datang terlambat, hingga UN baru bisa benar-benar
dilaksanakan di atas jam 1 siang waktu setempat dan berakhir persis
menjelang adzan Maghrib.
Bayangkan, siswa harus menunggu sekian lama,
mungkin saja mereka tak siap dengan membawa bekal makan siang atau uang
yang cukup, karena seharusnya mereka hanya ujian satu mata pelajaran
saja, dimulaipagi hari dan berakhir siang, sehingga mereka bisa makan
siang di rumah.
Dalam beberapa berita di TV, saya lihat bahkan
sebagian siswa yang bosan menunggu akhirnya tertidur di bangkunya.
Bahkan ada yang tak kuat menahan kantuk sampai sore, akhirnya mereka
hanya mengerjakan sebagiann soal UN dan selebihnya mereka tertidur. Ini
bukan joke, tapi ini kenyataan. Kita harus maklum di beberapa daerah di
Indonesia, perjalanan menuju ke sekolah adalah perjuangan panjang sejak
subuh hari, mengerahkan energi fisik melintasi sungai dan jalanan
berbatu. Jadi kalau UN dilaksanakan pagi hari, mungkin sisa energi
mereka masih cukup untuk mengerjakan soal. Sedangkan menunggu 5-6 jam
bukan pekerjaan yang menyenangkan. Kantuk menyerang itu sudah hal yang
wajar.
Belum lagi kalau UN berakhir senja/petang, jam
berapa mereka tiba di rumahnya kembali? Kalaupunharus naik angkutan
umum, tak selalu tersedia angkutan 24 jam di daerah tertentu. Masih
butuh perjuangan panjang lagi untuk kembali ke rumah, sampai di rumah
dalam kondisi lelah luar biasa dan tak ada kesempatan untuk sekedar buka
buku pelajaran yang akan UN esok harinya.
Begitupun sekolah-sekolah yang 100% siswanya tidak
lulus, Kemendikbud perlu mengevaluasi apakah UN di sekolah-sekolah itu
berjalan normal tanpa penundaan baik penundaan hari atau jam. Sehingga
bisa dipastikan siswa benar-benar mengerjakan UN tanpa rasa tegang,
stress, lelah, bosan. Ada juga sekolah-sekolah di daerah yang memang tak
terdapat mesin foto kopi, sehingga kekurangan soal tak bisa ditutupi
dengan soal fotokopian, maka para siswa terpaksa mengerjakan soal secara
bergantian, 1 soal dipakai untuk beberapa siswa sekaligus, dengan jalan
dibuka klip-nya dan tiap siswa mengerjakan soal 1 lembar sambil
menunggu rekan lainnya selesai untuk ditukar. Ini sungguh-sungguh kacau,
bukan ujian sebagaimana layaknya.
Seseorang yang akan diuji seharusnya dalam kondisi
psikis yang nyaman dan fisik yang prima, kemudian diberikan saran yang
memadai serta keleluasaan mengerjakan soal sesuai mana yang dianggapnya
lebih mudah dikerjakan dulu. Kalau soal harus berbagi dengan teman,
tentu kenyamana dan keleluasaan itu sama sekali tidak ada. Pada
sekolah-sekolah yang mengalami kasus semacam ini, sudah seharusnya
Mendikbud bertanggung-jawab dengan memberi kelonggaran untuk UN ulang.
Jangan sampai karena ketidakpiawaian Kemendikbud mengelola UN, siswa
yang jadi korban harus mengulang setahun lagi.
Selain waktu dan usia
mereka yang tersia-sia, orang tua pun harus mengeluarkan biaya ekstra
karena anaknya mengulang setahun.
Semoga saja Kemendikbud – terutama Mendikbud-nya –
mau lebih introspeksi dan bijak menyikapi pelaksanaan UN kali ini, agar
tujuan pendidikan yang sebenarnya dapat tercapai. Selamat bagi siswa
SMA/Aliyah/SMK yang lulus UN, jangan terlalu terbawa emosi hura-hura,
sebab ke depan tantangan kalian masih banyak. Untuk yang belum berhasil,
semoga tidak putus asa.
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer