Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Statement Mendikbud Soal UN Pantaskah ?

19 April 2013 | 19.4.13 WIB Last Updated 2013-04-19T14:30:39Z
1366348470272181733

foto : www.antarajambi.com

Rabu malam saya nonton tayangan talk show di TV One yang – lagi-lagi – membahas carut marut Ujian Nasional 2013. Ada cuplikan pernyataan Mendikbud Muhammad Nuh yang ditayangkan di sela-sela diskusi, entah pernyataan itu diucapkan dalam rangka apa, yang jelas itu bukan wawancara spontan M. Nuh dengan wartawan media sambil jalan di sela kesibukannya sidak percetakan. Dalam cuplikan itu tampak Pak Nuh duduk di depan meja sambil menghadap microphone, seperti sedang jumpa pers. Entah apa awal mulanya, yang jelas kutipan tayangan itu fokus pada kalimat Pak Nuh yang menurut saya kurang enak didengar.

Pak Nuh mengatakan bahwa dengan kisruhnya pelaksanaan UN kali ini pasti yang paling senang adalah mereka yang sejak dulu menolak UN. “Saya kan juga bisa melogika toh? Jadi logikanya begitu, yang menolak UN pasti seneng”. Ternyata feeling saya benar, kalimat itu pun langsung ditanggapi sinis sekaligus tersinggung dari anggota DPR Komisi X, Deddy ‘Miing’ Gumelar dan ibu Retno Listyarti, Sekjen FSGI (Forum Serikat Guru Indonesia). Bagaimana bisa Pak Nuh berpikir bahwa orang-orang yang menolak UN akan bertepuk tangan senang melihat pelaksanaan UN amburadul, mengecewakan anak didik dan merepotkan sekolah? Bukankah sejak dulu para penolak UN justru memperjuangkan hak anak didik dan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dalam melakukan evaluasi atas prestasi belajar siswa? Jadi bagaimana mungkin para penolak UN justru bahagia melihat pelaksanaan UN yang amat sangat memprihatinkan ini.

Kisruh UN bukan hanya di 11 propinsi yang jadwalnya di undur. UN di 22 propinsi yang berjalan sesuai jadwal pun tak kurang kacaunya. Ibu Retno bercerita, ada sebuah sekolah yang UN-nya ditunda 5 jam karena jumlah soal kurang. Selama menunggu itu siswa stress dan tegang, sampai-sampai ada yang lupa letak toilet sekolahnya sendiri. Akhirnya siswa-siswa itu memulai UN jam 12 siang sampai jam 2, dalam kondisi letih, lapar dan haus. Konsentrasi tentu sudah buyar, stamina sudah turun, mana mungkin bisa mengharapkan hasil optimal dengan kondisi seperti itu?


Ada lagi sekolah yang terpaksa menunda UN mapel Bahasa Indonesia untuk jurusan IPS karena soal tidak ada, sementara jurusan IPA jalan terus. Ada pula sekolah yang peserta UN-nya 4 kelas, namun hanya tersedia soal dan lembar jawab 1 amplop saja. Solusinya difotokopi. Karena kertas ujian itu dilengkapi barcode, maka saat memfotokopi barcode harus dilepas dulu. Padaha kondisi kertas ujian sangat tipis dan mudah sobek. Masalah tak selesai sampai di situ, siswa yang mengerjakan soal di lembar jawab fotokopian dibayang-bayangi ketidaklulusan sebab jika dikoreksi kelak, lembar jawab itu akan tertolak oleh sistem komputer.

Di Sumatera Utara – propinsi yang tidak termasuk UNJ-nya ditunda – ada 521 sekolah terpaksa menunda UN karena soal kurang. Wartawan TV One kemudian menemui seorang siswi di rumahnya, kabarnya siswi tersebut dan teman-temannya terus menerus menangis karena kesal, sedih, kecewa dan down mentalnya. Saat diwawancara, siswi jurusan IPA itu mengungkapkan kekecewaannya dan mengaku kecil hati karena masih harus menunggu Senin depan untuk UN, yaitu tanggal 22 – 25 April, sementara rekan-rekannya satu sekolah yang jurusan IPS sudah selesai UN sesuai jadwal.

Di beberapa sekolah soal UN diterima dalamkeadaan sobek, basah, segel terbuka, amplop soal tertukar (misalnya di amplop tertulis Matematika, isinya soal Bahasa Inggris), keliru paket soalnya, isi amplop kurang, dsb. Di Mataram, NTB, kardus soal UN bahkan tertukar dengan kardus air mineral dan baru diketahui ketika sudah sampai di sekolah. Nah lho, berarti yang dikawal ketat itu kardus air mineral! Lalu bagaimana keamanan soal yang tertukar? Bukankah ada jeda waktu kardus soal itu tanpa pengawasan?

PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) dalam jumpa pers resmi menyebut kekacauan UN tahun ini BUKAN karena kesalahan teknis melainkan human error. Karena itu Presiden SBY harus mengevaluasi kinerja Mendiknas. Sementara FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) telah melaporkan temuannya bahwa PT. Ghalia Indonesia yang memenangkan tender untuk mencetak soal UN di 11 propinsi justru adalah penawar tertinggi dibanding 5 percetakan lainnya, yaitu di angka Rp. 22,8 milyar, diindikasi ada pemborosan Rp. 7,2 milyar. Dari sisi kompetensi, PT. Ghalia dianggap kurang kompeten karena di tahun 2010 hanya mendapat order untuk mencetak di 1 propinsi saja. Kenapa tahun ini bisa mendapat jatah 1/3 dari seluruh Indonesia, sementara untuk 22 propinsi lainnya harus dibagi pada 5 percetakan lain.


Malam itu pun dilakukan telewawancara dengan Wamendikbud, beliau menjamin bahwa Kamis, seluruh propinsi yang mengalami penundaan akan bisa melaksanakan UN serentak esok paginya. Ternyata, kemarin semua media memberitakan kekisruhan tetap terjadi di banyak daerah. Ada sekolah yang terpaksa memulangkan dulu siswa peserta UN dan kembali lagi siang harinya karena soal datang telat. Di Kalimantan Timur, 7 kabupaten bahkan terpaksa menunda lagi UN untuk kesekian kalinya. Padahal, perkiraan bakal telatnya soal di beberapa daerah di Kaltim sudah diprediksi sejak Rabu sore – mengingat letak geografis dan ketersediaan sarana d daerah tersebut – dan sudah diingatkan, namun Mendikbud dan Wamen tetap ngotot bahwa tidak akan ada keterlambatan soal tiba di semua daerah. Seolah masukan dari berbagai pihak diabaikan dan tetap berusaha meyakinkan masyarakat, meski sudah jelas itu hal yang mustahil.
Maka lengkaplah sudah carut marut UN, mulai dari hulu sampai hilir. Sah-sah saja segenap kemarahan siswa, orang tua murid, guru dan masyarakat. Ini bukan baru pertama kalinya UN diadakan, sudah 10 tahun, semestinya tinggal mengulang pengalaman dari tahun ke tahun sambil menyempurnakan kekurangan. Pak Nuh menjabat sebagai Mendikbud (dulu Mendiknas) sudah mulai 2009, berarti sudah melaksanakan UN tahun 2010, 2011, 2012. Ini hajatan UN ke-4 kalinya bagi beliau. Lalu kenapa kekacauannya justru makin paripurna di tahun ini?
—————————————————————————-
Sehabis nonton tayangan itu, saya mencoba mengorek sedikit kenangan yang saya tahu tentang beliau. Mantan Rektor ITS ini sebenarnya sosok pribadi yang cukup cemerlang dan integritasnya baik, bersih. Memang saya tak banyak mengenal beliau semasa menjadi Rektor sebab saya sudah lama lulus ketika itu. Hanya saja pemberitaan di media lokal selama periode beliau menjabat sebagai Rektor selalu positif, bahkan dukungan untuk menjadi rektor kedua kalinya saat itu sangat besar. Yang saya tahu ketika belum jadi rektor, Pak Nuh dan rekan-rekannya bergiat di sebuah lembaga bernama Nara Qualita Ahsana (NQA) yang memberikan layanan pelatihan mental dan spiritual, perusahaan tempat saya bekerja pernah memakai jasa NQA.

Pak Nuh juga banyak bergiat di organisasi sosial dan kemasyarakatan, termasuk diantaranya pernah menjadi Sekretaris Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF) sebuah lembaga amal yang sangat besar dan terpercaya di Surabaya. Aktif juga di berbagai yayasan sosial lainnya dan terkadang memberikan ceramah keagamaan. Intinya : kredibilitas dan integritas beliau dikenal sangat baik. Seorang Kompasianer yang mengenal beliau sudah menuliskan Sisi Lain Muhammad Nuh Sebelum Jadi Menteri. Berbekal semua citra baik itulah, masyarakat Surabaya tak heran ketika tahun 2007 SBY memanggilnya untuk ikut fit n proper test calon Menteri (saat itu Menkominfo dalam moment reshuffle kabinet.

Sekali saya pernah bertemu Pak Nuh di ITS, ketika saya akan mengikuti sebuah seminar sekitar tahun 2003, saat beliau sudah jadi rektor. Saya yang hampir telat tiba di lokasi, tak tahu dimana tempat acara diadakan. Lewatlah seorang pria berpenampilan biasa, saya mendekatinya dan menanyakan dimana Gedung X, beliau lalu memberikan petunjuk, kemudian bertanya : “Mau kesana Mbak?” yang saya jawab “iya Pak”. Beliau pun menjawab “kalau begitu mari saya antar” dengan gestur yang sangat santun pria bersahaja itu mengiringi saya sampai ke lokasi acara. Ternyata seminar baru akan dibuka menunggu rektor ITS yang tak lain pria yang mengantar saya tadi. Saya jadi malu pada pak Rektor, Muhammad Nuh.

Mengingat semua kebaikan Pak Nuh yang saya kenal kemudian – salah satu adik kandung beliau ternyata teman kantor saya – membuat saya tak habis pikir, kenapa orang sebaik Pak Nuh, sebrillian beliau, sehalus beliau, ketika masuk kabinet dan menjadi Menteri bisa “sedikit otoriter” – setidaknya begitu yang dikesankan – mengingat kengototan beliau dalam masalah UKG, kurikulum 2013 dan UN. Merenungkan kata-kata Pak Nuh dalam jumpa pers yang dicuplik TV One, saya tak mengerti kemana arah pemikiran beliau. Rasanya bukan pak Nuh yang saya kenal bijaksana yang mengeluarkan statemen seperti itu. Mungkin Pak Nuh sekedar mencoba bertahan dari gempuran.

—————————————————————————-
1366349004494258875
Daniel Muhammad Rosyid, foto diambil dari website pribadinya
Saya mendadak teringat kolega Pak Nuh di ITS, pernah sama-sama dipercaya mengelola politeknik ITS, hanya saja Pak Nuh jurusan Elektronika, koleganya ini jurusan Perkapalan. Dialah Profesor Doktor Daniel Muhammad Rosyid, rekan yang angkatannya tak jauh beda dengan Pak Nuh. Sama-sama dosen ITS dan banyak terlibat dalam kegiatan yang sama, posisi Pak Daniel kini justru “berseberangan” dengan Pak Nuh. Sejak awal mula UN dicanangkan secara nasional dan menjadi tolok ukur kelulusan siswa, Pak Daniel M. Rosyid sudah mempelopori gerakan moral menolak UN, ketika belum banyak pihak yang berteriak menolak UN. Ketika kemudian UN dirasa memberatkan siswa dan sekolah, barulah banyak kelompok yang mengikuti jejak Pak Daniel.

Penolakan Pak Daniel itu konsisten sampai sekarang. Meski tak dilakukan secara frontal, namun beliau menyuarakannya lewat tulisan. Ketika terjadi kasus contek massal di SDN Gadel 2, Tandes, Surabaya, Pak Daniel pula yang ikut mendampingi Ibu Siami – ibunda dari anak Alif yang melaporkan kasus ini – ketika Ibu Siami justru diusir warga dari kampungnya. Contek massall ini sebenarnya tak hanya terjadi di Surabaya, di beberapa kota banyak terjadi kasus seperti ini, hanya saja siswa dan ortu siswa tutup mulut karena mereka ikut menikmati contek massal. Ini salah satu ekses moral dari UN, ending sebuah sistem pendidikan yang result oriented. Sehingga terkadang siswa, orang tua murid, guru, kepala sekolah, terdorong menghalalkan kecurangan demi meraih nilai dan prosentase kelulusan yang tinggi, demi gengsi dan prestise sekolah dan daerah. Sentralisasi penuh UN juga menafikan peran serta daerah, sekolah dan guru.

Dalam website pribadinya dan beberapa sumber lain di internet, kita bisa membaca pemikiran Pak Daniel Rosyid tentang alasannya menolak kurikulum 2013. Satu pemikiran Pak Daniel yang menarik tentang sekolah yang dituliskannya dengan judul Diet Makan Siang Bernama Kurikulum, beliau menyebut : Sekolah hanyalah makan siang di warung dekat rumah. Masih ada sarapan dan makan malam di rumah untuk anak- anak kita. … Pribadi sukses tahu persis bahwa sarapan ber- sama keluarga yang disiapkan Ibu di rumah jauh lebih penting daripada makan siang. Lebih lanjut : “Kurikulum hanya resep makan siang. Bahkan bukan makan siangnya. Menu yang akan tersaji masih akan ditentukan oleh ketersediaan bahan-bahan masakan yang bermutu, serta kompetensi kokinya. Di samping itu, anak yang sudah sarapan dengan gizi yang cukup, tidak terlalu membutuhkan makan siang. Hanya anak-anak yang tidak diberi sarapan di rumah yang cukup lapar untuk menyantap makan siang seragam di sekolah yang bisa amat membosankan. Dan simpulannya : “Kurikulum 2013 terlalu rinci. Ini meremehkan kecerdasan anak-anak, dan menghambat prakarasa inovasi guru untuk melakukan adaptasi secara ruang, waktu dan pribadi anak yang unik. Kurikulum 2013 akan menyebabkan penyeragaman yang masif yang justru meminggirkan keberagaman.”


Para penolak UN dan kurikulum 2013 punya alasan yang sangat masuk akal, bukan sekedar suka dan tidak suka atau asal menentang Pemerintah. Kenapa Pak Nuh tidak coba mengajak mereka duduk bersama dan berdiskusi, mencari jalan keluar terbaik? Apa susahnya mengundang teman sendiri ngobrol untuk mendapat masukan berharga? Kengototan Pak Nuh justru mengundang praduga negatif dari para stakeholder pendidikan. Ocehan di dunia maya mengolok-olok Pak Nuh punya “proyek” besar di 2013. Sungguh saya prihatin dan sedih, sebab saya tahu integritas pribadi Pak Nuh bukanlah seperti itu. Sesungguhnya saya sedikit tak rela jika Pak Nuh dihujat.

Kemarin petang, TV One memaparkan hasil jajak pendapat mereka soal pelaksanaan UN, salah satu pertanyaan untuk responden adalah : “Perlukah Mendikbud mundur sebagai bentuk tanggung jawab?” Menarik sekali hasilnya, ternyata 44% lebih nol koma sekian menjawab IYA dan 44% lebih sekian puluh sekian menjawab TIDAK. Sisanya menjawab TIDAK TAHU. Artinya : cukup berimbang orang yang menilai kekacauan UN ini akibat kelemahan managerial dan leadership Pak Nuh pribadi dan orang yang menilai ini akibat dari sistem Pemerintahan kita yang memang tak efektif. Jika Pak Nuh mundur, SBY yang kini lebih konsentrasi mengurusi partainya, belum tentu bisa memilih the right man on the right place for the right mission. Mungkin itu sebabnya hasil polling berimbang.
But aniway, Pak Nuh have to do something. So what?!

13663493791309005724

Kalau boleh saya berpendapat – dan seandainya Pak Nuh sudi membaca tulisan ini – ketimbang Bapak memilih mundur tapi tak menyelesaikan masalah, sudilah Bapak memundurkan program-program yang banyak ditentang. Kemarin Bapak menunda UN di 11 Propinsi selama 3 hari, justru dikritik habis-habisan, kenapoa tak sekalian ditunda semuanya selama seminggu, jadi UN tetap bisa serentak dan persiapan teknis sudah benar-benar beres. Nah, apa salahnya untuk kurikulum 2013 disimpan dulu, dibedah lagi melibatkan pihak-pihak yang menentang, kaji ulang, siapa tahu kalau diluncurkan 2014 hasilnya justru lebih baik dan didukung banyak pihak.

Oktober 2014 masa tugas Kabinet berakhir, mungkin Bapak memang tak akan sempat menjalankan kurikulum baru, tapi percayalah, jika itu bagus, nama baik anda akan tetap dikenang sebagai Mendikbud yang meninggalkan legacy kurikulum yang handal. Tapi sebaliknya, jika dipaksakan berjalan 2013 dan hasilnya kacau, Bapak akan dikenang sebagai Mendikbud yang mengacaukan sistem pendidikan. Saya melu ngeman – kata wong Jowo – pribadi pak Nuh, kasihan orang sebaik Bapak harus tenggelam dalam hujatan hanya karena paradigma seolah “Pemerintah harus menang, program Pemerintah harus jalan”.

Tahun 2014, masih tersisa 1 kali lagi UN sebelum masa tugas Bapak berakhir. Terbayangkah oleh Bapak, UN tahun depan akan lebih krusial lagi? Kenapa? UN 2014 pelaksanaannya sekitar seminggu pasca Pemilu tanggal 9 April 2014. Bisa jadi situasi di beberapa daerah belum sepenuhnya kondusif – kita paham bukan bangsa ini belum sepenuhnya dewasa berdemokrasi – sehingga akan makin sulit lagi mengkonsolidasikan UN dan distribusinya. Polri akan lebih sibuk mengawal kotak suara dari PPS ke PPK ketimbang mengawal soal UN. Para politisi di Senayan sudah tak terlalu peduli lagi, sebagian sibuk memantau perolehan suaranya, sebagian sudah putus asa karena gagal terpilih kembali. Akankah siswa dan guru akan kembali jadi korban dari pemaksaan UN? Pikirkanlah Pak Nuh, anda mungkin enggan mundur sebagai bentuk tanggung jawab, tetapi ngotot terus juga tak menyelesaikan masalah dan tak mengurangi amarah mereka yang kecewa dengan kacaunya UN. Mundurkan saja programnya, mungkin itu solusi jalan tengah.

catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer

×
Berita Terbaru Update