Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kopassus atau Polisi Preman …?

9 April 2013 | 9.4.13 WIB Last Updated 2013-04-10T03:05:16Z



Walau tim investigasi yang dibentuk TNI sudah mengungkap 11 anggota Kopassus sebagai penyerbu Lapas Cebongan Sleman,namun pro & kontra di media atas tindakan 11 anggota Kopassus terus saja terjadi. Secara khusus terhadap yang kontra atas aksi 11 anggota Kopassus tersebut,segala argumentasi hukum disampaikan dengan poin pentingnya yaitu penegakan hukum diatas segalanya, titik…! Artinya,apapun kesalahan yang dilakukan oleh 4 orang preman yang tewas itu,tidak sepatutnya 11 anggota Kopassus itu melakukan aksi seperti yang terungkap di media belakangan ini.

Sebenarnya argumentasi hukum tersebut sangat lemah karena didalam tatanan nilai negara hukum, ada nilai moral yang terkandung didalam “hukum diatas segalanya” ; Mari memperhatikan kasus-2 yang terjadi di sekitar kehidupan kita,yaitu antara polisi sebagai penegak hukum dengan warga masyarakat yang “diawasi” perilakunya oleh polisi. Makna “diawasi” disini diambil dari kejadian ketika masyarakat berkendara di jalan raya dan dengan alasan ketertiban maka Polisi melakukan pengawasan. Apa yang terjadi dalam pengawasan yang dilakukan oleh Polisi-2 itu?

Dalam prakteknya,polisi yang sedang mengawasi ketertiban lalu lintas sering melanggar hukum,contohnya yang sedang menjadi “trending topics” di youtube adalah oknum polisi di Denpasar yang menentukan nilai tilang sebesar Rp.200 ribu atas seorang turis Belanda yang “melanggar” aturan berkendara dengan tidak menggunakan helm pengaman. Namun uang yang diterima tersebut Rp.100 ribu dibelikan minuman keras untuk diminum pada saat oknum tersebut bertugas bersama si turis. Setiap perkataan oknum polisi tersebut adalah “hukum yang harus ditaati” sebab memang si turis melanggar hukum yaitu berkendara tidak menggunakan helm. Sepertinya si oknum polisi sedang mempraktekkan “Hukum diatas segalanya” ,akan tetapi nilai moral hukumnya dilanggar oleh si oknum polisi itu. Kejadian-2 tersebut seringkali terjadi di jalan raya di Indonesia,polisi menangkap pengendara yang melanggar hukum berlalu-lintas,karena perkataan polisi adalah mengandung perintah “hukum” maka dengan terpaksa si pelanggar hukum harus menerima sanksi hukum,tetapi kenyataannya polisi-2 tersebut memanfaatkan hukum itu untuk kepentingan pribadinya.

Nah,ketika 11 anggota Kopassus menyerbu Lapas Cebongan Sleman dan membunuh para preman yang telah membunuh salah satu anggota Kopassus,yaitu Serka Heru Santoso ; Hukum manakah yang diambil sebagai patokan? Bila dilihat dari kacamata hukum sipil,tindakan yang diambil oleh 11 anggota Kopassus itu salah. Tetapi bila dilihat dari nilai moral “hukum diatas segalanya” ,tindakan 11 anggota Kopassus itu bisa dibenarkan secara militer,karena semangat korsa dalam moral militer adalah “hukum” bagi setiap tentara. Justru seorang tentara yang tidak tidak mempunyai semangat korsa bisa dikatakan melanggar “hukum adat” militer. Ketika 11 anggota Kopassus itu sedang menjalankan kewajiban moral terhadap “hukum militer” atas kematian rekannya,sama seperti halnya seorang polisi sedang menjalankan tugasnya menegakkan hukum “sipil” yang sering dilanggar sendiri tata nilai moralnya,kenapa para aktivis HAM ribut…?

Argumentasi diatas menggambarkan betapa aktivis HAM hanya melihat satu sisi,yaitu ketika tentara sedang menjalankan “hukum” nya dan berseberangan dengan hukum sipil,maka hal itu dikatakan salah tanpa melihat konteks nilai moral “hukum diatas segalanya” bagi seorang tentara. Prinsip mereka : Tentara dalam kondisi damai sebaiknya tidak mengusik masyarakat sipil..! Tetapi pernahkah mereka berpikir sebaliknya….? Kalau “dogma hukum” dijalankan seperti itu secara kaku tanpa melihat tata nilai moral “hukum diatas segalanya” dari masing-2 pihak (sipil dan tentara),maka dipastikan tentara yang sedang menjalankan misi-2 intelijen dalam pertahanan bela negara akan seenaknya bisa dibunuh oleh para preman yang dipakai oleh negara asing untuk merusak sendi-2 kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia. Kemudian para preman itu dengan alasan HAM hanya dihukum dengan hukum sipil yang “ringan” kemudian keluar dari tahanan untuk berbuat jahat lagi….!

Oleh karena itu,sebaiknya para aktivis HAM lebih baik memfokuskan kepada pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil yang dilanggar HAM-nya oleh para oknum penegak hukum seperti polisi,jaksa,hakim dan para preman yang dipakai untuk menekan HAM masyarakat umum. Selama militer atau TNI dalam kondisi damai tidak mengganggu dan melakukan gerakan menekan HAM masyarakat sipil,sebaiknya biarkan saja mereka menjalankan tugas bela negara. Masing-2 harus menghormati tata nilai moral “hukum diatas segalanya” yaitu hukum sipil dan hukum yang ada di militer. 

Jadi,sangat wajar bila kondisi yang sekarang mayoritas masyarakat sipil mendukung 11 anggota Kopassus karena yang dibunuh adalah para preman yang telah membunuh rekannya sesama anggota Kopassus. Bukan saja karena faktor yang dibunuh adalah preman yang meresahkan dan melakukan pelanggaran HAM atas masyarakat umum,tetapi 11 anggota Kopassus itu memang sedang menjalankan tata nilai moral “hukum diatas segalanya” yang dianutnya yang jauh lebih mulia daripada oknum-2 polisi yang perkataannya adalah hukum tetapi tata nilai moral “hukum diatas segalanya” justru dilanggar oleh mereka. Mana yang bisa lebih dipercaya oleh masyarakat…?

Tulisan ini didekasikan untuk memberi pendapat terhadap perang pendapat 11 anggota Kopassus diadili di pengadilan sipil atau militer dan pernyataan-2 para aktivis HAM yang selalu menekankan pelanggaran hak atau hukum sipil oleh 11 anggota Kopassus dalam kacamata hukum normatif HAM masyarakat sipil. 

catatan Mania Telo Freedom Writers Kompasianer
×
Berita Terbaru Update