Iwan Piliang dan Yusmael
TOKONYA tidak begitu mencolok tampak dari jalan. Namun siang medio Desember 2012 di seberang Kantor Kepala Desa Toboh Baru, Sintuk Barat, Lubuk Alung, Padang Pariman, Sumatera Barat, beberapa mobil tampak parkir dan jalan. Terkesan tak pernah sepi. Pengendara umumnya menenteng kresek kuning bertuliskan: Yoesani Shoes. Dari jalan terlihat mancaragam model sepatu di etalase toko. Dominan sepatu pria. Juga ada sepatu wanita.
Adalah Oyong Liza Piliang, pengelola Pariamantoday.com, mengajak saya mampir ke toko milik Yusmael, pria kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, 13 Juni 1965. Yusmael, Mantan guru Bahasa Inggris. Ia lebih senang mengulik kulit, menjadi pengusaha sepatu. Sejak kecil ia banyak menghabiskan waktu membuat sol sepatu di rumah tetangganya. Rupanya pengamalaman silam itu, membekas mengantarkannya kini sebagai pengusaha sepatu.
Ia melabel produksi Honesty, selain Yoesani tadi.
Mengenakan pantolan, sandal kulit, dan polo-shirt, Yus mengajak ke bagian dalam workshop sepatunya. Di ruangan dengan dinding bergelayutan lembaran kulit menggantung, di meja-meja berserak sepatu menunggu finishing. Beberapa tukang tampak duduk di lantai, mengerjakan penuntasan sepatu buatan tangan. Ada yang sedang menempelkan lem ke telapak sepatu, ada pula yang tampak menjahit kulit.
“Saya mampu membuat sepatu model apa saja dengan kualitas apa saja, “ ujar Yusmael.
“Saya juga siap membuatkan partai besar maupun volume kecil untuk merk orang lain.”
“Kalau Abang mau merk Iwan Piliang, saya siap buatkan,” tutur Yusmael
Menilik kualitas pekerjaan dan pilihan bahan kulit dipakai, tantangan Yus tadi bukanlah basa-basi. Untuk sebuah sepatu dengan telapak sekaliber produk Florsheim, yang dibandrol di mal besar di Jakarta bisa di kisaran Rp 4,5 juta sepasang, Yusmael menjualnya di rentang harga Rp 350 ribu saja. Sebuah selisih untung bisa dimanfaatkan banyak para pedagang. Apalagi Yus menggaransi mutu sepatunya hingga setahun.
Dalam konteks garansi inilah tampaknya kelebihan Yus lainnya. Selain pengetahuannya tentang kulit, dan menemukan sendiri formula lem kuat tak lekang oleh waktu bila sudah melekat di sepatu produksinya.
Kepada saya ia perlihatkan bahan kulit tebal untuk telapak sepatu sekelas merek Florsheim. Selembar kecil kulit untuk bahan itu dia beli Rp 5 juta.
“Kunci mutu sepatu selain kualitas proses pembuatannya, juga terletak pada pilihan kulit. Kulit sapi umur-umur dua tahun halus dan lembut. Dan itu banyak dipakai sepatu ber-merk,” ujarnya.
Ketekunan dan konsistensi Yus sebagai pengrajin sepatu kini sudah dipercaya, telah membuatnya mendapatkan plafon kredit bank Rp 2,5 miliar. Angka ini tentulah relatif besar bagi pengusaha kecil, apalagi dibandingkan dengan situasi sejak Kebijakan Oktober 1988 (Pakto 1988) deregulasi perbankan; bank pemerintah tidak adalagi yang menjadi agent of development, kredit perbankan dominan ke consumer. Sulit mendapatkan modal kerja. Walaupun Anda punya produk andalan. Dan walaupun skala puluhan atau ratusan miliar, bagi Yus, keadaannya sekarang sudah hikmah yang dia syukuri. Dan itu semua telah dimulai dari perjalanan panjang.
Syahdan pada 1993, bersama 14 orang dari kampungnya Yus dikirim ke Cibaduyut belajar membuat sepatu. Kesempatan itu ia gunakan sebaik-baiknya untuk belajar semua proses pembuatan sepatu mulai dari pencarian bahan baku, pengukuran, penjahitan, pengeleman, proses penyelesaian akhir, hingga pemasaran sepatu. Dan sepulang dari pelatihan, mulailah ia mengembangkan industri sepatu, dengan modal yang diberikan sebesar Rp 1,5 Juta dari pelatihan tersebut.
Saat memulai usaha di tahun 1994, terkenal di seantero Sumatera, dan juga seluruh Indonesia sepatu Cibaduyut. Karena itu, tidak mudah meyakinkan toko-toko di Sumatera Barat sebagai daerah pemasaran awal. Para penjual di toko yang disuplai Yus tidak mau menerima, karena takut kalau pembeli mengetahui bahwa sepatu itu bukan dari Cibaduyut, melainkan dari Padang Pariaman.
Kenyataan ini memang pahit, tetapi tidak menyurutkan langkah Yusmael terus berusaha meyakinkan orang-orang Minang sendiri bahwa produknya tidak kalah kualitasnya dibanding produk sepatu bikinan Cibaduyut. Bahkan ia lebih canggih lagi, memadankan produknya yang branded. Bahkan kepada saya ia memperlihatkan sebuah moccasin, berwarna oranye, mirip abis dengan sepatu di took Hermes di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat.
Kini sepatunya sudah merambah Malaysia dan Brunei. Di dalam negeri, selain tokoh masyarakat, pemerintah daerah, HM Jusuf Kalla, mantan Wapres, memakai sepatu produksi Yus. “Saya mau orang tak hanya mengenal Pariaman karena Bengkuang-nya, tetapi beralih ke sepatu,” ujarnya tertawa. Bengkuang dimaksud tanaman umbi-umbian, berwarna putih susu, berasa manis, sebagaimana banyak dijual di Bogor, Jawa Barat.
Di saat optimisme Yus terucap, saya bangga. Bangga karena di ranah di mana masyarakat terkenal menjadi pedagang, ia dapat dijadikan contoh pengusaha seutuhnya; memiliki produk dan atau jasa masuk ke pasar. Tinggal kini Yusmael memperkuat basis usahanya. Dukungan publik membeli segala sesuatu lokal tak kalah mutu dan trendy dari segala impor.
Iwan Piliang
TOKONYA tidak begitu mencolok tampak dari jalan. Namun siang medio Desember 2012 di seberang Kantor Kepala Desa Toboh Baru, Sintuk Barat, Lubuk Alung, Padang Pariman, Sumatera Barat, beberapa mobil tampak parkir dan jalan. Terkesan tak pernah sepi. Pengendara umumnya menenteng kresek kuning bertuliskan: Yoesani Shoes. Dari jalan terlihat mancaragam model sepatu di etalase toko. Dominan sepatu pria. Juga ada sepatu wanita.
Adalah Oyong Liza Piliang, pengelola Pariamantoday.com, mengajak saya mampir ke toko milik Yusmael, pria kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, 13 Juni 1965. Yusmael, Mantan guru Bahasa Inggris. Ia lebih senang mengulik kulit, menjadi pengusaha sepatu. Sejak kecil ia banyak menghabiskan waktu membuat sol sepatu di rumah tetangganya. Rupanya pengamalaman silam itu, membekas mengantarkannya kini sebagai pengusaha sepatu.
Ia melabel produksi Honesty, selain Yoesani tadi.
Mengenakan pantolan, sandal kulit, dan polo-shirt, Yus mengajak ke bagian dalam workshop sepatunya. Di ruangan dengan dinding bergelayutan lembaran kulit menggantung, di meja-meja berserak sepatu menunggu finishing. Beberapa tukang tampak duduk di lantai, mengerjakan penuntasan sepatu buatan tangan. Ada yang sedang menempelkan lem ke telapak sepatu, ada pula yang tampak menjahit kulit.
“Saya mampu membuat sepatu model apa saja dengan kualitas apa saja, “ ujar Yusmael.
“Saya juga siap membuatkan partai besar maupun volume kecil untuk merk orang lain.”
“Kalau Abang mau merk Iwan Piliang, saya siap buatkan,” tutur Yusmael
Menilik kualitas pekerjaan dan pilihan bahan kulit dipakai, tantangan Yus tadi bukanlah basa-basi. Untuk sebuah sepatu dengan telapak sekaliber produk Florsheim, yang dibandrol di mal besar di Jakarta bisa di kisaran Rp 4,5 juta sepasang, Yusmael menjualnya di rentang harga Rp 350 ribu saja. Sebuah selisih untung bisa dimanfaatkan banyak para pedagang. Apalagi Yus menggaransi mutu sepatunya hingga setahun.
Dalam konteks garansi inilah tampaknya kelebihan Yus lainnya. Selain pengetahuannya tentang kulit, dan menemukan sendiri formula lem kuat tak lekang oleh waktu bila sudah melekat di sepatu produksinya.
Kepada saya ia perlihatkan bahan kulit tebal untuk telapak sepatu sekelas merek Florsheim. Selembar kecil kulit untuk bahan itu dia beli Rp 5 juta.
“Kunci mutu sepatu selain kualitas proses pembuatannya, juga terletak pada pilihan kulit. Kulit sapi umur-umur dua tahun halus dan lembut. Dan itu banyak dipakai sepatu ber-merk,” ujarnya.
Ketekunan dan konsistensi Yus sebagai pengrajin sepatu kini sudah dipercaya, telah membuatnya mendapatkan plafon kredit bank Rp 2,5 miliar. Angka ini tentulah relatif besar bagi pengusaha kecil, apalagi dibandingkan dengan situasi sejak Kebijakan Oktober 1988 (Pakto 1988) deregulasi perbankan; bank pemerintah tidak adalagi yang menjadi agent of development, kredit perbankan dominan ke consumer. Sulit mendapatkan modal kerja. Walaupun Anda punya produk andalan. Dan walaupun skala puluhan atau ratusan miliar, bagi Yus, keadaannya sekarang sudah hikmah yang dia syukuri. Dan itu semua telah dimulai dari perjalanan panjang.
Syahdan pada 1993, bersama 14 orang dari kampungnya Yus dikirim ke Cibaduyut belajar membuat sepatu. Kesempatan itu ia gunakan sebaik-baiknya untuk belajar semua proses pembuatan sepatu mulai dari pencarian bahan baku, pengukuran, penjahitan, pengeleman, proses penyelesaian akhir, hingga pemasaran sepatu. Dan sepulang dari pelatihan, mulailah ia mengembangkan industri sepatu, dengan modal yang diberikan sebesar Rp 1,5 Juta dari pelatihan tersebut.
Saat memulai usaha di tahun 1994, terkenal di seantero Sumatera, dan juga seluruh Indonesia sepatu Cibaduyut. Karena itu, tidak mudah meyakinkan toko-toko di Sumatera Barat sebagai daerah pemasaran awal. Para penjual di toko yang disuplai Yus tidak mau menerima, karena takut kalau pembeli mengetahui bahwa sepatu itu bukan dari Cibaduyut, melainkan dari Padang Pariaman.
Kenyataan ini memang pahit, tetapi tidak menyurutkan langkah Yusmael terus berusaha meyakinkan orang-orang Minang sendiri bahwa produknya tidak kalah kualitasnya dibanding produk sepatu bikinan Cibaduyut. Bahkan ia lebih canggih lagi, memadankan produknya yang branded. Bahkan kepada saya ia memperlihatkan sebuah moccasin, berwarna oranye, mirip abis dengan sepatu di took Hermes di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat.
Kini sepatunya sudah merambah Malaysia dan Brunei. Di dalam negeri, selain tokoh masyarakat, pemerintah daerah, HM Jusuf Kalla, mantan Wapres, memakai sepatu produksi Yus. “Saya mau orang tak hanya mengenal Pariaman karena Bengkuang-nya, tetapi beralih ke sepatu,” ujarnya tertawa. Bengkuang dimaksud tanaman umbi-umbian, berwarna putih susu, berasa manis, sebagaimana banyak dijual di Bogor, Jawa Barat.
Di saat optimisme Yus terucap, saya bangga. Bangga karena di ranah di mana masyarakat terkenal menjadi pedagang, ia dapat dijadikan contoh pengusaha seutuhnya; memiliki produk dan atau jasa masuk ke pasar. Tinggal kini Yusmael memperkuat basis usahanya. Dukungan publik membeli segala sesuatu lokal tak kalah mutu dan trendy dari segala impor.
Iwan Piliang