Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Puisi Untuk Menjawab Pernyataan Amien Rais Pada Jokowi-Ahok

4 Oktober 2012 | 4.10.12 WIB Last Updated 2012-10-05T14:13:05Z

Pernyataan Amien Rais (AR), salah satu tokoh Reformasi, tokoh Poros Tengah, dan kadang tampil sebagai sosok kontroversial, mendatangkan reaksi cepat. Betapa tidak, pernyataannya tentang “Kemenangan Jokowi-Ahok” sebagai halangan Demokrasi di Indonesia, bersambut reaksi masyarakat.

Setidaknya, pernyataan AR sungguh melawan arus massa DKI, yang terlanjur dianggap menjadi simbol perlawanan ketidak-puasan Rakyat terhadap hingar-bingar politik DPR, perlawanan terhadap isu-isu korupsi dan penyalahgunaan wewenang seputar kekuasaan Presiden SBY, dan kontraksi politik karena bangunan hukum yang tercabik, mendorong amat spontan seorang seperti Joko Widodo, baru dikenal beberapa bulan setelah dipublikasikan prestasinya di kota Solo, sebagai walikota.

AR yang berdiri bersama sejumlah Partai “gajah”, termasuk PAN yang lama dibangun dan dibinanya, dianggap sebagian besar rakyat DKI, sebagai perkawinan Partai-Partai yang “menantang” rakyat, untuk menghadapi kekuatan spontan yang muncul karenanya. Di mana-mana, orang spontan mendorong pasangan Jokowi-Ahok. Situasi seperti tahun 1997, di mana orang spontan memberikan dukungan kepada Mega untuk melawan status-quo Presiden Soeharto. Karena itulah, spontanitas rakyat itu dianggap dihinakan AR, ketika menganggap Rakyat sebagai hambatan Demokrasi, sebuah contradictio in terminis.
Memang, AR bukan seorang diri memberi pernyataan itu. 

Sejumlah orang menyatakan kekhawatiran, terutama bukan karena Jokowi, tetapi karena wakilnya Basuki T Purnama, atau Ahok. Jawabannya, mudah. Basuki atau Ahok bukan dijemput PDI-P atau Jokowi dari tengah para konglomerat atau saudagar. Ahok atau Basuki diberikan pintu politik oleh Sjahrir di Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) 2004, dipilih warga Belitung Timur yang 90% Muslim, untuk menjadi Bupati. Tidak ada dari mereka yang memiliki ketakutan Ahok akan menggadaikan nasib mereka. Untuk membuktikan hal itu, AR tidak harus menjadi warga Belitung Timur. Gus Dur (mitra perlawanan rakyat AR) dihina pula, ketika Ahok diberi stigma sedemikian, karena selain Sjahrir, Gus Dur memberikan dukungan terbuka, ketika Ahok maju bertarung sebagai Cagub Provinsi Bangka-Belitung.

Rakyat jelas ingin menduga positif, bahwa ada catatan dari seorang AR. Tetapi, pernyataan AR telah terlanjur menjadi sebuah bumerang tajam. Sayang kalau integritas AR di bidang politik harus tercerderai, ketika Rakyat sedang menyaksikan AR menapakkan kaki di tengah kerumunan orang yang terbuka menghina Rakyat. Pernyataan AR menjadi puncak yang lain, penghinaan terhadap kecerdasan politik rakyat itu.

Puisi untuk AR
Bang Amien Rais.
Roda Perubahan berputar cepat.
Jika, terbelenggu mindset kreasi kita,
kita tergilas karenanya.
Atau, tangan kiri akan menyerang tangan kanan kita.
Angin Reformasi berubah arah.
Rakyat pemilik kedaulatan tertinggi, nanar memandang JOKOWI.
Bang Amin, mari kita bicara kepada anak-anak cucu kita.
Di bawah pohon rindang, di tanah lapang datar.
Keluar kita dari “gheto” jebakan kita.
Berbesar hati kita seperti Foke.
Arahkan telunjuk kita…..
Agar anak-cucu memandang mentari baru dari Solo..
The rising star, JOKOWI.
Bila datang hari malam.
Hari telah siang, Bang Amin.
Tenda BIRU politik sedang berkemas.
Rakyat ingin langit biru, bukan tenda biru lagi.
Di malam hari, tenda biru meradang…
Di siang hari, ia hanya tampak hidup…
Gelora harapan, kejujuran dan kesetiaan ada di hati Rakyat.
Hati rakyat, yah, hati Jokowi.

Hari sudah siang, Bang Amien.
Soeharto, ‘musuh bersama’, telah lama pergi.
Tapi, musuh terbesar kita, kata para Sufi, adalah diri kita sendiri.
Takut bayang yang bersemayam dan bertahta di lidah kita.
Dari Solo, JOKOWI membawa harapan lain untuk Jakarta Baru.
Itu kata Rakyat DKI.
Bangunlah, Bang Amien.
Hari sudah siang.

Jakarta, 3 Oktober 2012.

catatan 

Berthy B Rahawarin freedom writers kompasianer

×
Berita Terbaru Update