Beberapa hari lalu kantor
berita Antara merilis berita tentang hasil survei dari Political Weather
Station (PWS). Survei ini mengukur tingkat popularitas dan
elektabilitas calon presiden (capres) dari Partai Golkar Aburizal
Bakrie. Kenapa survei ini dikhususkan untuk mengukur probabilitas
peluang Ical saja, tak ada penjelasannya. Sebenarnya dikhususkan untuk
menilai tokoh-tokoh dari partai Golkar. Tampaknya perlu juga
dipertanyakan, survei ini dilakukan atas pesanan pihak mana, sehingga
dikhususkan pada politisi asal Partai Golkar saja.
Survei itu dilakukan di 33 provinsi
se-Indonesia, mulai tanggal 7 September s/d 7 Oktober 2012. Jumlah
respondennya 1.070 orang, dengan teknik pencuplikan berjenjang, dengan margin of error
kurang lebih 3%. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara tatap muka
dengan pedoman kuesioner. Hasilnya sungguh mengejutkan, sebab Ical
sebagai Ketua Umum PG yang sudah diketahui publik berambisi untuk
mencalonkan diri menjadi Presiden RI pada pilpres 2014 nanti, ternyata
tingkat popularitasnya masih sangat rendah, bahkan dibandingkan dengan
tokoh pendahulunya yang sudah tak lagi aktif di partai Golkar, Jusuf
Kalla.
Kalau soal tingkat kesukaan responden terhadap Ical, hanya 45,6%. Posisinya jauh di bawah JK yang mencapai 70% bahkan kalah dibanding Priyo Budi Santoso yang meraup 49,25%. Sementara tingkat kesukaan terhadap Akbar Tandjung menyusul Ical dengan angka 40,84%, Fadel Muhammad di bawanya lagi, 35%, lalu berturut-turut : Agung Laksono 32,89%, Hajriyanto Tohari 23,64% dan Syarif Cicip 19,71%.
Itu baru sebatas tingkat elektabilitas dan tingkat kesukaan di internal Partai Golkar, belum lagi kalau dibandingkan dengan calon-calon Presiden dari parpol lain, semisal Prabowo, Megawati dan mungkin nama lain. Padahal, jika berlaga di Pilpres nanti, Ical harus mampu mengalahkan calon-calon yang diusung partai lain yang mungkin kinerja mesin politiknya jauh lebih efektif ketimbang Golkar. Seperti kita tahu, tahun 2004 Golkar mengusung Wiranto dan kalah sejak di putaran pertama. Tahun 2009 mengusung JK dan ternyata hanya mendapatkan suara urutan terakhir. Ini bukti bahwa Partai Golkar kinerja mesin politiknya tak bisa diandalkan dalam event pemilihan langsung. Kalau mau jadi tolok ukur terkini, saat Pilgub DKI kemarin Golkar mengusung Alex Noerdin yang pencalonannya didukung penuh Ical. Kita tahu hasil akhirnya Alex hanya mendapat kurang dari %5 suara saja, bahkan kalah dibandingkan Faisal Basri yang tak di back up parpol!
KENAPA ELEKTABILITAS DAN POPULARITAS ICAL RENDAH?
Kurang apa upaya Ical untuk mendongkrak popularitasnya? Sejak awal tahun ini, papan iklan ukuran besar (bukan sekedar spanduk atau baliho semata) telah tersebar di seluruh penjuru tanah air. Ribuan kilometer jalan – mulai jalan utama sampai jalan pelosok – berdiri tegak papan iklan bergambar Ical tersenyum dengan baju kuningnya. Lalu anggota legislatif Partai Golkar diwajibkan membeli tas bergambar Ical yang didalamnya berisi paket sembako, untuk dibagikan saat mereka reses dan menemui konstituennya. Berita yang pernah saya baca beberapa bulan lalu, setiap anggota DPR wajib membeli tas kuning bergambar wajah Ical itu senilai Rp. 10 juta! Bayangkan, ada berapa tas paket sembako yang didapat dengan uang sepuluh juta rupiah? Kalikan dengan jumlah legislatif Partai Golkar yang jumlahnya terbanyak kedua setelah Partai Demokrat. Mestinya sudah cukup untuk mendongkrak popularitas Ical bukan?
Tapi popularitas ternyata tak bisa didongkrak secara instant dengan teknik populis seperti itu. Masyarakat sudah semakin pintar dan tak mudah dicecoki dengan doktrin. Orang tak serta merta simpati dengan paket sembako yang dibagi sekali dalam 5 tahun. Publik tidak otomatis mengenal figur seorang tokoh dari banyaknya papan iklan yang dipasang. Kiprah dan rekam jejak sang politisi atau tokoh itulah yang lebih dalam tertanam di benak masyarakat.
Banyaknya issu negatif yang melilit Ical dan kelompok usaha Bakrie, dianggap sebagai penyebab stagnannya tingkat popularitas apalagi elektabilitas Ical. Ada kasus luapan lumpur Lapindo yang hingga kini sudah 6 tahun lebih tak kunjung beres urusan ganti rugi hak warga yang jadi korban, bahkan dananya dibebankan kepada negara. Sebuah film dokumenter yang memenangkan Eagle Documentary Award belum lama ini, berjudul “Setitik Asa Dalam Lumpur” benar-benar memotret kehidupan masyarakat korban lumpur Lapindo yang kini tercerabut dari tanah leluhurnya dan terpaksa menjalani profesi seadanya demi bertahan hidup. Tnetu hal semacam ini lebih efektif memicu emosi pemirsa TV ketimbang iklan politik Ical yang ditayangkan televisi miliknya.
Belum lagi issu seputar kasus pengemplangan pajak yang sudah ada sejak Sri Mulyani Indrawati jadi Menkeu – kabarnya SMI digusur ke IMF juga karena faktor ketidaksukaan Ical – dan makin terang benderang ketika muncul kasus Gayus. Dalam pengakuannya di persidangan saat masih didampingi pengacara Adnan Buyung Nasution, Gayus jelas-jelas di hadapan hakim Albertina Ho mengakui dirinya menerima Rp. 30 milyar dari 3 perusahaan Grup Bakrie untuk “memuluskan” urusan pajaknya. Bahkan ketika Gayus tertangkap lensa kamera fotografer Kompas sedang menonton pertandingan tenis di Bali, dikabarkan dirinya bertemu Ical di Bali.
Direktur Riset Political Weather Station (PWS) Marcedes Marbun mengatakan pihaknya telah melakukan pengumpulan data antara tanggal 7 Oktober 2011 hingga 7 Oktober 2012 terhadap sejumlah media massa. Pemantauan dilakukan terhadap pemberitaan di 12 surat kabar nasional, 7 media online, dan 6 televisi. Surat kabar yang dimonitoring adalah Bisnis Indonesia, Republika, Indo Pos, Jurnas, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Rakyat Merdeka, Sindo, Sinar Harapan, Suara Pembaharuan dan The Jakarta Post. Untuk media online, yaitu Antaranews.com, detik.com, inilah.com, kompas.com, okezone.com, tempo.com, dan vivanews.co.id. Yang terakhir ini portal berita milik kelompok Bakrie, satu grup dengan TV One. Sedang televisi yang dipantau adalah Metro TV, RCTI, SCTV, Trans TV, TV One, dan TVRI Pusat.
Hasil monitoring atas pemberitaan media tersebut terhadap Ical, hanya 45% yang positif. Sedang negatifnya 22%, netral 27% dan positif-negatif 6 %. Padahal pemberitaan positif terhadap Jusuf Kalla mencapai 73%, negative-nya hanya 5%, netral 16 % dan positif-negatif 6%. Posisi pemberitaan terhadap Priyo Budi Santoso juga lebih baik dibandingkan Ical. Pemberitaan positif Priyo sebesar 52%, negatif 13 %, netral 26 % dan positif-negatif 9 %.
Peneliti Founding Father House, Dian Permata, mengatakan, pernyataan yang sering diungkap Ical seringkali justru membuat elektabilitasnya turun. “Sewaktu ditanya pendapatnya tentang korban Lapindo yang jalan kaki, beliau justru menjawab “capek dong”. Ini sama sekali tidak menunjukkan awareness dan menjatuhkan elektabilitasnya,” kata Dian.
Faktor lain yang dianggap menjadi faktor tak naiknya popularitas Ical adalah konflik internal Partai Golkar dan issu jawa – non Jawa. Untukk 2 issu terakhir ini penulis sedikit kurang sependapat. Sebab jika dilihat dari aspek konflik internal, Partai Demokrat-lah yang konflik internalnya jauh lebih parah dan mencuat sampai jadi konsumsi media massa selama 2 tahun terakhir ini. Begitu pula issu Jawa – Non Jawa, gugur dengan tingginya tingkat elektabilitas dan popularitas Jusuf Kalla yang jelas bukan orang Jawa. Dan penulis cenderung berpendapat masyarakat kini tak menpan lagi disuguhi issu primordialisme dan kesukuan. Ketika dalam Pilgub DKI kemarin diusung issu calon yang orang Betawi, ternyata orang justru memilih Jokowi yang wong Solo asli. Untuk Indonesia secara keseluruhan, saya pribadi berpendapat publik tak terlalu peduli latar belakang etnis calon pemimpinnya. Apakah itu JK yang orang makasar, Mahfud MD yang orang Madura, Ical yang orang Palembang, semua ditentukan oleh kredibilitas dan integritas pribadinya.
Ical sudah pernah duduk di Pemerintahan. Pada masa awal Pemerintahan SBY yang pertama, tahun 2004, Ical dipercaya menjadi Meko Perekonomian. Hasilnya? Tim ekonomi itu juatru disebut Tim Ekonomi terburuk pasca reformasi. Sebab hanya dalam tempo setahun sejak dilantik pada Oktober 2004 sampai 01 Oktober 2005, sudah 2x menaikkan harga BBM, yaitu pada April 2005 dan 1 Oktober 2005. Banyak pihak kemudian berdemo meminta Ical dicopot dari Kabinet. SBY kemudian menggeser posisi Ical menjadi Menko Kesra dan pada masa menjabat jadi Menko Kesra itulah justru terjadi bencana lumpur Lapindo yang justru menyengsarakan rakyat dan membebani APBN.
Jadi, masyarakat tentunya menilai dari banyak faktor. Kini, jika anda menonton tayangan TV One, sesekali muncul iklan ARB for President 2014. Silakan saja Ical melakukan serangan udara melalui televisi miliknya, tapi pilihan rakyatlah yang akan menentukannya kelak.
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer