Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok) dan Masa Depan Dendam

11 Oktober 2012 | 11.10.12 WIB Last Updated 2012-10-11T11:04:11Z

Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok) belum sepopuler Gerakan 30 September 1965 (Gestapu atau G 30 S). Pada era Orde Baru, G30S ini mendapatkan tambahan lain, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) atau terbiasa disingkat menjadi G30S/PKI. Doktrin bahwa politik itu jahat, baik politik kaum kiri atau kaum kanan, selalu didengungkan. Kasus-kasus “pemberontakan” daerah juga selalu diungkap, sebagai serangan terhadap negara kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila.

Belum lagi bisik-bisik tentang Soekarno. Soekarno terasa begitu jauh, seperti bukan proklamator. Saya pernah mendengar cerita di masa kecil, bahwa ketika jenazah Bung Karno dipindahkan, terlihat gosong. Sebagai generasi yang dilahirkan, sekolah dan kuliah di era Orde Baru, terasa sekali betapa mimpi kanak-kanak dan remaja saya terasa buruk membayangkan sejarah kejatuhan rezim Orde Lama, digantikan dengan rezim Orde Baru. Kurawa adalah Orde Lama, Pandawa adalah Orde Baru.

Saya pertama kali diwajibkan menonton film G30S/PKI di bioskop Karia, Padang Panjang. Waktu itu saya kelas 5 Sekolah Dasar (sekitar tahun 1984). Kami diwajibkan menyumbang sebesar Rp. 50,- per orang. Dengan berpakaian sekolah, kami dituntun masuk ke bioskop, lalu menyaksikan film itu. Saya waktu itu sekolah di SD No 2 Air Angat, Kecamatan X Koto, Tanah Datar. Bukan hanya film itu yang kami tonton, karena dalam kesempatan berikutnya, ada film Janur Kuning dan film-film patriotis lainnnya.

Baru setelah kuliah saya mulai mencari tahu apa yang terjadi dengan G30S/PKI. Cerita lebih banyak didapatkan dari kisah-kisah yang dialami para dosen, termasuk alumni Ilmu Sejarah FSUI, Soe Hok Gie dalam catatan hariannya. Para senior juga membagikan kisah secara sendiri-sendiri, mengingat kedekatan dengan para tokoh tertentu, termasuk sejarawan di luar negeri, para narapidana di penjara atau kelompok pergerakan pada umumnya. Semakin lama kuliah, semakin terdapat perbedaan pandangan di komunitas kaum akademis di kampus. Soalnya, di luar kampus, terjadi sejumlah dinamika politik yang berimbas ke kampus, seperti tuduhan soal “Organisasi Tanpa Bentuk” dan sebagainya. Para aktor mahasiswa 1966 juga semakin banyak yang datang ke kampus, membagikan kisah masing-masing.

***

30 tahun setelah Gestok, mestinya dokumen-dokumen resmi yang disimpan negara sudah bisa dibuka. Itu artinya tahun 1995. Batas usia dokumen itu belum banyak dibicarakan, sehingga publik dengan leluasa bisa membaca apapun, termasuk dokumen-dokumen (tanpa) pengadilan bagi mereka yang dipenjarakan akibat (dinyatakan) terkait dengan Peristiwa Gestok. Belum lagi orang-orang yang memiliki cap tersendiri di KTP mereka. Hanya saja, perhatian tidaklah kesana.

Yang lebih mengenaskan, terdapat banyak orang di Indonesia yang diketahui sebagai PKI oleh masyarakat umum, begitupula dengan desa, kampung, dusun dan nagari. Pembicaraan itu muncul kapan saja. Ucapan “Kakek kamu PKI” atau “Orang Kampung Kamu PKI” dengan mudah ditemukan di masyarakat. Kalau ada daerah yang tertinggal, lalu masyarakatnya menuntut, langsung cap PKI muncul. Kalau ada aksi protes yang dilakukan, misalnya aksi buruh ataupun aksi masyarakat yang menuntut pergantian lahan, cap PKI dengan cepat menyelesaikan masalah. Tentu bukan hanya PKI (ekstrim kiri), melainkan juga DI-TII (ekstrim kanan) dan atau OTB (ekstrim lainnya).

Mata pelajaran utama untuk membahas masalah ini adalah PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), PMP (Pendidikan Moral Pancasila), P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Kewiraan. Naik kelas atau pindah jenjang pendidikan, berarti mendapatkan mata pelajaran itu. Ketika contoh-contoh disebutkan, maka yang paling utama muncul adalah kisah G30S/PKI itu. Belum lagi pendidikan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) yang diikuti pelbagai kalangan. Saya termasuk yang menempuh pendidikan di Lemhannas itu, ketika masih menjadi aktivis Senat Mahasiswa Universitas Indonesia.

Masalahnya, pasca reformasi, G30S atau Gestok ini sudah lepas di masyarakat sebagai sesuatu yang mudah dibicarakan, dengan beragam sumber masing-masing. Lembaga BP7 sudah dibubarkan. Masyarakat menafsirkan sendiri versi masing-masing atas Gestok, termasuk lewat penerbitan beragam judul buku, foto dan dokumen. Informasi digali secara sendiri-sendiri. Versi negara atas Gestok hampir tidak ada lagi. Pihak mana yang jadi Kurawa atau Pandawa, sama sekali tergantung kepada pikiran masing-masing.

Yang semakin jelas adalah kisah pergerakan pasukan dalam peristiwa Gestok itu. Pasukan itu berarti aparatur (pertahanan dan keamanan) negara. Baik jenderal yang dibunuh atau yang kemudian beroperasi menumpas PKI, berasal dari kesatuan-kesatuan TNI. Dari sisi kepartaian, PKI menempati urutan ke-4 pada pemilu 1955, padahal sudah dilumpuhkan pada tahun 1948 lewat apa yang disebut sebagai Peristiwa Madiun. 20 tahun setelah pemilu 1955, PKI menjadi kuat, tetapi tanpa ada pemilu berikutnya. Tuntutan terhadap penyelenggaraan pemilu hampir tidak terdengar, kecuali adanya keinginan membentuk Angkatan Kelima. Padahal, kekuatan politik tanpa pemilu sulit diukur, mengingat menjelang pemilu 1955, ada sejumlah partai yang dianggap besar, namun keropos, seperti Partai Sosialis Indonesia (PSI).

***

Bagi generasi sekarang, Gestok hanyalah bagian dari sejarah dendam antar pihak. Masalahnya, apakah dendam itu terus-menerus mau diabadikan dan diwariskan, ataukah hendak dibuang guna berangkat menuju keadaan yang lebih baik? Gestok menjadi berdarah, kian berdarah, ketika dipertontonkan sebagai kejahatan kemanusiaan yang paling besar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Pendekatan dan perspektif apapun bisa saja digunakan, tetapi dari sisi tujuan, hendaknya terus disertai pertanyaan: mau menuju kemana seluruh rangka manusia yang menjadi korban dalam peristiwa Gestok dan sesudahnya?

Pelbagai negara menyelesaikan masalah dalam masa lalunya dengan beragam cara. Kita bisa belajar banyak kepada China yang juga menyimpan riwayat korban dalam jumlah banyak, dalam era Mao Zedong (Mao tse-Tung) (1893-1976) atau Deng Xiaoping (1904-1997). Ada juga riwayat Polpot (1925-1998) di Kamboja. Amerika Serikat juga pernah terjebak dalam perang saudara (1861-1865). Begitupun peristiwa Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945). Belum lagi apa yang dikenal sebagai Perang Salib I (1095-1099), Perang Salib II (1145-1149), hingga Perang Salib IX (1271-1272).

Dalam sejarah kemanusiaan, peristiwa-peristiwa seperti itu kembali muncul ke permukaan, dalam bentuk aksi-aksi propaganda, diplomasi, kesenian, film, sampai hacker, perang baru dan terorisme. Gestok sebagai catatan sejarah, menyimpan banyak duka dan luka, baik bagi pihak yang menang, apalagi pihak yang kalah. Dimensi kemanusiaan menjadi hilang, walaupun muncul, sisi dendamnya yang paling utama dan bagaimana cara membalasnya. Untuk masyarakat majemuk Indonesia, keadaan ini ditambah dengan masalah lain, seperti etnosentrisme, etno nasionalisme, sampai kisah-kisah (perang) antar kerajaan di masa lalu.

Sebagai sebuah pembicaraan, selayaknya Gestok dilihat dalam perspektif masa lalu itu, lalu dikaitkan dengan situasi masa kini yang barangkali serupa tetapi tidak sama. Bagaimana keterlibatan pihak asing di Indonesia sekarang? Adakah gejala perebutan kekuasaan di kalangan penyelenggara negara? Bagian mana yang paling penting dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial dewasa ini? Dari sisi etnografis dan asal kesatuan, sudahkah terjadi pemerataan peranan, sehingga tidak memunculkan sengketa akibat sentimen asal kesatuan, faksi ataupun kepentingan politik?

Sudah selayaknya dendam dihapus dalam menata sejarah masa depan Indonesia.


catatan Indra J Piliang
×
Berita Terbaru Update