Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Dosen Killer

5 Oktober 2012 | 5.10.12 WIB Last Updated 2012-10-05T01:03:58Z
Sejak remaja, kutelah mendengar istilah Dosen Killer di arena perguruan tinggi. Sebuah ensiklopedi yang dihadiahkan kepada dosen yang lekat perilaku tak edukatifnya, serem, pelit nilai, tak kompromistik, ditakuti, tak ramah, irit senyuman, boros umpatan, mimik kaku, dan mudah menggugurkan kelulusan mahasiswa. Dosen Killer yang kualihbahasakan secara bebas sebagai dosen sadis, dosen kejam atau tepatnya digelari dengan dosen pembunuh.

* * *
Setelah kujadi mahasiswa, kutemukan dosen dengan ciri-ciri yang termaktub di atas, pulalah memenui syarat-syarat sebagai dosen killer. Itu dulu…!. Sekarang, kutelah sangat jarang berjumpa dosen bertabiat serupa itu.

13486109151825316116
xhellavanzaitand.blogspot.com

Kemarin, Selasa, 25 Sepetember 2014, Pukul 16.00 (WITA), penulis memberi kuliah (Tatap Muka IV), tertayanglah enam (6) slide di layar. Kukatakan pada mahasiswaku: “Saudara-saudara. Simak dengan seksama slide ini. Soal UTS-ku bersumber dari slide dua dan lima”. Selepas kuucapkan ini, pandangan mahasiswaku memlototi slide itu dengan sangat fokusnya. Serupa inilah kebiasaanku setiap perkuliahan, bocoran-bocoran soal senantiasa kusampaikan kepada mahasiswaku.

* * *
“Wah, enak. Tiap minggu ada bocoran soal”, demikian celoteh seorang mahasiswa yang duduk di jejeran kursi tengah. Sayapun berbalik kepadanya dan berucap: “Dosen yang tak memberi bocoran soal atau kisi-kisi kepada mahasiswanya adalah dosen pembunuh mahasiswa. Ia membiarkan mahasiswanya belajar terlalu luas”. Ungakapanku ini, tiada kusangka disahuti seisi ruang kuliah dengan yel-yel ala demonstrasi: “Betuuuul….”.

* * *
Sambutan mahasiswa semester V ini membuatku terperangah. Konsentrasiku terbelah, antara mengajar dengan meresapi teriakan ‘betul’ ini. Kian kumaknainya, kian jauh kucari hakikatnya. Maka bergumamlah batinku bahwa perangai dosen yang ’saena’e dhewe’ membuat soal-soal tanpa kisi-kisi. Mahasiswa ibarat diajak ke medan ‘pertempuran’ namun tak memperlihatkan peta. Terkuraslah energi dan pikiran mahasiswa untuk meraba-raba soal-soal apa yang harus dihadapinya, ‘problem’ apa yang wajib dihadapinya di medan ujian itu?.

Bahkan keduanya (dosen dan mahasiswa), kadang tak tahu menahu untuk apa ujian itu dilakukan?. Apa karena motif LULUS?. Jika hanya tujuan LULUS ini yang menjadi dasar diselenggarakannya ujian demi ujian, maka pantaslah jika setiap ujian itu tiada membekas di setiap pikiran dan perasaan mahasiswa. Padahal jauh dari itu, ujian adalah mengukur kognitif dan mentalitas mahasiswa. Mengukur sikap-sikap mahasiswa untuk fair. Sesungguhnya, mahasiswa dapat menolak ujian jika Out of Context.
* * *
Selanjutnya, sekian banyak dosen hanya mampu membuat soal tapi tak sanggup merancang pertanyaan-pertanyaan, tak menyertakan tingkat kesulitan, tak memargin batas toleransi kebenaran dan kesalahan jawaban. Dan berapa banyak dosen tak mengembalikan ‘lembar hasil kerja’ mahasiswa, berapa banyak dosen yang tak melakukan editing soal-soal yang diberikannya. Berapa banyak dosen yang memberikan ujian tetapi tak memahami apa subtansi ilmiah dari ujian itu. Maka jadilah ‘Arena Ujian’ yang minim kualitas. Mereka membiarkan mahasiswanya terbingung-bingung karena gagal menemukan hubungan pertanyaan dengan pengetahuan mereka. Akibatnya, mahasiswa lunglai, bahkan putus asa dan asal ‘nembak’ jawaban.

Tak mudah menjadi dosen, pun tak mudah jadi mahasiswa.  Sebab kerap kudengar, mahasiswa datang ke kampus untuk kuliah, kuliah untuk ujian, ujian untuk lulus, lulus untuk lupa. Dan serupa itulah sketsa pendidikan di perguruan tinggi kita. Mahasiswa terbiarkan belajar tanpa arah, ujian tanpa kisi-kisi. Kusebutlah dosen seperti ini sebagai dosen pembunuh mahasiswa. Ia membunuh peluang mahasiswa untuk lulus dengan sempurna, edukatif dalam nuansa akademik yang berbudaya dan berkeadilan.
Dan itulah dosen pembunuh mahasiswa di abad semoderen ini

catatan Muhammad Armand Freedom Writers Kompasianer
×
Berita Terbaru Update