30 menit pasca TPS di tutup, berbagai stasiun TV
mulai menayangkan hasil hitung cepat. Khusus hari ini, TV di kantor saya
kuasai remote-nya. 5 channel stasiun TV dengan kembaga survey yang
digandeng masing-masing – Metro TV, TV One, RCTI dan MNC TV, SCTV dan
Indosiar, semuanya mengunggulkan pasangan baju kotak-kotak. Sampai sejam
kemudian, posisi itu tak berubah meski angkanya berfluktuasi. Maka
pantaslah kiranya kalo kita ucapkan selamat kepada warga Jakarta yang
telah menunjukkan apa yang mereka mau : perubahan!
Buat saya yang tak punya hak pilih karena bukan
warga DKI, tak ada perasaan khusus. Tak kecewa, juga tak terlalu suka
cita. Kalau seandainya saya warga DKI, di putaran pertama saya akan
pilih Bang Faisal Basri yang calon indepen, bukan diusung parpol. Meski
saya yakin calon independen bakal kalah karena berbagai alasan,
setidaknya tokoh independen seperti Bang Faisal telah memulai
mengenalkan wacana bahwa calon pemimpin itu tak selalu harus dari
parpol. Bahkan calon non partisan pun mampu mengalahkan calon yang
didukung parpol besar dan pengusaha besar. Buktinya Bang Faisal Basri
bisa mengalahkan Alex Noerdin yang diusung Golkar dan didukung penuh
Ical.
Tapi itu sudah berlalu, kini pilihannya tinggal 2.
Warga DKI sudah memberikan kepercayaan pada Bang Foke selama 5 tahun.
Parpol-parpol pada 2007 sudah bersatu padu mendukung Foke – kecuali PKS
saat itu. Sayangnya Foke menyia-nyiakan kesempatan itu. Foke berhasil
meyakinkan rakyat Jakarta agar “serahkan pada ahlinya”. Sayang
kepercayaan itu tak dijalankan dengan baik oleh Foke. Jadi, kalau
seseorang yang sudah gagal di 5 tahun pertama – dimana seharusnya ia
menabung keberhasilan untuk modal maju kembali pada 5 tahun berikutnya –
rasanya tak pantas diberi kepercayaan lagi. Bayangkan, kalau 5 tahun
pertama saja sudah tidak sungguh-sungguh mengemban amanah, apalagi 5
tahun berikutnya yang nota bene ia sudah tak akan bisa maju lagi pada
Pilgub 2017, jadi kalau gagal lagi pun tak bakal ditagih.
Maka pilihan satu-satunya tinggallah Jokowi. Dengan
cerita suksesnya memimpin Solo, memang sudah bisa ditebak bahwa Jokowi
bakal memenangkan Pilgub putaran II. Harapan warga DKI saat ini pada
Jokowi ibarat impian masyarakat Indonesia pada SBY menjelang Pilpres
2004 dulu. Kaum ibu begitu terpesona bahkan sebagian oercaya bahwa
SBY-lah sang Satrio Piningit yang bakal jadi Ratu Adil, seperti
dalam ramalan. Maka, ketika SBY tak terlalu sukses di 5 tahun pertama,
masyarakat Indonesia masih memberinya permakluman, bahkan memilihnya
kembali di Pilpres 2009 dengan kemenangan telak cukup di satu putaran
saja.
Kalaupun saya turut senang dengan kemenangan Jokowi, itu karena kemenangan Pilgub DKI adalah kemenangan warga Jakarta, kemenangan kehendak rakyat melawan kehendak parpol.
Setidaknya, Pilgub DKI yang bak pemanasan Pilpres ini menjadi tamparan
bagi parpol-parpol yang dengan pede mengkalkulasi gabungan dari
prosentase perolehan suara mereka di Pemilu 2009. Seolah-olah mereka
meng-klaim bahwa suara rakyat sepenuhnya tersalur melalui parpol,
sehingga otomatis perolehan suara di Pemilu bisa diklaim sebagai suara
milik mereka selamanya.
Melalui Pilgub DKI putaran ke-2 ini, logika rakyat telah menumbangkan logika parpol.
Sebenarnya hal ini sudah terbaca di putaran pertama, ketika prediksi
berbagai lembaga survey bertolak belakang dengan hasil hitung cepat dan
hasil perhitungan final KPUD. Mestinya, parpol-parpol sadar
diri, bahwa kini rakyat tak sepenuhnya lagi bisa disetir oleh parpol,
bahwa kepercayaan rakyat pada parpol sudah menipis.
Sayangnya, bukan itu yang terjadi. Parpol tetap
berjalan di atas logikanya sendiri. Bahkan PKS pun yang pada putaran
pertama seharusnya tertampar paling keras karena HNW–Didik hanya bisa
meraih dukungan 11% suara, separuh dari perolehan PKS pada Pemilu 2009,
ternyata ketika menyatakan dukungannya pada Foke–Nara masih dengan pede
meng-klaim akan memenangkan pasangan Foke–Nara dengan perolehan 65%.
Saat mendengar beritanya di TV, saya langsung terbahak-bahak. 65% dari Hongkong?!
Jika mengusung kadernya sendiri, yang nota bene mantan Presiden partai
sekaligus pernah menjadi caleg di DKI yang meraih dukungan suara
terbanyak se Indonesia, itu saja tak tercermin di putaran pertama,
bagaimana mungkin bisa mengumpulkan 65% suara di putaran kedua? Bukankah
Foke–Nara hanya meraup tak sampai 40% suara di putaran pertama? Berarti
PKS berjanji akan mencarikan sisanya alias 25% suara pada putaran
kedua. Hil yang mustahal bukan? (p[injam istilah alh=marhum Asmuni Srimulat)
Tapi itulah partai politik : kalau gak ngecap nomor
satu ya gak bakal laku jualannya. Sudah dikecapi habis-habisan saja
belum tentu laku. Kalau di depan Timses Foke–Nara tak menjanjikan
sesuatu yang fantastis, nanti tak bakal dilirik Foke untuk digandeng.
Meski sudah bisa dinalar itu hanya janji gombal belaka, tapi toh yang
digombali juga mau. Mungkin sesama parpol memang sudah terbiasa saling
menggombali saat bertransaksi politik.
Bagaimana pun, Pilgub DKI sudah meninggalkan jejak
yang cukup nyata. Sekitar 1,5 tahun lagi kita akan menghadapi Pemilu
2014 dan beberapa bulan berikutnya dilanjut Pilpres. Sudah saatnya
parpol-parpol membeli cermin besar dan banyak-banyak berkaca setiap
hari. Masihkah mereka bisa main klaim suara rakyat bakal tetap
mendukungnya seperti 5 tahun lalu? Kali ini baru PKS yang benar-benar
tertampar, karena hanya PKS yang berani mentarget angka fantastis 65%.
Lain kali, mungkin Demokrat yang sampai sekarang masih pede bakal tetap
bisa berjaya di 2014, akan mengalami nasib yang sama dengan PKS.
Akhirnya : selamat atas kemenangan warga Jakarta.
Anda yang telah memilih Foke, silakan kecewa, tapi harus tetap berbesar
hati menerima kekalahan. Mungkin bisa saja Timses Foke–Nara menagih
janji PKS. Sampai saat ini memang tak ada mekanisme yang bisa menghukum
parpol yang suka mengumbar janji. Mungkin perlu dipikirkan bahwa
pendukungnya bisa menagih janji parpol, agar menjadi pelajaran dan
pemberdayaan politik rakyat. Artinya ke depan parpol harus lebih
menghargai pendukungnya, tak asal main umbar janji.
Sedangkan buat anda yang memilih Jokowi, selamat
bergembira. Tapi jangan lupa, “hajatan” besar Jakarta bukan hanya Pilgub
ini saja. Ke depan, kewajiban andalah selaku pemilih untuk menagih
janji-janji kampanye Jokowi. Kalau melihat dari apa yang disampaikannya
di Metro TV Minggu petang lalu, tampaknya semua persoalan Jakarta sangat
mudah bagi Jokowi dan pendanaannya pun gampang. Jadi, Jokowi telah
berhasil meyakinkan warga Jakarta untuk memberikan suara mereka padanya.
Karena itu, hak warga Jakarta pula untuk menagihnya sebagai hutang
politik kepada rakyat pemilih. Bukan hutang politik kepada parpol
pendukung, apalagi kepada Capres yang akan maju pada 2014 nanti. Jangan
lagi memberikan blank check pada pemimpin. Seperti ketika rakyat Indonesia lupa menagih janji kampanye SBY pada 5 tahun pertama masa jabatannya.
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer