Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Timses Foke Nagih Janji PKS, Warga Jakarta Nagih Janji Jokowi -Ahok

22 September 2012 | 22.9.12 WIB Last Updated 2012-09-22T14:19:11Z


30 menit pasca TPS di tutup, berbagai stasiun TV mulai menayangkan hasil hitung cepat. Khusus hari ini, TV di kantor saya kuasai remote-nya. 5 channel stasiun TV dengan kembaga survey yang digandeng masing-masing – Metro TV, TV One, RCTI dan MNC TV, SCTV dan Indosiar, semuanya mengunggulkan pasangan baju kotak-kotak. Sampai sejam kemudian, posisi itu tak berubah meski angkanya berfluktuasi. Maka pantaslah kiranya kalo kita ucapkan selamat kepada warga Jakarta yang telah menunjukkan apa yang mereka mau : perubahan!

Buat saya yang tak punya hak pilih karena bukan warga DKI, tak ada perasaan khusus. Tak kecewa, juga tak terlalu suka cita. Kalau seandainya saya warga DKI, di putaran pertama saya akan pilih Bang Faisal Basri yang calon indepen, bukan diusung parpol. Meski saya yakin calon independen bakal kalah karena berbagai alasan, setidaknya tokoh independen seperti Bang Faisal telah memulai mengenalkan wacana bahwa calon pemimpin itu tak selalu harus dari parpol. Bahkan calon non partisan pun mampu mengalahkan calon yang didukung parpol besar dan pengusaha besar. Buktinya Bang Faisal Basri bisa mengalahkan Alex Noerdin yang diusung Golkar dan didukung penuh Ical.

Tapi itu sudah berlalu, kini pilihannya tinggal 2. Warga DKI sudah memberikan kepercayaan pada Bang Foke selama 5 tahun. Parpol-parpol pada 2007 sudah bersatu padu mendukung Foke – kecuali PKS saat itu. Sayangnya Foke menyia-nyiakan kesempatan itu. Foke berhasil meyakinkan rakyat Jakarta agar “serahkan pada ahlinya”. Sayang kepercayaan itu tak dijalankan dengan baik oleh Foke. Jadi, kalau seseorang yang sudah gagal di 5 tahun pertama – dimana seharusnya ia menabung keberhasilan untuk modal maju kembali pada 5 tahun berikutnya – rasanya tak pantas diberi kepercayaan lagi. Bayangkan, kalau 5 tahun pertama saja sudah tidak sungguh-sungguh mengemban amanah, apalagi 5 tahun berikutnya yang nota bene ia sudah tak akan bisa maju lagi pada Pilgub 2017, jadi kalau gagal lagi pun tak bakal ditagih.

Maka pilihan satu-satunya tinggallah Jokowi. Dengan cerita suksesnya memimpin Solo, memang sudah bisa ditebak bahwa Jokowi bakal memenangkan Pilgub putaran II. Harapan warga DKI saat ini pada Jokowi ibarat impian masyarakat Indonesia pada SBY menjelang Pilpres 2004 dulu. Kaum ibu begitu terpesona bahkan sebagian oercaya bahwa SBY-lah sang Satrio Piningit yang bakal jadi Ratu Adil, seperti dalam ramalan. Maka, ketika SBY tak terlalu sukses di 5 tahun pertama, masyarakat Indonesia masih memberinya permakluman, bahkan memilihnya kembali di Pilpres 2009 dengan kemenangan telak cukup di satu putaran saja.

Kalaupun saya turut senang dengan kemenangan Jokowi, itu karena kemenangan Pilgub DKI adalah kemenangan warga Jakarta, kemenangan kehendak rakyat melawan kehendak parpol. Setidaknya, Pilgub DKI yang bak pemanasan Pilpres ini menjadi tamparan bagi parpol-parpol yang dengan pede mengkalkulasi gabungan dari prosentase perolehan suara mereka di Pemilu 2009. Seolah-olah mereka meng-klaim bahwa suara rakyat sepenuhnya tersalur melalui parpol, sehingga otomatis perolehan suara di Pemilu bisa diklaim sebagai suara milik mereka selamanya.
Melalui Pilgub DKI putaran ke-2 ini, logika rakyat telah menumbangkan logika parpol. Sebenarnya hal ini sudah terbaca di putaran pertama, ketika prediksi berbagai lembaga survey bertolak belakang dengan hasil hitung cepat dan hasil perhitungan final KPUD. Mestinya, parpol-parpol sadar diri, bahwa kini rakyat tak sepenuhnya lagi bisa disetir oleh parpol, bahwa kepercayaan rakyat pada parpol sudah menipis.

Sayangnya, bukan itu yang terjadi. Parpol tetap berjalan di atas logikanya sendiri. Bahkan PKS pun yang pada putaran pertama seharusnya tertampar paling keras karena HNW–Didik hanya bisa meraih dukungan 11% suara, separuh dari perolehan PKS pada Pemilu 2009, ternyata ketika menyatakan dukungannya pada Foke–Nara masih dengan pede meng-klaim akan memenangkan pasangan Foke–Nara dengan perolehan 65%. Saat mendengar beritanya di TV, saya langsung terbahak-bahak. 65% dari Hongkong?! Jika mengusung kadernya sendiri, yang nota bene mantan Presiden partai sekaligus pernah menjadi caleg di DKI yang meraih dukungan suara terbanyak se Indonesia, itu saja tak tercermin di putaran pertama, bagaimana mungkin bisa mengumpulkan 65% suara di putaran kedua? Bukankah Foke–Nara hanya meraup tak sampai 40% suara di putaran pertama? Berarti PKS berjanji akan mencarikan sisanya alias 25% suara pada putaran kedua. Hil yang mustahal bukan? (p[injam istilah alh=marhum Asmuni Srimulat)

Tapi itulah partai politik : kalau gak ngecap nomor satu ya gak bakal laku jualannya. Sudah dikecapi habis-habisan saja belum tentu laku. Kalau di depan Timses Foke–Nara tak menjanjikan sesuatu yang fantastis, nanti tak bakal dilirik Foke untuk digandeng. Meski sudah bisa dinalar itu hanya janji gombal belaka, tapi toh yang digombali juga mau. Mungkin sesama parpol memang sudah terbiasa saling menggombali saat bertransaksi politik.

Bagaimana pun, Pilgub DKI sudah meninggalkan jejak yang cukup nyata. Sekitar 1,5 tahun lagi kita akan menghadapi Pemilu 2014 dan beberapa bulan berikutnya dilanjut Pilpres. Sudah saatnya parpol-parpol membeli cermin besar dan banyak-banyak berkaca setiap hari. Masihkah mereka bisa main klaim suara rakyat bakal tetap mendukungnya seperti 5 tahun lalu? Kali ini baru PKS yang benar-benar tertampar, karena hanya PKS yang berani mentarget angka fantastis 65%. Lain kali, mungkin Demokrat yang sampai sekarang masih pede bakal tetap bisa berjaya di 2014, akan mengalami nasib yang sama dengan PKS.

Akhirnya : selamat atas kemenangan warga Jakarta. Anda yang telah memilih Foke, silakan kecewa, tapi harus tetap berbesar hati menerima kekalahan. Mungkin bisa saja Timses Foke–Nara menagih janji PKS. Sampai saat ini memang tak ada mekanisme yang bisa menghukum parpol yang suka mengumbar janji. Mungkin perlu dipikirkan bahwa pendukungnya bisa menagih janji parpol, agar menjadi pelajaran dan pemberdayaan politik rakyat. Artinya ke depan parpol harus lebih menghargai pendukungnya, tak asal  main umbar janji.

Sedangkan buat anda yang memilih Jokowi, selamat bergembira. Tapi jangan lupa, “hajatan” besar Jakarta bukan hanya Pilgub ini saja. Ke depan, kewajiban andalah selaku pemilih untuk menagih janji-janji kampanye Jokowi. Kalau melihat dari apa yang disampaikannya di Metro TV Minggu petang lalu, tampaknya semua persoalan Jakarta sangat mudah bagi Jokowi dan pendanaannya pun gampang. Jadi, Jokowi telah berhasil meyakinkan warga Jakarta untuk memberikan suara mereka padanya. Karena itu, hak warga Jakarta pula untuk menagihnya sebagai hutang politik kepada rakyat pemilih. Bukan hutang politik kepada parpol pendukung, apalagi kepada Capres yang akan maju pada 2014 nanti. Jangan lagi memberikan blank check pada pemimpin. Seperti ketika rakyat Indonesia lupa menagih janji kampanye SBY pada 5 tahun pertama masa jabatannya.

catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer
×
Berita Terbaru Update