Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Selembar Perjalanan Hidup

18 Juli 2012 | 18.7.12 WIB Last Updated 2012-07-18T01:03:46Z

Kenal saya akan dia yang dilahirkan di pedalaman Minangkabau. Lantaran juga pengaruh sistem matriarkat yang tidak ramah terhadap anak laki-laki, setamat SMA berangkat dia merantau dan bersumpah tidak akan pulang kampung kalau tidak masuk perguruan tinggi di Jawa, seperti sampan kecil yang bertolak meninggalkan dermaga menuju lautan luas yang entah kapan tenggelamnya atau bocornya. Memang kapal yang ditumpanginya dari Teluk Bayur ke Jakarta waktu itu sedikit bocor dan pompa air sering dipekerjakan supaya kapalnya tidak istirahat di dasar lautan.
Keinginan hendak menjadi pegawai perusahaan Jepang yang menawarkan gaji yang lebih besar menjadi pendorong utama baginya mencalonkan diri sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Jepang, IKIP Bandung (sekarang UPI). Juga bersumpah dia kepada langit dan bumi bahwa tidak akan pulang kampung sebelum menamatkan kuliahnya.
Tetapi, waktu menduduki memamah bangku tingkat tiga, ada panggilan sanubari agar menjadi guru mengikuti jalan yang dilalui nenek, ibu, dan kakak laki-lakinya. Sudah barang tentu pengetahuan kependidikan yang diperoleh selama belajar di IKIP Bandung ikut mendorong keinginannya yang kuat untuk berkiprah dalam dunia keguruan.
Bekerja sambilan di sebuah percetakan untuk penambah-nambah biaya hidup merupakan pengalaman yang berharga pula dalam hidupnya. Terutama kebaikan teman-teman seangkatan di IKIP Bandung memberi makan dan sebagainya merupakan kebaikan yang tak akan pernah pudar dari sanubarinya.
Meski sebagai pembelajar punya kemampuan otak yang rata-rata, tapi dia merasa punya kelebihan yang bernilai tambah lebih banyak daripada kebanyakan orang Indonesia yang lain, yaitu belajar sebanyak mungkin dan memercayai kesempatan bukannya ditunggu melainkan harus dicari dengan sekuat tenaga.  
Walau faktor keberuntungan juga berperanan dalam pemetaan jalan hidup, dia yakini faktor kesungguhan mempunyai motor pendorong yang lebih kuat daripada faktor keberuntungan tersebut dan ini cerminan dari pandangan Thomas Alva Edison lewat ucapannya yang terkenal, "Genius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration".  
Hakikatnya, seseorang harus mengeluarkan keringat untuk maju. Pun seseorang akan bisa lebih cepat mendapatkan sesuatu daripada orang lain yang punya otak lebih baik asal yang bersangkutan memeras keringat lebih banyak.
Cita-cita hendak menjadi guru pada salah satu SMA di Jawa Barat tidak kesampaian karena ada lowongan kerja di Center for Japanese Studies, Universitas Nasional, Jakarta. Sesudah bekerja di sini beberapa bulan dan balik dari perjalanan singkat ke Jepang, baru dia pergi menengok kampung halamannya lagi menunaikan sumpahnya untuk tidak pulang kampung sebelum menamatkan perguruan tinggi.
Selama tinggal di Jakarta, hampir tidak ada kesempatan baginya untuk mengajar bahasa Jepang sampai akhirnya beroleh kesempatan belajar di Universitas Hiroshima pada 1987. Seperti Bandung dan Jakarta, Hiroshima sedikit gagal mematangkan jiwa kecil mentahnya dalam meniti penghidupan ini yang masih cenderung menyalahkan sesuatu atau orang lain atas kekurangan/kelemahan diri sendiri. Jalan yang berkerikil, yang sebagian besarnya disebabkan oleh faktor diri sendiri, menyebabkan cita-citanya banyak yang bergeletakan di tengah jalan.  
Ketika masa belajar di Universitas Hiroshima berakhir, tiket pesawat balik ke tanah air yang sudah berada di genggaman berat dirasa lantaran kegagalannya memanfaatkan waktu dan energi secara optimal waktu tinggal di Hiroshima ditambah lagi dengan situasi ekonomi politik yang gunjang-ganjing di tanah air yang masih berada di bawah rezim Suharto.
Beberapa minggu sebelum hari keberangkatan ke Indonesia pada medio 1990, kebetulan datang informasi dari Prof. Arifin Bey yang waktu itu berada di Jepang sebagai profesor tamu tentang adanya lowongan mengajar bahasa Indonesia di sebuah lembaga pemerintahan dan segera saja dia mendaftarkan diri. Sesudah interviu, beberapa hari kemudian datang surat pemberitahuan bahwa dia diterima sebagai guru bahasa Indonesia di sana dengan kontrak kerja selama tiga bulan. Karena tidak ada masalah besar dalam pengajaran di samping juga kesehatan yang cukup prima, kontrak berikutnya diperpanjang tiap tahun sekali sampai saat ini. Sekitar setahun berselang ada seorang perempuan yang berkenan mempersuaminya dan melangsungkan pernikahan di Amerika.
Sampai beberapa tahun yang lalu dia bisa menerbitkan buku sebanyak 20 buah yang hampir semuanya berkaitan dengan kejepangan, tapi belakangan ini hampir tidak ada lagi waktu yang terluang untuk menulis buku baru. Waktunya banyak tersita oleh pekerjaan mengajar, menggalang dana untuk membangun sekolah di dusun, menjalankan proyek beasiswa untuk anak-anak miskin, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Di selang-selang waktu ini dia merevisi buku-buku yang banyak diwarnai oleh kesalahan kendati tidak jelas apakah akan bisa diterbitkan lagi nanti atau tidak. Hubungan dengan penerbit bukunya yang pertama terputus karena perbedaan pandangan (termasuk kesalahannya sendiri) sedangkan sesudah itu penerbit buku yang lain bangkrut sehingga buku-bukunya tidak lagi beredar di pasaran.
Ikatan perkawinan dengan wanita Amerika dilerak kembali menjadi ikatan persahabatan dan dia membentuk rumah tangga baru dengan gadis Jepang yang mantan muridnya. Dia tidak beranak, tetapi mempunyai beberapa anak asuh yang di antaranya sudah menamatkan pascasarjana. 
Mengalihkan uang untuk membesarkan anak-anak yang sudah terlahir malang ke dunia ini lebih baik daripada melahirkan anak sendiri manakala jumlah penduduk makin membludak tak terkendali dewasa ini yang melahirkan persaingan yang menciutkan hati.
Bayangan menjadi guru bahasa Jepang di salah satu sekolah di Indonesia terkadang melintas dalam kepalanya dan mereka-reka kapan hal tersebut bisa diwujudkan. Nantinya tidak hanya mengajarkan bahasa Jepang melainkan juga mengajarkan banyak hal kepada generasi muda Indonesia bagaimana disiplinnya, tegasnya, tegarnya orang Jepang menempa dirinya sehingga bisa memajukan negaranya yang dipanuti dunia. Generasi muda Indonesia yang berjiwa guyah lemah guyah itu perlu lebih banyak menyimak gempitanya teknologi dan pengetahuan yang didasarkan kepada sesuatu yang bisa dilihat secara kasat mata, terukur, dan bukannya sesuatu yang buta logika .
Nampaknya banyak kenalan yang menganggap dia berhasil dalam hidup, tetapi hampir semua tidak mengetahui betapa banyaknya kegagalan dan penderitaan panjang yang harus dirasainya. Tiap-tiap orang punya penderitaan dalam hidup dengan tingkatan yang beragam dan secara umum manusia menjalani penghidupan yang sebagian besarnya diisi oleh kesusahan hidup.  
Relatif kita beroleh berkah yang besar dengan perjalanan hidup yang kita nikmati selama ini dibandingkan dengan golongan bawah yang selalu berjalan dalam kegelapan derita yang tidak juga kelihatan sinar kecil di ujung terowongan yang panjang itu. Kesadaran begini mendorong dia untuk mengulurkan tangan sebanyak mungkin, walau dengan kemampuan yang sedikit, sampai perjalanan hidup ini berakhir di terminal penghabisan.
Dia berpandangan bahwa rasa terima kasih terhadap apa yang sudah dimiliki mestilah mengakar dalam hidup. Sebaliknya, sifat cengeng dan minta dibelaskasihani yang tidak akan menegarkan jiwa tersebut mestilah dibuang jauh-jauh dari kamus hidup kita. Juga sebagai orang dewasa, mesti kita menghargai diri sendiri dalam tataran kebajikan di mana, kalau dianggap perlu, lebih baik menjelek-jelekkan seseorang di depannya dan memuji-muji seseorang di belakang orangnya.  
Lebih baik ditipu daripada menipu, lebih baik dihina daripada menghina, dan selalu merasa bahagia melihat orang lain bahagia dalam hidup ini merupakan adagium lain yang perlu dijiwai oleh semua orang di dunia ini. Di samping itu juga diharapkan orang-orang senantiasa punya pikiran yang positif dan memberi maaf atas kesalahan orang lain karena seringkali otak orang yang bersangkutan tidak mampu menyadari bahwa itu adalah suatu kesalahan atau kejahatan.
Sifat pemberian maaf ini pentinglah sekali diemban karena ketidaksukaan atau kebencian seseorang terhadap orang lain tidak hanya difaktori oleh kecemburuan, tetapi juga faktor lain yang tidak dipahami bahkan oleh orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, suatu kebencian tanpa alasan yang jelas. Barangkali psikolog yang juga mendalami dunia kromosom bisa memberi jawab atas gejala ini.
Dengan usianya yang kian lanjut ini kekhilafan atau kesalahan masa silam yang tidak menyenangkan terkadang melintasi pikiran dan dipahaminya sebagai sesuatu yang tidak terelakkan karena jiwa raga yang masih muda waktu itu di mana belum mampu melihat dengan jelas garis demarkasi yang tegas antara yang baik dan yang buruk. Berbuat sebanyak mungkin, terutama membantu orang yang kurang beroleh rahmat di dunia ini, adalah juga semacam penebusan kesalahan yang diperbuatnya selama ini.
Selembar jalan hidupnya yang tercecer di pinggir jalan akan dipunguti anak muda, dibaca dan dijadikan pegangan hidup atau dibuang ke tempat sampah.
catatan edizal the indonesian freedom writers
×
Berita Terbaru Update