Alkisah pada suatu masa,
tersebutlah sebuah negeri bernama Nusantara. Setiap lima tahun sekali,
negeri ini menggelar hajatan akbar yang disebut-sebut pesta rakyat –
meski setelah hajatan itu usai, yang berpesta justru wakilnya rakyat dan
rakyat gigit jari menunggu janji-janji ditepati dan biasanya tak pernah
terwujud. Hajatan akbar akan digelar tahun 2014. Baginda Raja yang
sekarang berkuasa tidak boleh lagi maju sebagai kontestan pasangan dansa
dalam pesta nanti. Itu sebabnya banyak tokoh yang bersiap-siap
mencalonkan diri untuk ikut pemilihan pasangan dansa. Para calon
mempersiapkan diri sebaik-baiknya mulai dari menggalang dana sampai
membentuk opini publik. Itu sebabnya media massa menjadi alat paling
ampuh untuk menyetir opini publik.
Tiga tahun sebelum hajatan
akbar, media massa di Nusantara mengerucut menjadi 2 kelompok besar.
Terjadilah oligarki media massa. Wan Abud yang jadi Kepala Suku Partai
Dodol Bakar (selanjutnya disingkat Dolkar) menguasai 2 stasiun TV dan
sebuah portal berita internet. Salah satu stasiun TV milik Wan Abud
meski masih tergolong muda usianya, tapi sudah sangat akrab di telinga
pemirsa TV. Sejalan dengan nama Partainya – DodolBakar – stasiun TV yang
punya motto “Terdepan Mengaburkan” ini suka membakar-bakar emosi
pemirsa. Sedangkan Bung Brewok yang jadi sesepuh partai Nasi Goreng
(selanjutnya disingkat Nasgor) punya sebuah stasiun TV dan koran. Merasa
belum cukup kuat menghadapi Wan Abud, Bung Brewok menggandeng boss
media massa lain : Pak Tani yang punya 3 stasiun TV, sebuah portal
berita internet, koran dan sejumlah radio. Meski usianya masih muda,
tapi Pak Tani sudah sukses di bisnis media.
Senada dengan nama partainya
– Nasi Goreng – stasiun TV Bung Brewok seringkali menggoreng dan
membumbui issu-issu yang semula dingin dan hambar sampai menjadi panas
dan berasa pedas. Baginda Raja dan para pungawanya sering dibuat keki
karena berita-berita yang ditayangkan TV Bung Brewok. Makin keki pihak
istana, makin komplit bumbu yang dibubuhkan dan makin spicy issunya.
Berbeda dengan Partai Dolkar
pimpinan Wan Abud – yang merupakan partai peninggalan generasi
sebelumnya, yang konon katanya sudah bertransformasi – Partai Nasgor
ciptaan Bung Brewok justru partai yang baru lahir. Bukan tanpa sebab
Bung Brewok bikin partai Nasgor. Dulu Bung Brewok rekan Wan Abud di
partai Dolkar. Lalu mereka berebut topi Kepala Suku yang dimenangkan
oleh Wan Abud. Tak mau kalah, Bung Brewok mendirikan ormas Nasgor yang
janjinya dulu hanyalah sebuah gerakan non partai. Ternyata ketika sudah
besar dan tersebar di seluruh wilayah Nusantara, Bung Brewok menyalahi
janjinya dengan mengubah ormas Nasgor menjadi partai Nasgor. Banyak
anggota partai Dolkar yang terjebak di dalamnya, sampai-sampai Wan Abud
mengultimatum anggotanya untuk memilih : Dodol Bakar apa Nasi Goreng?
Pak Tani, yang direkrut Bung
Brewok jadi Ketua Dewan Pakar Nasgor, ternyata punya riwayat yang tak
jauh beda dengan Bung Brewok : riwayat sakit hati, PakTani pernah
diremehkan oleh Wan Abud. Jadi lengkaplah sudah alasan Nasgor untuk
bertarung head to head dengan Dolkar. Jaringan media massa milik
masing-masing boss itu akan menyajikan berita sesuai versi mereka dan
hanya akan menayangkan kabar yang menguntungkan kelompoknya sendiri.
Tentu saja publik sangat dirugikan, sebab tak ada informasi yang
berimbang dan obyektif yang mereka terima. Dulu ketika burung Nazar
peliharaan Baginda Raja kabur dan terbang jauh, TV milik Wan Abud dan
Bung Brewok berlomba-lomba mendapatkan kicauan si burung Nazar dari
jarak jauh, Nah, jika nanti ada anggota partai Dolkar dan Nasgor ada
yang bertingkah seperti si burung Nazar, dari mana publik akan dapat
informasi yang aktual, tajam dan terpercaya?
Akhirnya sebagai salah satu
milyarder yang menguasai jaringan media massa, aku bertekad akan memecah
oligarki itu. Maka kuciptakan partai Si King (singkatan dari Nasi
Aking). Sengaja kunamai nasi aking, sebab partaiku ini didedikasikan
untuk jutaan rakyat Nusantara yang masih makan nasi aking.Kenapa begitu?
Bukankah penduduk yang masih makan nasi aking gak mikirin partai dan
gak mengikuti perkembangan informasi? Justru itu, inilah alasannya.
Meski jumlah penduduk super kaya
di Nusantara menduduki peringkat ke-4 di Asia, tapi jumlah penduduk
miskinnya masih jauh lebih banyak. Sebagian besar lagi adalah warga
kelas menengah. Golongan menengah ini umumnya sudah mampu memenuhi
kebutuhan hidup mereka dengan cukup layak, namun mereka cenderung muak
dengan perilaku para wakil rakyat yang hedonis. Memang kontras sekali
kondisi ekonomi para wakil dengan rakyat yang diwakilinya. Golongan
menengah ini punya rasa solidaritas yang kuat dan simpati yang sangat
besar terhadap permasalahan yang dihadapi sesama kelas menengah dan
kelas bawah. Karena umumnya kelas menengah ini melek informasi dan
internet mania, mereka mudah sekali digerakkan untuk menggalang
dukungan. Mereka pernah mengumpulkan koin untuk seorang ibu muda yang
digugat sebuah rumah sakit asing. Pernah pula ada gerakan pengumpulan
koin untuk seorang bayi penderita penyakit atresia billier. Yang
terakhir, mereka pernah menggalang dana untuk membayar denda diyat
seorang pembantu yang terancam hukuman mati di Arab. Jadi kalo kubikin
partai Nasi Aking, golongan kelas menengah akan mudah bersimpati.
Partai Si King tak akan
mengajukan pasangan pedansa dalam pesta rakyat nanti. Rakyat boleh pilih
siapasaja pasangan pedansa yang mereka percayai. Yang jadi konsentrasi
utama dan tujuan partai Si King adalah mendidik rakyat menjadi pemilih
yang cerdas, kritis dan berwawasan luas. Dalam perhelatan akbar, jumlah
pemilih terbanyak adalah rakyat kelas menengah dan bawah. Kelak 2014
mereka tak boleh lagi mudah digiring untuk mendukung parpol atau tokoh
tertentu hanya dengan bagi-bagi uang 20 – 50 ribu atau sekantong paket
sembako yang dibagikan gratis. Dan karena ingatan rakyat Nusantara
sangat pendek, mereka mudah sekali melupakan kejadian-kejadian lama. Itu
sebabnya para politikus mengenakan topeng terbaiknya sekitar 6 – 3
bulan sebelum pesta rakyat. Ya, inilah kelemahan utama rakyat Nusantara :
pelupa! Dan para politisi pandai memanfaatkan ini untuk bertransformasi
dalam sekejap mata.
Untuk itulah jaringan media
massa milikku akan terus menyajikan berita-berita tentang rekam jejak
para politisi. Dan karena 58% pemilih di pesta rakyat adalah kaum
wanita, maka mereka inilah lahan yang potensial untuk dirawat. Mereka
senang bergosip dan suka mempengaruhi orang lain. Mereka bisa
mempengaruhi suaminya, pacarnya, sahabatnya, tetangganya, orang tuanya
yang sudah lanjut usia, sampai pembantu rumahnya. Sedikit saja cela dari
seorang tokoh, akan cepat menyebar dari mulut ke mulut. Karena itu,
merekalah sesungguhnya jaringan informasi paling ampuh untuk
memberitakan rekam jejak tercela para politisi. Maka tabloid milikku
akan memberitakan skandal gelap para politisi yang selama ini mereka
tutup rapat supaya tak tercium bau busuknya. Program acara infotainment
di TV milikku tak akan mengabarkan gosip para artis – toh artis-artis
itu tak makan uang rakyat, mereka hidup mewah dari hasil performanya
sendiri – tapi justru akan mengabarkan para politisi yang doyan kawin
dan suka menterlantarkan istri dan anaknya. Para paparazzi-ku kan
kusuruh menjepret moment-moment special yang bisa bercerita banyak
kepada publik. Maklumlah, para politisi selalu punya sejuta alasan untuk
mengelak. Nah, hasil bidikan kamera para paparazzi-ku akan membuat
mereka tak berkutik.
Enam bulan sebelum pesta rakyat
digelar, tayangan TVku dan isi berita di portal internetku akan di
dominasi oleh skandal-skandal lama, kasus-kasus korupsi, suap dan
manipulasi yang sudah di-peti es-kan, masalah-masalah hukum yang masih
menggantung, janji-janji politik yang belum juga dipenuhi, standard
ganda dan kemunafikan khas politisi, hedonisme dan gaya hidup para
politisi yang tak peduli dengan kondisi rakyatnya, kengototan para
politisi untuk mendapatkan tambahan fasilitas, sampai kisah-kisah
rebutan kursi kekuasaan yang melatar belakangi berbagai peristiwa
politik selama 5 – 10 tahun terakhir. Ya, ingatan pendek rakyat
Nusantara harus digugah dengan perjuangan melawan lupa. Mereka harus
tahu siapa saja politisi dan dari parpol mana asalnya yang tidak pantas
dipilih karena mencederai amanat rakyat.
Rakyat pemakan nasi aking tak
akan nonton siaran TVku, tak sempat mendengarkan dialog di radio-radio
milikku, apalagi buat baca koran dan buka portal berita internetku.
Pemirsa dan pembaca jaringan media milikku adalah golongan kelas
menengah. Mereka sudah lebih terdidik dan makin cerdas mengkritisi
kondisi negerinya.Mereka tidak mudah lagi digiring dan diarahkan. Karena
itu, akibat poligarki media milik Wan Abud kontra milik Pak Brewok,
mereka akan mencari media alternatif yang non partisan. Dari sinilah
jaringan media milikku akan merebut pemirsa dan pembaca untuk
mengalihkan preferensinya ke media milikku. Masyarakat the have sudah
pasti tak akan menyimak mediaku.Di rumah-rumah mewah mereka channel TV
didominasi siaran TV asing. Anak-anak mereka yang memasuki usia pemilih
pemula, sekolah di luar negeri. Ibu-ibu sosialita sibuk arisan dan
keluar masuk butik untuk berburu barang-barang branded. Tak apa, toh
jumlah mereka tak banyak-banyak amat.
Kubidik remaja-remaja pemilih
pemula yang merasakan mahalnya ongkos pendidikan dan ketidakjelasan masa
depan mereka. Kutarget ibu-ibu yang suka bergosip sambil nonton
infotainment dan baca tabloid. Kuraih orang-orang kantoran yang selalu
punya akses internet di kantornya. Mereka inilah yang akan menjadi agent
of change. Ibu-ibu akan ngerumpi agar si Fulan atau partai Anu jangan
di pilih, di pasar-pasar, di tukang sayur, di arisan RT,di pertemuan
wali murid TK dan SD, bahkan di majelis taklim. Karyawan-karyawan akan
mendiskusikan di kantor-kantor, di warteg tempat mereka makan siang, di
atas taksi dan bis kota yang mereka tumpangi. Remaja-remaja akan
membicarakan dengan teman sekolah mereka, dengan gurunya, di kantin
sekolah, di angkot.
Lama-lama, rakyat kelas bawah yang gak sempat nonton
berita TV atau dengar siaran radio, gak bisa baca koran dan browsing
internet, akan tahu juga kebobrokan para politisi dan kemunafikan
parpol-parpol. Sebagus apapun topeng yang mereka kenakan, akhirnya
rakyat tahu. Mereka yang sudah lupa dengan kasus-kasus lama, kini
disegarkan lagi ingatannya. Rakyat yang makan nasi aking, sesekali juga
nonton TV, numpang punya tetangga. Dari omongan tetangga lah mereka jadi
lebih terdidik dan melek informasi. Setidaknya mereka tidak semudah
dulu lagi dikooptasi kepentingan.
Lalu, apa jaringan media massa
milikku gak bangkrut? Bukankah aku tak sekaya Wan Abud, Pak Brewok dan
Pak Tani? Oh.., tidak! Dengan tidak punya kepentingan untuk berebut
kursi kekuasaan dan tidak mengusung pasangan pedansa tertentu, spot
iklan di media milikku tak berpotensi loss karena harus merelakan jatah
iklan gratis untuk parpolku. 100% jatah iklanku kujual secara komersial
kepada produsen mie instant, susu bayi, susu diet, susu ibu hamil dan
menyusui, sabun mandi, detergen, pengharum ruangan, pasta gigi, obat
nyamuk, obat batuk, obat pusing, jamu, minuman berenergi, dll. Para
produsen pemasang iklan itu sebenarnya tak peduli apa afiliasi politik
media massa yang akan menayangkan iklannya. Mereka hanya peduli pada
berapa banyak pemirsa, pendengar dan pembaca media tersebut. Dan sebagai
jaringan media massa yang netral dan tidak terkooptasi oligarki, media
massaku pasti akan merebut perhatian publik yang kian kritis dan muak
dengan kondisi negerinya.
Sebagian perolehan iklan di
jaringan media milikku akan kupakai untuk membayar lembaga survey yang
bonafid. Aku berani membayar lebih mahal dari Wan Abud, Pak Brewok dan
Pak Tani. Dengan syarat : lembaga survey ini harus benar-benar melakukan
survey yang obyektif di 33 propinsi Nusantara dengan sampel mayoritas
masyarakat kelas menengah dan bawah. Tak apa merogoh kocek dalam-dalam,
asal hasilnya untuk pendidikan dan perluasan wawasan pemilih. Nusantara
sudah diambang tubir kehancuran. Jika pesta rakyat 2014 nanti hanya
menghasilkan tokoh-tokoh yang kualitas dan mentalitasnya seperti
sekarang, masih dikuasai parpol-parpol yang itu-itu juga atau parpol
baru tapi isinya tokoh-tokoh lama yang ganti jaket saja, maka Nusantara
akan menuju Negara gagal. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali mendidik
rakyatnya menjadi pemilih yang cerdas, kritis dan berwawasan luas. Juga
membantu mereka berjuang melawan lupa.
CATATAN IRA OEMAR FREEDOM WRITERS KOMPASIANER