Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

lindungi anak dan saudara perempuan kita : Aborsi Mengaku Jatuh di Mall

5 Juli 2012 | 5.7.12 WIB Last Updated 2012-07-05T15:50:27Z
13304092821324257273

_
Sebagai karyawan yang ditugaskan di bagian HRD, terkadang saya mau tak mau terpaksa “ikut campur” pada urusan pribadi karyawan. Biasanya karena pengaduan dan permintaan dari keluarga karyawan atau pihak ketiga lainnya kepada HRD untuk menengahi persoalan mereka. Tapi sekali waktu saya pernah atas inisiatif sendiri, memutuskan untuk “ikut campur” pada masalah pribadi karyawan meski tak diundang oleh keluarganya, demi kebaikan keluarga itu.

Ceritanya bermula dari resume medis yang diajukan seorang karyawan untuk mendapatkan penggantian pembayaran (reimbursement) dari PT. Jamsostek. Kami memang mengikutsertakan karyawan dan keluarganya dalam program asuransi Jamsostek. Sesuai aturan semua karyawan dan keluarganya dapat berobat di klinik yang bekerjasama dengan PT. Jamsostek. Namun pada kasus tertentu dalam keadaan mendesak, karyawan dan keluarganya boleh berobat di klinik mana saja, asalkan membayar biayanya sendiri dulu, baru kemudian dilakukan klaim reimbursement.

Suatu kali ada seorang karyawan yang mengajukan klaim atas biaya pengobatan putrinya yang masih berumur 14 tahun. Menurut ceritanya si anak sedang berjalan-jalan di mall bersama teman-temannya lalu terjatuh. Karena mengalami luka yang cukup parah sampai terjadi perdarahan, teman-temannya segera membawa si anak ini ke klinik untuk ditangani. Baru setelah pengobatan selesai, anaknya diantar pulang teman-temannya sambil menyodorkan kwitansi pengobatan dan resume medis kepada bapak si anak (karyawan kami) untuk diganti uangnya.

Si Bapak yang hanya karyawan biasa dengan gaji yang tak seberapa merasa berat dengan biaya yang disodorkan teman-teman putrinya. Tapi ia terpaksa mengganti dengan uang simpanan yang dicadangkan untuk melunasi uang sekolah anaknya yang akan mengikuti UAN. Karena itu ia meminta kepada HRD agar bisa sesegera mungkin mengupayakan proses reimbursement dari Jamsostek, agar uangnya bisa segera tergantikan.

Staf kami yang memang bertugas mengurus klaim ke PT. Jamsostek, segera menindaklanjuti permohonan itu. Sayangnya, dalam proses verifikasi klaim itu nyaris ditolak oleh PT. Jamsostek. Masalahnya dari hasil resume medis, pasien yang masih pelajar itu dilaporkan mengalami perlukaan di jalan lahir dan dokter melakukan tindakan medis untuk mengatasinya. Pihak PT. Jamsostek meragukan jika hal itu disebabkan oleh perlukaan akibat jatuh semata. Staf kami pun dipanggil oleh PT. Jamsostek untuk menjelaskan hal itu.

Karena staf kami seorang Sarjana Kesehatan yang cukup bisa memahami hasil diagnose dokter dan resume medis, dia kemudian mempelajarinya. Dia tahu bahwa kemungkinan besar telah terjadi aborsi yang agak sembrono sehingga terjadi perdarahan sehingga dokter kemudian mengambil tindakan medis untuk mengatasinya.
Dengan niat baik didorong rasa kasihan pada karyawan kami yang sangat membutuhkan uang penggantian biaya berobat itu, akhirnya staf kami entah bagaimana caranya bisa meyakinkan pihak PT. Jamsostek bahwa apa yang tertera dalam resume medis itu memang tindakan yang patut dan wajar dilakukan dalam kasus itu. Akhirnya PT. Jamsostek berhasil diyakinkan dan dijanjikan tanggal sekian klaimnya akan dicairkan.

Menjelang pencairan klaim, staf kami melapor pada saya soal kasus ini. Dia menunjukkan copy resume medis dan menjelaskan pada saya yang awam soal itu, lengkap disertai penggambaran mengenai tindakan apa yang disinyalir dilakukan dokter serta apa kira-kira sebabnya. Menurut staf kami, tindakan itu tentunya rehabilitasi dari tindakan aborsi. Mungkin si anak sudah melakukan aborsi yang kemudian menyebabkan perdarahan. Jadi, perdarahan yang katanya akibat jatuh di mall itu bisa jadi hanya karangan belaka.

Mendengar penjelasan staf kami, saya kaget luar biasa. Terbayang di benak saya karyawan kami yang polos dan sederhana, putrinya yangmasih 14 tahun, kemungkinan masih pelajar SMP. Tahukah orang tua si anak tentang hal ini? Tampaknya mereka percaya 100% putrinya jatuh di mall dan terpaksa mengganti uang teman-teman putrinya yang dipakai membayar biaya pengobatan.
Kalau si bapak tidak tahu kejadian sebenarnya, ini “lampu merah” bagi kehidupan keluarga itu.

 Mereka tentu tidak tahu bagaimana pergaulan putrinya di luar rumah. Kalau benar putrinya hamil sehingga terpaksa melakukan aborsi, siapa yang menghamilinya? Siapa yang menyuruhnya melakukan aborsi? Siapa yang membiayai aborsinya? Apa atas kehendak sendiri melakukan aborsi atau justru ditekan lelaki yang menghamilinya? Melihat gampangnya si anak melakukan aborsi, akankah kejadian ini tak terulang lagi di masa yang akan datang?
Dengan pertanyaan yang berkecamuk di benak itu, saya putuskan untuk turun tangan dan ikut campur dalam masalah keluarga karyawan kami. Besok, klaimnya akan cair.

 Karyawan kami yang sudah sangat membutuhkan uangnya sudah menunggu-nunggu. Saya berniat memanggilnya dan bersama staf kami akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana pun, staf kami sudah turun tangan dengan sedikit mempelesetkan penafsiran resume medis itu hanya demi cairnya klaim karena kasihan dengan karyawan kami yang butuh uang. Lebih kasihan lagi kalau si bapak tak diberitahu tentang kondisi yang dialami putrinya sehingga tak bisa mengambil tindakan yang tepat.

Sayangnya, ketika dihubungi via telepon, karyawan kami beralasan dia sangat sibuk karena pekerjaan di bagian produksi menumpuk. Dia minta tolong uangnya segera ditransfer ke rekening gajinya dan berjanji akan segera menghadap kami begitu ada kesempatan. Sekian hari ditunggu, karyawan kami tak juga datang ke kantor. Akhirnya saya menyuruh staf kami menemui karyawan tersebut di lapangan dan mengajaknya menemui saya.
 
Begitu bertemu, karyawan itu menjawab “Pak, kalau Bapak memanggil saya menghadap Ibu Ira soal sakitnya anak saya, gak perlu deh Pak, saya sudah tahu kok”. Dia kemudian cerita bahwa putrinya akhirnya mengaku kalau hamil dan menggugurkan kandungannya. Karyawan ini menolak menghadap sebab dia khawatir kasus aborsi illegal yang dilakukan putrinya akan berdampak pada kelangsungan kerjanya di perusahaan kami. Dia takut akan ada sanksi akibat putrinya memberikan keterangan palsu terkait sebab perdarahan yang membuatnya harus berobat di hari Minggu.

Akhirnya staf kami kembali ke kantor dan menceritakan pertemuannya dengan si bapak yang malang itu. Saya pun merasa ini sudah cukup. Bukankah tujuan kami memanggil karyawan itu hanya untuk memberitahukannya soal kondisi putrinya yang sebenarnya. Kalau dia sudah tahu dari mulut anaknya sendiri – meski sangat terlambat – saya rasa tak apalah, yang penting dia dan istrinya bisa lebih baik lagi mengawasi pergaulan putrinya.

Pelajaran yang bisa saya ambil dari kejadian ini adalah : remaja putri kita yang berstatus pelajar ternyata sebagian sudah sangat familiar dengan tindakan aborsi. Si anak berasal dari keluarga sederhana, bapaknya pekerja rendahan, ibunya seorang ibu rumah tangga, si anak bersekolah di sekolah biasa (bukan sekolah elit dengan siswa-siswi dari kalangan borju yang terbiasa dengan pergaulan bebas ala remaja barat).

 Terlebih lagi kota ini sebenarnya kota kecil saja, bukan metropolitan. Pusat hiburan dan arena dugem tempat kongkow ABG modern juga bisa dibilang tidak ada. Kalau pun ada mungkin tak terjangkau harganya jika dibandingkan dengan tingkat kehidupan warga lokal asli daerah ini yang umumnya menjadi pekerja biasa diperusahaan-perusahaan.

Pergaulan bebas rupanya sudah jadi trend dan menular ke kalangan remaja dari masyarakat kelas menengah bawah. Meski jauh dari pusat hingar bingar gemerlapnya kota besar, meski berasal dari keluarga yang ortunya tidak sibuk, anak-anak remaja tetap rentan terpapar pola pergaulan bebas. Dan lebih ironis lagi, ABG sekarang sudah berani megatasi sendiri masalahnya. Ketika menyadari dirinya hamil, remaja putri cenderung mencari solusi bersama teman-temannya. 

Mereka sudah tahu dimana tempat melakukan aborsi, kemana harus dibawa kalau terjadi ekses negative dari aborsi, bahkan mereka sudah menyiapkan biayanya secara patungan. Alasannya pun sudah dikarang supaya ortu percaya.

Ini sangat menyedihkan, sebab “kecanggihan” mereka mengambil tindakan terencana adalah cermin dari tidak adanya penyesalan mereka atas kejadian yang menimpa dirinya. Kesigapan mereka melakukan aborsi pertanda bahwa perilaku sex bebas bukanlah sesuatu yang harus ditakuti dan dihindari, sebab mereka sudah punya jalan keluarnya. Remaja putri sebagai pihak yang jadi korban, seperti tak merasa dirinya jadi korban. Mereka secara pro-aktif mengatasi sendiri masalahnya.

Ini berbahaya, sebab jika remaja putri menganggap bahwa akibat perbuatan suka sama suka itu ia harus mengatasinya sendiri dan tak perlu ribut-ribut, tak perlu ortu tahu, maka kalau saja aksi ini berhasil, maka tak masalah ia mengulanginya lagi nanti, toh dia sudah tahu jalan keluarnya. Seolah remaja kita sudah hidup di era free sex, dimana antar pelajar bebas bertindak asal suka sama suka, bukan aib dan tak ada yang perlu dikhawatirkan, sebab sesama temannya akan selalu siap bahu membahu mengatasi masalahnya.

Ada baiknya, yang punya anak remaja lebih waspada dan lebih ketat lagi mengawasi pergaulan putra putrinya. Tak ada salahnya tidak percaya 100% begitu saja pada teman-teman anak-anak kita. Meski dengan uang saku pas-pasan, tidak bersekolah di sekolah yang “wah” dan merasa keluarga cukup harmonis dan tidak kurang dalam memberikan kasih sayang dan perhatian pada putra-putri kita, namun jika pengaruh lingkungan di sekolah lebih besar, bukan mustahil anak baik-baik di rumah bisa liar di luar rumah. Sebab remaja cenderung lebih takut dianggap “gak gaul”, lebih takut tidak sama dengan teman-temanya, ketimbang membohongi ortunya meski selama ini hubungan dengan ortunya baik-baik saja.

catatan ira oemar freedom writers kompasianers
×
Berita Terbaru Update