PENGALAMAN DULU : Minggu, 31 Agustus 2008 PAGI baru saja datang. Tiga mobil Satpol PP (Satuan Polisi Petugas Pengamanan) di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, di Terminal I B, itu merapat. Mereka turun dari mobil bak terbuka, lalu bergerak seakan mengejar penjahat. Tiga orang pria dan beberapa yang sedang berdiri di dekat Hussen Gani, redaktur ahli Tabloid Senayan, sedang menunggu saya. Ia heran dan bertanya-tanya sendiri, ada apa gerangan?
Kamis, 28 Agustus 2008, jam baru merujuk waktu pukul enam, kami berencana menuju Bandar Lampung, menghadiri Seminar Mencari Pemimpin Muda, yang diadakan PWI-Reformasi Koorda Lampung, hari itu. Begitu rombongan Satpol datang, beberapa pria; tiga di samping Hussen dan beberapa yang berdiri-diri, lari sontak macam akan dipalak.
Hussen terkesima melihat kenyataan itu. Dalam benaknya ia lalu mendapatkan jawaban, “Ooo, pastilah antara rombongan yang kabur itu dengan para Satpol, sudah saling hafal, saling tahu diri.”
Tepat sekali, jawab saya.
“Padahal, secara hukum bila mereka tak memegang tiket untuk dijual, lalu juga tak terlihat sedang menawarkan sesuatu jasa, taksi atau ojek, apalah landasan hukum menangkapnya?”
“Satpol seakan sudah paham wajah para calo itu.”
Saya lalu teringat kepada Chandra Tanzil. Sosok ini pernah saya tulis untuk majalah PANTAU, 2002 – - kajian media dan jurnalisme, yang kini tidak terbit lagi. Kala itu Chandra mendapatkan kesempatan membuat film dokumenter, sebagai keberhasilannya menjadi finalis setelah mengirim sinopsis atas ide liputan program First Time Film Maker dari kanal Discovery Channel Asia, di Singapura.
Atas riset Chandra, ia menemukan anak-anak di tingkat SD, banyak yang bekerja serabutan di bandara internasional itu,. Ada yang menawarkan jasa membawa barang, lebih banyak pula menawarkan mencuci mobil. Anak-anak “liar” itu harus kucing-kucingan dengan petugas bandara, agar tidak tertangkap Satpol.
Di dalam penelusuran tajam Chandra, ternyata sudah ada adab: Masing-masing anak pencari nafkah harian, mulai dari pencuci mobil liar, pedagang asongan serabutan, digilir ditangkap.
Salah satu anak yang jadi tokoh dalam film Chandra berjudul Take Off itu, bernama Muhamad Bina, mendapat giliran tertangkap seminggu sekali. Usai ditangkap, dikantor-satpol-kan, lalu sebelum petang merembang, mereka dibebaskan pulang.
Adegan demikian, sebagai bentuk “damai”, di mana sang petugas tampak bekerja, dan anak-anak tetap dapat berwirausaha. Inilah solusi “melegalkan” keadaan.
Adalah Chandra Tanzil, kala itu dapat menangkap persoalan sosiologi hebat di balik sekadar urusan tangkap-menangkap. Chandra dapat memvisualkan, bahwa di landas pacu bandara itu dulu, terhampar petak-petak sawah. Di antara sedikit lahan, adalah sawah milik keluarga Bina. Kini mereka tergusur ke pinggiran, menetap di kampung di utara Bandara, dalam pergumulan hidup bersahaja, tanpa ada solusi negara memberdayakan.
Pernah ada prioritas diberikan untuk tenaga kerja pengamanan, SDM pembersih taman, namun persyaratan administratif yang diberlakukan PT Angkasa Pura, membuat banyak sosok pemuda di sana tidak bisa direkrut.
Ayah Bina, misalnya, tidak tamat SD.
Ayah Bina, lalu menjadi kuli tak jelas.
Saban hari ia menawarkan jasa ke pemukiman elit di kawasan di seputar Kapuk Muara, menjadi pembersih taman, misalnya. Jika tidak memperoleh kerja harian, ayah Bina, berdiam diri saja di rumah.
Untuk membiayai sekolah, Bina, mengemban misi bekerja serabutan. Bina bersiteguh hati bersekolah tinggi.
Otoritas pihak bandara, paham sekali atas keadaan ekonomi keluarga bekas gusuran di seputar bandara itu. Satpol PP, yang juga berekonomi kecil, saya pastikan hingga kini belum menemukan solusi lebih hebat dari urusan sandiwara bergiliran menangkap itu.
Bukan mustahil adegan yang disaksikan Hussen di pagi itu, ihwal para calo kabur di saat Satpol datang, sandiwara lama saban dilakukan.
Masih lekat dalam ingatan saya, ending film yang dibuat Chandra tanzil. Di saat matahari petang mulai memerah, dari jauh, lamat-lamat tampak seorang ayah berbadan kurus, mengayuh sepeda.
Di bocengan sepeda ontel tua itu, duduk Bina. Dari kejauhan ada rombongan anak-anak lain mengintip di balik pagar besi bandara ke landas pacu. Sebuah pesawat jumbo jet Boeing 747, mulai mengangkasa, kamera pelan zoom in ke sosok Bina dan ayahnya. Jumbo jet kian meninggi. Suaranya menggetarkan gigi.
Gemuruh mesin pesawat seakan meneriakkan bahwa ribuan masyarakat tergusur dari tanah leluhur. Mereka tercerabut dari akar pertanian di lahan bandara itu, hingga kini, belum mendapat solusi mumpuni.
Kehidupan bukanlah mesin pesawat yang kenopnya bisa dimatikan. Panggung sandiwara seakan solusi menjadi-jadi, seakan jurus sakti.
PUKUL 08.30, 29 Agustus 2008, pesawat Sriwijaya Air yang kami tumpangi mendarat di Bandara Raja Inten II, Branti, lampung Selatan. Sudah lama sekali saya tak berpesawat ke Lampung. Karena jarak tidak terlalu jauh, perjalanan ke sana lebih sering ditempuh lewat darat. Dulu di 1990-an awal hanya menumpang pesawat kecil berbaling-baling. Kini Boeing 737-200, dengan mudah merapat.
Karena sama-sama sudah lama tak ke bandara Lampung, persoalan pertama mulai muncul. Konter taksi di luar bandara tak ada. Setelah menanyakan, barulah ada yang mengatakan tempat memesan taksi di kiri pintu ke luar, yang memang tidak diberi tanda. Kami harus masuk kembali ke bagian dalam melewati pintu ke luar.
Taksi ke dalam kota Bandar Lampung Rp 100 ribu. Di tiket tertera nomor 2164, rupanya empat angka di belakang nomor plat. Kami menaiki mobil Daihatsu Xenia. Supir belum juga menjalankan. Tiga menit kemudian ada petugas, tanpa mengatakan maaf, meminta kami turun, pindah ke mobil lain. Mobil lain itu sedan, Hyundai bercat hijau kusam. Seluruh kaca jendela tidak bisa diturunkan. AC kurang dingin. Mobil panas.
Saya diam. Hussen bertanya ke supir taksi, ada apa gerangan? “Pembagian penumpang tidak fair Pak. Pengelola angkutan hanya memberikan jatah penumpang terus-terusan ke mobilnya, kami ini seakan dinomor-duakan.”
Saya tak berkomentar apa-apa, selain bilang ke Hussen, kita nikmati saja. Seturun kami di Hotel Kurnia Perdana, di Bandar Lampung, saya katakan: Selamat bagi Visit Indonesia Year. Apa jadi bila peristiwa yang kami alami itu, menimpa turis manca negara?
DI LANTAI 4, Hotel Kurnia Perdana, Bandar Lampung, pukul 14.00, itu sudah siap menerima peserta Seminar Daerah Mencari Pemimpin Muda. Oyos Saroso, wartawan The Jakarta Post Lampung, yang juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung, menjadi meoderator.
Pembicara; Aqil Irham, Ketua Gerakan Pemuda Anshor, Lampung, M. Rifai Darus, putra asli Papua, Ketua KNPI Papua, dan saya dalam kapasitas Ketua Koornas PWI-Reformasi. Acara dibuka oleh Abdul Majid, Ketua Koorda PWI-Reformasi, Lampung.
Kegiatan ini digulirkan diawali di Indonesia Timur. Papua, Menado sudah menyelenggarakan. Bila di dua tempat sebelumnya, peserta banyak dihadiri kalangan wartawan, organisasi pemuda, maka di Lampung, saya menelepon Mirza, Ketua BPD HIPMI Lampung, untuk mengerahkan pengusaha muda juga tampil. Mirza hari itu di Jakarta. Ia mendatangkan beberapa anggotanya hadir meramaikan. Diskusi berjalan dinamis.
Aqil Irham menyampaikan sikap pesimis akan tampilnya pemimpin baru, muda, di 2009 mendatang, mengingat sosok yang ada di pasaran yang itu ke itu alias lu lagi lu lagi. Hussen, yang juga Wakil Ketua Koornas PWI-Reformasi, memanaskan situasi dengan mengungkap bahwa, “Kesalahan kita menempatkan pelajaran sejarah; oh, jalan Sudirman terusannya Thamrin, Diponegoro belok kanan dari Thamrin.”
Hadirin tertawa.
“Sejarah seakan cuma masa lalu. Urusan menghafal tahun-tahun lalu,” ujar Hussen pula, “Seharusnya sejarah untuk masa depan.”
Dua penanya tajam. Pertama Andi, dari Bandar Lampung News. Ia mempersolkan apakah memang ada pemimpin muda? Sedangkan Arman, seorang cerpenis muda Lampung mengatakan, “Apakah ada pemimpin baru yang revolusioner?”
Muhamad Rifai Darus, menjabarkan bahwa pentingnya regenerasi kepemimpinan. “Kepemimpinan memang berproses. Dimulai dari daerah, bisa dilihat kepemimpinan seseorang,” ujar Rifai. Karena pernah memimpin KNPI di daerahnya, pria 32 tahun itu mengaku, ingin pula maju ke kancah nasional, merebut ketua pusat. Ini yang dimasudkannya sebagai proses.
Menanggapi Andi dan Arman, sekaligus saya teringat akan kata sejarah yang disampaikan Hussen. Saya katakan kita di masa lalu punya pemimpin muda, dan sekaligus revolusioner. Di antaranya, adalah almarhum Jenderal Soedirman. Ia wafat di usia 34 tahun. Alasannya bergerilya, “Rakyat tidak boleh menderita, biarkanlah kita pemimpin menderita.” Dan Soedirman bergerilya masuk kampung, merambah hutan melintas desa.
Saya bertanya di depan hadirin seminar itu: Apa ada pemimpin hari ini mau menderita demi rakyatnya?
Susana hening sejenak! Dari belakang, Arman, sang cerpenis seorang diri menjawab, “Tidak!” Diamini oleh hadirin lain. Lalu, kata tidak serempak menggema di ruang itu.
Menurut Abdul Majid, penyelenggara seminar, beberapa wartawan yang diundang, banyak pula yang tidak datang. “Hari ini sedang banyak berlangsung kampanye pilkada gubernur Lampung. Umumnya masing-masing calon gubernur membawa wartawan. Pemilihan gubernur akan berlangsung Selasa, 2 September 2008 mendatang.
Sudah banyak laporan ke saya mengatakan hampir di setiap Pilkada di berbagai daerah, masing-masing wartawan berpihak, bahkan banyak yang terang-terangan menjadi juru kampanye.
Di awal kata sebagai pembicara yang dijatahi waktu 15 menit, saya mensitir sembilan elemen jurnalisme. Di antaranya keberpihakan jurnalis kepada warga, bukan kepada kekuasaan.
Di penghujung kata menjawab pertanyaan Arman dan Andi, saya ungkap kelasahan fatal mengapa sosok pemimpin yang tampil itu ke itu saja: karena kesalahan wartawan, pers. Salah jurnalis! Jurnalis tidak lagi berusaha independen: Jurnalis takut miskin.
Mereka seakan sepakat menghamba kepada uang. Akibatnya, pers sebagai kekuatan keempat dalam demokrasi – - the fourth estate – - kini seakan hanya ada dalam dekapan mimpi.
Dan cealakanya, memang medialah, jika mau melakukan otokritik, yang membuai rakyat dengan mimpi. Media mengurangi laku reportase, mengurangi paparan kedaan riil dalam masyarakat, termasuk tidak mau menulis sosok hebat di daerah, bersih, jujur diakui berbuat maslahat bagi lingkungan dan masyarakat, namun sosok itu tak punya uang untuk mengongkosi wartawan mempromosikan dirinya, maka dia tidak dikenal massa, apalagi untuk disosialisasikan agar dijagokan jadi pemimpin. Sistem politik juga membuat kader pemimpin yang baik justeru tenggelam.
Karenanya diperlukan gerakan kilat menumbuhkan media alternatif, untuk juga bisa bicara beda.
Sebelum meninggalkan ruangan seminar, Aqil Irham, Ketua GP Anshor, menjabat kuat tangan saya. “Terima kasih telah mencerahkan,” katanya.
Dan sejujurnyalah, bukan terletak pada urusan cerah-mencerah. Tetapi menyangkut kekuatan keempat dalam demokrasi yang mutlak segera diwujudkan, di tengah kepercayaan kepada perlemen, eksekutif dan yudikatif memudar.
Mampukah wartawan, media, pers menjadi “miskin”? Atau tetap kaya lalu larut dalam lingkungan sandiwara macam yang ada di Bandara Soekarno-Hatta?
Agaknya, memasuki Ramadan, hal itu layak menjadi perenungan, oleh jurnalis, terutama. Juga oleh pemilik media, yang sudah menempatkan media pers sebagai industri. Itu pun kalau, mereka, mau!
catatan iwan piliang the indonesian freedom writers