Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

REFORMASI BIROKRASI SEBAGAI SYARAT PEMBERANTASAN KKN

14 Mei 2012 | 14.5.12 WIB Last Updated 2012-05-14T13:41:21Z

Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi
berkembang merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam
berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Di
samping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas
menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik
,
dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan
tersebut secara operasional. Sebab itu disadari bahwa birokrasi merupakan
faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean government)

dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good
governce)
. Namun pengalaman bangsa kita dan bangsa-bangsa lain
menunjukan bahwa birokrasi, tidak senantiasa dapat menyelenggarakan tugas
dan fungsinya tersebut secara otomatis dan independen serta menghasilkan
kinerja yang signifikan. 


Keberhasilan birokrasi dalam pemberantasan KKN juga
ditentukan oleh banyak faktor lainnya. Di antara faktor-faktor tersebut yang perlu
diperhitungkan dalam kebijakan “reformasi birokrasi” adalah koplitmen,
kompetensi, dan konsistensi semua pihak yang berperan dalam
penyelenggaraan negara - baik unsur aparatur negara maupun warga negara
dalam mewujudkan clean government dan good governance, serta dalam
mengaktualisasikan dan membumikan berbagai dimensi nilai yang terkandung
dalam konstitusi negara kita, sesuai posisi dan peran masing-masing dalam
negara dan bermasyarakat bangsa. Yang perlu diingat adalah bahwa semuanya
itu berada dan berlangsung dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan,
Republik Indonesia (SANKRI), dan masing-masing memiliki tanggung jawab
dalam mengemban perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan NKRl. Dapatkah
kita memikul tanggung jawab tersebut?.


USAHA PEMBERANTASAN KKN

Upaya pemberantasan korupsi yang selama lebih dari 40 tahun telah
dilakukan, baik pada era Orde Lama dan Orde Baru, maupun pada era reformasi
sekarang ini, belum menunjukkan hasil seperti yang kita harapkan. KKN yang
merupakan penyakit kronis Orde Baru, berkembang menjadi neo-KKN di orde
transisi sekarang ini. Sebenarnya pemberantasan KKN telah menjadi agenda
utama gerakan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998. Beberapa perangkat
hukum yang mengatur soal pemberantasan KKN dan menciptakan aparat
pemerintah yang bersih dan bertanggungjawab yang ditetapkan sejak tahun
1998 antara lain adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.



Berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan
upaya pemberantasan korupsi adalah antara lain Keppres Nomor 44 Tahun 2000
tentang Komisi Ombudsmen Nasional, sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor
155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsmen
Nasional; PP Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah; PP Nomor 56 Tahun 2000 tentang
Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; PP Nomor 274 Tahun 2001
tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; dan
Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 yang intinya menumbuhkan kesadaran bahwa
tertib sosial, ketenangan dan ketentraman hidup bersama hanya dapat
diwujudkan dengan ketaatan pada hukum dan berpihak pada keadilan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Sidang Istimewa tahun 1998, telah
mengeluarkan Ketetapan Nomor XI/MPR/I998 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.


 Ketetapan tersebut antara lain
menyatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas
dengan melaksanakan secara konsisten Undang Undang Tindak Pidana
Korupsi. Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan
secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat
negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat termasuk
mantan Presiden Suharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak
bersalah dan hak asasi manusia. Untuk mencegah praktek kolusi, korupsi, dan
nepotisme, ditentukan pula bahwa seseorang yang menjabat suatu jabatan
negara harus bersumpah sesuai dengan agamanya dan harus mengumumkan
dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat oleh suatu
lembaga yang dibentuk oleh Kepala Negara.
Sebagai pelaksanaan ketetapan MPR tersebut, di samping dibentuk
Undang-undang baru, juga dilakukan pembaharuan atas Undang-Undang
Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 1971. Undang-Undang baru yang
dibentuk adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang disahkan tanggal 18 Mei
1999.
Undang-Undang ini antara lain menentukan pula kewajiban setiap
penyelenggara negara untuk :
(1) mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum
memangku jabatannya;
(2) bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah
menjabat;
(3) melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah
menjabat;
(4) tidak melakukan KKN;
(5) melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan
golongan;
(6) melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak
melakukan perbuatan tercela; dan
(7) bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN, serta dalam perkara
lainnya.

 
Selanjutnya Undang-Undang tersebut menjelaskan maksud dari
penyelenggara negara yang bersih yaitu adalah penyelenggara negara yang
menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya. Asas-asas
umum penyelenggaraan negara dimaksud meliputi :
(1) Asas Kepastian hukum;
(2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
(3) Asas Kepentingan Umum;
(4) Asas Keterbukaan;
(5) Asas Proporsionalitas;
(6) Asas profesionalitas, dan
(7) Asas Akuntabilitas.

 
Kemudian untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan
bebas KKN, Presiden selaku Kepala Negara berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 127 Tahun 1999 membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat
Negara,
sebagai lembaga independen yang dalam pelaksanaan tugasnya bebas
dari pengaruh kekuasaan eksekutif, Iegislatif dan yudikatif. Keanggotaan komisi
ini terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat; dan terdiri dari Sub Komisi
eksekutif, legislatif: yudikatif dan BUMN/BUMD. Hasil-hasil pemeriksaan Komisi
Pemeriksa disampaikan kepada Presiden, DPR, dan Badan Pemeriksa
Keuangan. Khusus hasil-hasil pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat di
lingkungan yudikatif juga disampaikan kepada Mahkamah Agung. Pengangkatan
dan pemberhentian anggota Komisi ditetapkan dengan Keputusan Presiden
setelah mendapat persetujuan DPR, untuk masa jabatan 5 tahun.



Selain itu untuk memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi,
maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diperbaharui dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 ini secara tegas menuangkan keinginan untuk
memberantas praktik korupsi; antara lain dengan dimuatnya secara lebih tegas
tentang unsur suap, dan juga tentang tindak pidana suap lain yang disebut
sebagai gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan, kewajiban, dan tugas.
Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
gratifikasi adalah pemberian dalam arti yang luas yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas,
penginapan, perjalanan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya.
Pemberian tersebut, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan mempergunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik. Dengan pencantuman gratifikasi tersebut, makin jelas bahwa
berbagai fasilitas yang selama ini diragukan sebagai suatu pelanggaran atau
penyelewengan menjadi jelas, yaitu semua itu termasuk kategori suap yang
dapat diusut.


makalah/opini :  PROF. DR. MUSTOPADIDJAJA AR

×
Berita Terbaru Update