Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Penyintas Gempa 2009: Berjam Terkubur Hingga Leher, Lumpuh Setahun, Kini Jadi Wali

2 Oktober 2020 | 2.10.20 WIB Last Updated 2020-10-02T13:09:22Z

Ismail usai evakuasi tinggal di tenda pengungsian. Foto: istimewa

Pariaman - Gempa besar bermagnitudo 7,9 (ada yang menyebutnya 8,3) mengguncang Sumatra Barat pada 30 September 2009 lalu. Padangpariaman salah satu daerah berdampak paling parah saat itu. Ribuan rumah dan fasilitas umum roboh, ratusan nyawa melayang akibat terhimpit bangunan dan longsor, serta putusnya akses jalan.

Listrik seketika padam karena gardu utama PLN juga mengalami kerusakan dan tonggak listrik banyak yang roboh. Hujan mulai mengguyur dan malam terasa sepat gelap gulita. Suasana horror menggelayut di hampir setiap benak warga Padangpariaman.

Begitu juga dengan telekomunikasi. Tidak satu pun provider GSM menyala saat itu. Semua alat pemancar sinyal GSM mengalami kerusakan dan baru bisa diperbaiki seminggu kemudian. Hanya provider kanal CDMA yang menyala saat itu, dan sayangnya jumlah penggunanya sangat minim di Padangpariaman. Komunikasi antara ranah dan rantau terputus. Gempa-gempa susulan di atas magnitudo 5 terus terjadi.

Seluruh wilayah kabupaten Padangpariaman yang saat itu memiliki 60 nagari di 17 kecamatan, porak poranda akibat bencana alam paling mematikan yang pernah dirasakan warga Padangpariaman dalam kurun 100 tahun terakhir ini.

Salah seorang penyintas dahsyatnya gempa 2009 Padangpariaman bernama Ismail, 34 tahun. Ia mengenang betapa mencekamnya peristiwa tersebut yang hingga kini masih membekas di ingatannya.

Pukul 17.10 WIB, kenang Ismail, gempa berguncang hebat dan dia pikir itu cuman gempa saja. Belum selesai ia berpikir datanglah longsor yang menghantam rumahnya. Saat itu posisinya berada di dapur dan mendengarkan sendiri gemuruh hebat longsor yang menghantarkan jutaan kubik tanah dan bebatuan yang menimbun ratusan rumah di tiga kanagarian. Yakni Nagari Lubuak Laweh, Cumanak dan Kapalokoto yang berada di kaki Gunung Tigo Padangpariaman.

"Saya berlari ke belakang rumah. Pada saat saya berada di pintu dapur, rumah saya sudah tertimbun longsor begitupun dengan saya. Badan saya tertimbun sedalam leher bahkan kaki saya terjepit puing-puing bangunan. Saya berteriak minta tolong dan ketakutan sekali, sembari berharap ada yang menolong,” kata Ismael di Pariaman, Rabu (30/9).

Pria kelahiran 1986 ini hanya bisa berharap dan menunggu pertolongan dari orang-orang. Bukannya pasrah, tetapi badan yang tertimbun itu tidak bisa dia gerakkan.

 Ia terus menjerit minta tolong. Pada pukul tujuh malam, suaranya akhirnya didengar. Puluhan orang dari kampung sebelah beramai-ramai membongkar dan mulai menggali tanah untuk mengevakuasinya. Penggalian juga mengalami kesulitan akibat banyaknya material bangunan yang keras menghalangi jalannya evakuasi manual.

"Setelah penggalian sudah sampai pinggang saya, saya jadi bisa bernafas dengan leluasa. Tetapi hanya bisa sampai di situ karena sulitnya akses penggalian ke bagian kaki karena terjepit puing-puing bangunan," tutur Ismail.

Karena kondisi pada saat itu gelap dan hanya ditemani penerangan seadanya dari warga, Ismael tidak bisa dikeluarkan dari tumpukan tanah. Selama 18 jam, Ismael hanya ditemani warga yang berjaga dan sesekali ia diberi minuman agar bisa bertahan dalam cuaca malam yang dingin.

Pada pukul 11 malam akhirnya Ismail berhasil dikeluarkan dan langsung dibawa ke RSUD Pariaman. Karena akses jalan mengalami kerusakan hebat akibat gempa, perjalanan dari desanya ke rumah sakit terasa lama, yakni baru pukul empat sore baru sampai. Di rumah sakit ia langsung dibawa ke IGD untuk mendapatkan perawatan.

Ismail yang kini menjabat Walikorong Lubuk Laweh Jajaran, mengalami kelumpuhan selama satu tahun akibat tertimbun saat gempa tersebut. Kemudian ia mulai bisa berjalan dan menjalani hidupnya dengan normal.

Selang 1 tahun setelah kejadian yang merenggut ribuan nyawa itu, Pemerintah Kabupaten Padangpariaman membangun monumen yang menjadi saksi sejarah bencana gempa 30 September 2009.

Monumen gempa berupa patung dan ukiran yang menggambarkan visual - yang sedikit membuat bulu kuduk berdiri - mayat-mayat bergelimpangan tertimpa longsor dan material bangunan.

Di bawah patung-patung itu terdapat tembok persegi dengan ratusan nama-nama korban gempa yang ditulis dalam prasasti.

 Korban gempa akibat longsor Cumanak yang tidak bisa dievakuasi akhirnya terkubur abadi di sana hingga kini. Lokasi longsor dijadikan kuburan masal yang saat itu sempat menjadi pro kontra karena pemerintah menghentikan upaya penggalian.

Ismael mengatakan saat ini monumen tersebut terlihat tidak terawat lagi dan ditumbuhi lumut yang menggorogoti beberapa sisi monumen. Walaupun sudah berlumut, dulu masih banyak masyarakat yang mengunjungi monumen tersebut, bahkan dari mancanegara.

"Sekarang akses jalan menuju monumen kian rusak dan pengunjung monumen juga berkurang," imbuhnya.

Perjalanan menuju lokasi Monumen Gempa 2009 yang melewati nagari Kapalokoto sampai Lubuk Laweh akan menyenangkan karena di sepanjang jalan disuguhkan indahnya pemandangan alam. Sungai sungai nan jernih mengalir di sisi jalan. Pepohonan dengan daunnya yang hijau pertanda kesuburan berirama kicau burung, kidung alam sepanjang perjalanan.

Ismail berharap ada perbaikan jalan dari pemerintah menuju akses Monumen Gempa 2009. Masyarakat di tiga nagari yang merupakan nagari paling parah terdampak gempa 2009 itu, kini sudah bangkit meski tak akan pernah melupakan peristiwa kelam tersebut.

"Masyarakat mulai bertani lagi, menggarap sawah dan ladang dan kehidupan berjalan normal kembali," kata Ismail.

Ismail berharap pemerintah menyediakan anggaran perawatan bagi monumen gempa 2009 karena dinilainya bisa menjadi objek wisata sejarah yang akan memberi dampak ekonomi bagi masyarakat setempat.

"Kini kita hanya bisa gotong royong dengan alat seadanya membersihkan monumen. Tentu hasilnya tidak maksimal," pungkasnya.

Gempa 2009 bagi warga Cumanak dan sekitar kaki Gunung Tigo menyisakan kepedihan. Banyak orang kehilangan harta dan orang yang paling dicintainya. Anak kehilangan ayah dan ibu, suami kehilangan istri dan sebaliknya, orang tua kehilangan anak, bahkan ada pula satu keluarga terkubur akibat gempa disusul longsor di daerah itu. (Tim)

×
Berita Terbaru Update