Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Aisyah Dahlan (Bako Nirina Zubir) Ulama dan Politikus Nasional dari Padusunan

23 Januari 2019 | 23.1.19 WIB Last Updated 2019-01-23T15:25:25Z
Foto: istimewa
Oleh Sadri Chaniago (Dosen Jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas
 / Anak Nagari IV Angkek Poadusunan, Pariaman)


~Adik bungsunya Zubir Amin Zubir pernah menjabat Kepala Humas di Departemen Luar Negeri RI. Ketika bertugas bertugas di KBRI Madagaskar tahun 1979-1982, Putrinya yang diberi nama Nirina Zubir dilahirkan, sebagai hasil perkongsian hidupnya dengan Cut Indria Marzuki, yang berasal dari Nagari Koto Gadang, Kabupaten Agam. Nirina Zubir kemudian dikenal sebagai presenter dan artis seni peran papan atas di Tanah Air.  

Aisyah Dahlan - yang memiliki nama kecil Aisyah Amin  - bagi kalangan anak nagari IV Angkek Padusunan khususnya dan Pariaman umumnya, merupakan sosok yang tidak terlalu familiar. Hal ini mungkin salah satunya disebabkan oleh karena tidak banyaknya sumber tertulis yang mengeksplorasi tentang riwayat hidup (biografi) dan kiprahnya dalam kancah dunia pergerakan dakwah dan politik di pentas nasional.

Padahal, sebagai salah seorang “mutiara” anak nagari IV Angkek Padusunan, rekam jejaknya menunjukan bahwa ia merupakan seorang pendakwah (muballighah), pendidik, aktifis, yang pernah menjadi salah seorang ketua bidang dakwah dalam organisasi Muslimat Nahdhatul Ulama Pusat (1979), dan eksponen pejuang 45. Selain itu, dalam gelanggang politik praktis, ia pernah menjadi Anggota Majlis Konstituante (Pembuat Undang Undang Dasar), dan Anggota Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada tahun 1966-1971.

Dengan sederetan kiprah yang telah dilakukannya di atas merupakan salah satu pendorong yang kuat pentingnya dilakukan penelusuran terhadap riwayat hidup dan kiprahnya. Paling tidak, kiprah dan riwayat hidupnya ini diharapkan akan menjadi suri teladan, motivasi dan pemicu (trigger) bagi anak nagari IV Angkek Padusunan, dan Pariaman dalam mengembangkan kapasitas diri, demi kehidupan yang lebih baik. Untuk itu, narasi singkat ini akan memaparkan sekelumit dari riwayat dan kiprah Aisyah Dahlan sebagai salah seorang tokoh wanita nasional.

Ayah dan Ibunya

Aisyah Dahlan menuturkan dalam bukunya: “Thawalib School Padusunan 55 Tahun” (1985), bahwa ia dilahirkan pada 27 April 1920, di Kampung Gadang, Nagari IV Angkek Padusunan, Kota Pariaman, Sumatera Barat. Ibunya bernama Siti Nur Ali, yang merupakan sanak kemenakan Bagindo Djabang, dari trah keturunan Anggun Nan Tongga Magek Jabang. Sedangkan ayahnya adalah H. Tuanku Mudo Amin, seorang Ulama di Nagari Tungka, Kota Pariaman. H. Tuanku Mudo Amin ini merupakan anak tertua Syekh Tuanku Telur Nan Tua (Mufti Masjid Raya Nagari Padusunan pada tahun 1930-an), dari istrinya yang di Tungka.

Pada masa mudanya, H. Tuanku Mudo Amin pernah menempuh pendidikan di Sungayang Batu Sangkar, Parabek Bukittinggi, dan Padang Japang Payakumbuh. Ketika menempuh pendidikan pada tahun 1919, beliau satu kelas dengan Prof. Mahmud Yunus, yang kemudiannya menjadi seorang ahli tafsir Alquran kenamaan dari Minangkabau. Setelah menamatkan pendidikannya, H. Tuanku Mudo Amin menjadi guru pengajian surau di Masjid Raya Sikapak (Surau Taluak), dan menjadi pendakwah yang dikenali. Ia juga pernah beraktifitas sebagai staf pengajar di Thawalib School di Nagari IV Angkek Padusunan.

H. Tuanku Mudo Amin ini merupakan saudara se-ayah berlain ibu dengan H. Rasul Telur, anak dari Syekh Tuanku Telur Nan Tua dari istrinya yang lain. Sebagaimana diketahui, H. Rasul Telur ini merupakan jebolan Universitas al Azhar Mesir, yang kemudian menjadi salah seorang ulama terbilang di nagari IV Angkek Padusunan, dan berkiprah memimpin Thawalib School Padusunan, pada masa jayanya (1931).

Saudara-saudaranya

Aisyah Dahlan merupakan anak tertua dari 6 orang bersaudara kandung, hasil dari perkawinan Ibunya Siti Nur Ali dengan H.Tuanku Mudo Amin. Siti Nur Ali merupakan istri kedua dari H. Tuanku Mudo Amin (Istri pertamanya perempuan bersuku Chaniago di Nagari Cubadak Air, dikurniai dua orang anak: Aminah dan Habibah). Adapun urutan lengkap bersaudara adalah: Aisyah Dahlan (Aisyah Amin), Hasan Basri, Abdulah Gani (Dulah Balasuang), Ahmad Taher, Chadijah, dan Zubir Amin.

Saudara bungsu laki-laki Aisyah Dahlan yang bernama Zubir Amin, merupakan mantan diplomat senior Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, yang sudah kenyang pengalaman dalam dunia diplomatik di luar negeri. Sebagaimana yang diberitakan Harian Singgalang (12 Juli 2009), alumni FISIP Universitas Indonesia lulusan tahun 1970 ini pernah bertugas di KBRI Madagaskar tahun 1979-1982, KBRI Ankara (Turki) tahun 1982-1984. Kemudian menjadi Konjen RI di Hongkong tahun 1986-1989, KBRI Beijing (China) tahun 1989-1998. Setelah itu, dipromosikan menjadi Konjen RI di Merseile, Perancis pada tahun 2000 - 2003.

Zubir Amin Zubir juga pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Hubungan Kemasyarakatan (Humas) di Departemen Luar Negeri RI. Ketika bertugas bertugas di KBRI Madagaskar tahun 1979-1982, Putrinya yang diberi nama Nirina Zubir dilahirkan, sebagai hasil perkongsian hidupnya dengan Cut Indria Marzuki, yang berasal dari Nagari Koto Gadang, Kabupaten Agam. Nirina Zubir kemudian dikenal sebagai presenter dan artis seni peran papan atas di Tanah Air. Sedangkan dari segi adat, Zubir Amin merupakan pemangku gelar keturunan Anggun Nan Tongga Magek Jabang (dengan gelar Sultan Riayatsyah Nan Kodo Bahar), dan penghulu suku Mandailing Padusunan (gelar Datuk Rajo Jambi).

Pendidikan

Aisyah Dahlan menempuh pendidikan perdana-nya di Sekolah Desa di Nagari Sikapak selama 3 tahun. Ia menamatkan pendidikan di sekolah desa ini pada umur 10 tahun. Kemudian pada tahun 1930, ia melanjutkan pendidikan “mengaji” di Taman Pendidikan Surau Taluak (Sekarang Masjid Raya Al Furqan), Dusun Sikapak Usang, Nagari Tungka, Pariaman Utara, Kota Pariaman. Di Surau Taluak, ia diasuh dan dibimbing langsung oleh ayahandanya: H. Tuanku Mudo Amin, dan Tuanku Sidi Muhammad Husin. Tuanku Sidi Muhammad Husin ini merupakan pimpinan Thawalib School Padusunan pada tahun 1934.

Kemudian pada tahun 1933, Aisyah Dahlan pindah ke Sekolah Agama Thawalib School di Padusunan, dan menempati kelas V, satu kelas dengan Kamarisah A.N dan Jamilah Majid. Adapun yang menjadi gurunya ketika itu adalah Gutuo Mendek. Pada saat itu, Thawalib School Padusunan sedang berada pada puncak kejayaannya. Pada tahun 1935 - sebagai salah seorang dari 5 orang pelajar kelas VII (3 perempuan, dan 2 lelaki) - Aisyah Dahlan menempuh ujian akhir (eind examen), yang terdiri dari materi Syafahy dan Kitabi. Aisyah Dahlan berhasil menempuh ujian itu dengan baik, dan menjadi salah seorang dari lulusan pertama Thawalib School Padusunan.

Dalam ujian akhir tersebut, Aisyah Dahlan diuji oleh Tim Penguji yang dipimpin oleh “Guru Besar” : H. Sutan Ahmad Nazarudin Darab (H. Sutan Darab). Beliau merupakan salah seorang ulama pelopor gerakan “kaum muda” dan pembaharu sistim pendidikan keagamaan di Pariaman, Pendiri Diniyah School dan “Mudir” Perguruan Islam Darul Ma’arif Pariaman (Surau Tepi Air). Sebagaimana penjelasan Bagindo Said Zakaria dalam: “Riwayat Kota Pariaman” (1933) H. Sutan Darab merupakan salah seorang cucu kandung Syekh Muhammad Jamil El Khalidi, seorang ulama terbilang dan berpengaruh di Nagari Pasar Pariaman. (1830 M – 1928 M).

Setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Agama Thawalib School Padusunanan, Aisyah Dahlan kemudian melanjutkan pendidikannya ke Bovenbouw Darul Ma’arif Pariaman (Surau Tepi Air), yang dipimpinan oleh H. Sutan Darab. Kemudian Ia melanjutkan pendidikannya ke Islamic College di Padang, dan tamat pada tahun 1940. Selain menempuh berbagai jenjang pendidikan formal, Aisyah Dahlan juga pernah mengikuti berbagai kursus politik, pelatihan organisasi dan kepemimpinan, serta Academic Training Course. Modal pendidikan yang dimilikinya ini sangat menunjang berbagai aktifitasnya di kemudian hari.

Keluarga

Artikel berjudul: “KH Muhammad Dahlan, Ketua PBNU yang penuh inisiatif” (www.pustaka.Islam.net.web.id. 17 Juni 2006), menjelaskan bahwa Aisyah Dahlan menikah dengan KH. Muhammad Dahlan, Menteri Agama Republik Indonesia pada era Kabinet Pembangunan I (1967-1971). KH. Muhammad Dahlan ini juga merupakan salah seorang ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (NU), seorang tokoh yang berjasa mempelopori: pendirian organisasi Muslimat NU, pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Nasional, dan pendirian Perguruan Tinggi Ilmu al Qur’an (PTIQ). Hasil perkongsian hidup Aisyah Dahlan dengan K.H. Muhammad Dahlan dikarunia empat orang putra putri, yaitu: Dr. Aida Sofiati Dahlan, Hafiz Dahlan, Dian Dahlan, Hamdan Dahlan.

Perjalanan Karir

Aisyah Dahlan pernah berkiprah aktif sebagai pendidik pada Thawalib School di Padusunan, menjadi guru bantu (asisten guru) Tuanku Sidi Muhammad Husin. Kemudian, juga pernah tercatat menjadi guru di Sekolah Thawalib Putri di Padang. Setelah itu, Aisyah Dahlan pernah diangkat menjadi kepala sekolah Taman Pendidikan Islam di Air Bangis, Pasaman, Sumatera Barat. Ketika berhijrah ke Jakarta, ia menjadi dosen di Pondok Pesantren Luhur, dan Akademi Dakwah Istiqlal Jakarta, serta di Akademi Dakwah dan Publisitas Jakarta.

Aktifitas Dakwah Dan Politik

Aisyah Dahlan merupakan seorang aktifis pergerakan. Ia pernah memegang posisi sebagai ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Putri untuk wilayah Sumatera Barat dan Sumatra Tengah. Ia juga sangat aktif dalam kegiatan dakwah dan menjadi muballighah terkemuka, baik melalui mimbar dakwah maupun tulisan.

Dengan kapasitasnya sebagai istri dari Menteri Agama Republik Indonesia, semakin membuka pintu lebar untuk aktifitas dakwah dan politiknya. Pada tahun 1969-1971, ia mengkoordinir pendirian Ikatan Muallimah dan Muballighah (penceramah dan guru agama wanita), kemudian pada tahun 1980 memprakarsai berdirinya Himpunan Dakwah Muslimat Indonesia (NADWAH), sesuai dengan amanah Kongres X Muslimat NU di Semarang.

Selanjutnya, dalam kongres Muslimat NU tahun 1979 di Semarang, ia ditunjuk menjadi salah seorang ketua yang membidangi dakwah. Selama aktif di Muslimat NU, ia merintis berdirinya sekolah-sekolah di bawah naungan Muslimat NU.

Beberapa lembaga pendidikan yang didirikan dan dipimpinnya adalah lembaga pendidikan di lingkungan Istiqlal, seperti: TK, SD, dan Tsanawiyah Istiqlal, Taman Remaja Istiqlal, Perguruan Tinggi/Pesantren dan Akademi Dakwah Istiqlal, dan Pengajian Ibu-ibu Istiqlal. Puncak dari perjalanan karir Aisyah Dahlan adalah: ketika ia terpilih menjadi anggota Majlis Konstituante (Pembuat Undang Undang Dasar), dan Anggota Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada tahun 1966-1971.

Karyanya-karyanya

Aisyah Dahlan rupanya tidak hanya terkenal sebagai seorang aktifis dakwah dan politik saja. ternyata ia juga merupakan seorang penulis yang cukup produkti. Hal ini paling tidak tergambar dari beberapa karya tulis yang telah dihasilkannya, yaitu: Sejarah Lahirnya Muslimat NU di Indonesia (1955), Membina Rumah Tangga Bahagia (1969), Fatahillah dan Jayakarta (1970), Nabi Muhammad Saw. Rasul dan Pemimpin Ummat (1971), Membina Kehidupan Beragama dalam Keluarga (1973),  Menuju Keluarga Sejahtera Bahagia (1974), Wanita antara Monarche dan Monopouse (1978), Seratus Tahun Ibu Kartini(1979) - yang disusun bersama tokoh Muslimat NU lainnya -, Thawalib School Padusunan 55 Tahun (1985).

Penghargaan dari Pemerintah

Untuk menghargai peran dan keterlibatan Aisyah Dahlan dalam bidang penerangan dan pendirian dapur umum ketika terjadinya perang kemerdekaan, kemudian posisinya sebagai ketua GPII Putri Sumbar, dan perannya sebagai sekretaris Badan Pembantu Kecelakaan Korban Perang (BPKKP) selama masa pengungsian pada zaman Pemerintahan Darurat RI di Kota Tinggi Sumbar, maka ia dianugerahi “Piagam Penghargaan” sebagai eksponen Pejuang 45 oleh pemerintah Republik Indonesia. Aisyah Dahlan meninggal dan dikebumikan di Jakarta.

Demikian sekelumit narasi tentang kiprah Aisyah Dahlan ini disajikan. Walau apapun, narasi ini hanyalah sebuah permulaan, belum menyentuh secara menyeluruh mengenai kehidupan, kiprah dakwah dan politik Aisyah Dahlan. Ibarat gunung es di tengah lautan, narasi ini hanya baru menyentuh secuil puncaknya saja, belum mampu mengorek sampai ke dasar gunung es tersebut. Narasi ini hanya sekedar “mambantangan lapiak, ma ingek ingek an jikok talupo”, sebagai salah satu bentuk kecintaan anak nagari terhadap nagari tempat tumpah darah kelahiran. (*)
×
Berita Terbaru Update