Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

[Opini] Pilkada: Subjek Bully di Linimasa

16 April 2018 | 16.4.18 WIB Last Updated 2018-04-16T06:02:41Z
Oleh Oyong Liza Piliang
Pilkada Pariaman 2018 sejuk-sejuk saja di alam nyata. Beda betul di alam maya. Tiap hari ada saja perang opini antarpendukung, khususnya dari dua kandidat diunggulkan yakni Genius Mardison (Gema) versus Mahyuddin-Ridwan (Mari). Mereka paslon nomor urut 3 dan 1.

Pendukung paslon nomor urut 2 Dewi-Pabrisal lebih adem. Nyaris tanpa konflik (dunia maya) dengan dua paslon tersebut. Intensitas kampanye pendukung mereka di media sosial juga terbilang kecil jika dibandingkan dua rivalnya tersebut.

Rivalitas Gema dan Mari makin sengit saja dengan membawa-bawa sejumlah nama pejabat penting Pariaman dalam pusaran konflik. Bully-membully (penindasan) pemandangan sehari-hari di linimasa: khususnya di media sosial Facebook.

Di atas kertas dari survei beberapa lembaga, nyata memang paslon Gema dan Mari bersaing, tanpa mengabaikan paslon nomor urut 2---dengan waktu sekitar 51 hari lagi--siapa tahu bisa menjadi kuda hitam.

Yang agak unik dari pantauan kami di linimasa, aksi sindir dan kalimat satir mereka kemas pula dengan kreatif. Berupa lagu, sandiwara video dan menganonimkan nama tokoh tertentu.

Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny J.A. pernah menyatakan kepada media bahwa pemilihan kepala daerah serentak saat ini menuju politik yang memanfaatkan media sosial. Ibarat software dan aplikasi komputer, kata Deny, sudah terjadi pergeseran dari pilkada dan pemilu 1.0 menuju pilkada dan pemilu 2.0. Denny menyebutkan pilkada dan pemilu yang mengalami perkembangan lantaran peran media sosial sebagai media opini publik semakin intensif.

Dari data survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) menyatakan jumlah pengguna Internet di Indonesia tahun 2016 adalah 132,7 juta user atau sekitar 51,5% dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta. Hingga 2018 telah terjadi peningkatan sangat signifikan.

Pengguna internet terbanyak ada di pulau Jawa dengan total pengguna 86.339.350 user atau sekitar 65% dari total penggunan Internet. Kemajuan internet yang semakin merambah setiap insan memacu para calon kepala daerah memutar otak untuk menggapai para pendukung mereka salah satunya dengan media sosial. Mereka membentuk tim siber yang khusus berkampanye di linimasa sekaligus mematahkan isu negatif yang disasarkan kepadanya.

Setiap pengguna internet masing-masing memiliki akun media sosial. Media sosial yang menjadi pusat berkumpulnya manusia dari segala penjuru dunia membuat jarak tidak menjadi masalah untuk menjalin hubungan termasuk untuk menyampaikan kampanye. 
Namun dalam riset tersebut, kemajuan teknologi tak jarang pula mengakibatkan perpecahan antar kubu yang satu dengan kubu yang lain. Dukungan yang diberikan masyarakat kepada calon unggulannya terkadang kelewat batas seperti memberikan berita palsu dan hoaks.

Indonesia sebagai negara yang peka terhadap media sosial dengan data yang dikumpulkan oleh Global Web Index 2015, menunjukkan bahwa pengguna Indonesia masih menjadi jawara media sosial di tahun 2014 karena tingginya angka kepemilikan akun media sosial. Hingga kini 2018 pun masih belum bergeser.

Menurut data tersebut Indonesia memimpin persentase pengguna media sosial untuk facebook, twitter, dan google+. Disebutkan bahwa 96% pengguna internet di Indonesia memiliki akun facebook, 84% memiliki akun twitter dan 83% memiliki akun google+. Tidak ada negara lain di dunia yang sedominan Indonesia untuk hal persentase kepemilikan akun media sosial terhadap jumlah pengguna internet .

Hal inilah yang menjadi tolak ukur para calon kepala daerah yang tak mau ambil pusing mengenai sosialisasi visi dan misi mereka untuk mencapai kursi nomor satu. Dengan sekali klik, visi dan misi telah sampai ke ujung Indonesia bahkan ke luar negeri: dengan sekali klik pula banyak orang terpengaruh.

Ranah politik Indonesia semakin menegangkan seiring berjalannya waktu, contohnya  pemilihan kepala daerah DKI Jakarta pada 2017 lalu. Perebutan kursi nomor satu sejakarta ini merupakan pilkada yang paling bersejarah: media sosial dipenuhi berbagai opini politik, dan sampah hoaks.

Masyarakat yang menggantungkan sumber informasinya dari layar smartphone dan layar laptop yang merupkan kalangan terdidik, terbiasa mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Mereka adalah sosial influencer yang bisa mempengaruhi tidak hanya di lingkungan onlinenya saja, tapi juga di lingkungan offlinenya.

Percakapan di media sosial yang diwarnai oleh isu positif dan negatif selama masa kampanye: di antaranya kegiatan kampanye dengan menampilkan keunggulan paslon dan menindas paslon lain. Bisa berupa kalimat, meme, hingga video satir.

Untuk Pilkada Pariaman, akan sering kita melihat para pendukung mempublikasikan kegiatan calon yang didukungnya dengan capture positif. Sedangkan untuk menindas lawan politik yang didukungnya dengan menampilkan foto dibumbui capture satir dengan tujuan menggiring opini ke arah negatif. Kian masif saat diviralkan oleh sesama pasukan siber.

Para pendukung paslon di dunia maya juga saling curiga. Antar kubu saling mengklaim melakukan kampanye sehat di banding pendukung paslon lainnya. Saling tuduh dan mengklaim mereka hanya sebagai pembela calon yang didukungnya saat diserang kampanye hitam.

Dalam era revolusi digital saat ini, para paslon dan tokoh sentral politik, siap-siap tebal muka dan telinga. Mereka akan terus menjadi subjek serangan kampanye oleh lawan politik di dunia maya. Olok-olok terhadap mereka baru akan mereda setelah pilkada usai dan KPU telah menentukan siapa pemenangnya. (***)
×
Berita Terbaru Update