Oleh Oyong Liza Piliang
Pariamantoday – #Sketsa - Pagi itu, 17 Juni 2025, Sungai Batang Anai tak hanya membawa arus air dari hulu. Ia membawa fragmen peradaban yang terburai. Potongan tubuh seorang perempuan muda--tanpa kepala, tangan, kaki, dan alat kelamin--mengapung seperti pesan gelap dari dasar hati umat manusia. Ini bukan korban banjir. Bukan korban perang. Ini adalah hasil kerja tangan manusia yang mengenal sopan santun, menyapa tetangga, dan menyeduh kopi seperti kita semua.
Tubuh itu milik SA, 25 tahun. Penemuan tragis ini menjadi pembuka dari serangkaian pengungkapan cepat yang mengerucut hanya dalam 48 jam ke satu nama: Wanda. Pria muda, tampak lemah lembut, jarang berbicara kasar, dan kerap membantu tetangga. Ia tidak terlihat berbahaya. Tapi di balik senyumnya, tersembunyi sesuatu yang dunia ini sudah lama takutkan--kegelapan yang menyamar sebagai cahaya.
Dalam interogasi awal, Wanda tidak hanya mengakui pembunuhan SA, tapi juga mengarahkan penyidik ke dua korban lain: Chika dan Adek, dua perempuan muda yang selama ini dinyatakan hilang tanpa jejak. Lokasi jasad mereka ditemukan di dalam sumur tua di belakang rumah Wanda--sumur yang disemen rapi, seolah ditujukan bukan untuk menyembunyikan jenazah, tapi untuk mengubur jejak nurani.
Tak ada tangisan. Tak ada penyesalan. Hanya ketenangan yang menusuk. Wanda menjelaskan pembunuhannya seolah ia sedang menceritakan resep masakan. Seolah ia sedang membicarakan cuaca. Dan yang lebih menyeramkan: ia tidak menjauh dari duka, ia memeluknya. Ia menemani keluarga korban. Ia duduk di ruang duka, menghibur. Ia menggenggam tangan ibu Chika--perempuan yang akhirnya wafat karena kenyataan tak bisa lagi ditanggung: bahwa putrinya dikubur oleh seseorang yang pernah ia anggap seperti anak sendiri, memberi adik Chika THR tiap lebaran.
Wanda adalah bayangan dari kejahatan yang tidak meledak, melainkan membusuk pelan di dalam masyarakat yang tak menyadarinya. Ia bukan makhluk liar. Ia bukan korban masa kecil yang getir. Ia adalah seseorang yang lahir dalam lingkungan stabil, berpendidikan, dan diterima. Wanda adalah anomali berbahaya: seseorang yang sadar akan pilihan moral--namun memilih yang salah.
Beberapa psikolog menyebutnya sebagai psikopat fungsional. Label psikopat terlalu sempit untuk menggambarkan horor tertentu. Beberapa orang melampaui kategori. Mereka adalah lukisan gelap dari spesies kita sendiri.
Dan Brown, dalam novelnya, sering menggambarkan antagonis yang bukan monster bertaring, tapi manusia dengan pemikiran sistematis. Seperti Silas dalam The Da Vinci Code, atau Mal'akh dalam The Lost Symbol--mereka membunuh dengan keyakinan, dengan rencana, bahkan dengan iman. Wanda serupa. Ia bukan hewan buas yang tersesat. Ia adalah manusia yang tahu persis arah langkahnya, dan memilih jalan tergelap.
Kasus Wanda mengingatkan kita pada figur-figur kelam dalam sejarah kriminal dunia: Ted Bundy, tampan, cerdas, lulusan hukum--membunuh lebih dari 30 perempuan dan tetap menawan saat diwawancara.
Andrei Chikatilo, guru sekolah dari Uni Soviet, yang membunuh puluhan anak-anak dan perempuan dengan metode yang begitu sadis hingga membuat penyidik trauma.
John Wayne Gacy, dikenal sebagai badut yang menghibur anak-anak, ternyata menyimpan mayat lebih dari 30 remaja di bawah rumahnya. Dennis Rader (BTK Killer), anggota gereja, pengurus komunitas, dan ayah dua anak--yang membunuh dengan kode: Bind, Torture, Kill.
Semua mereka--seperti Wanda--tidak menampakkan wajah jahatnya di siang hari. Mereka hadir di ruang ibadah, di ruang kelas, dan dalam doa. Mereka adalah bukti bahwa monster sesungguhnya tidak selalu bertanduk dan berlendir. Kadang ia berpakaian rapi dan menawarkan kopi.
Dan inilah paradoks terbesar dalam tragedi Wanda: bahwa ia bisa menyelinap masuk ke ruang paling suci--keluarga, duka, keyakinan--dan menyulapnya menjadi panggung pembantaian. Ia tidak hanya merampas nyawa. Ia mempermainkan harapan. Ia menyayat kepercayaan.
Di dunia yang kerap memuja netralitas, tulisan ini berdiri dengan tegas: berpihak pada korban. Tidak ada netralitas dalam kebengisan. Tidak ada relativisme dalam pembunuhan berdarah dingin. Netralitas, dalam kasus semacam ini, hanyalah bentuk lain dari kolusi diam.
Lapisan Rahasia Pengakuan Wanda
Sumur tua tempat jasad dikubur bukan hanya lokasi kejahatan. Ia adalah simbol. Bahwa manusia mampu menyimpan kegelapan terdalamnya di tempat yang paling sederhana--di belakang rumah. Di balik pagar. Di balik senyum.
Pengakuan Wanda, meski dingin dan terstruktur, menyimpan sesuatu yang janggal. Ia menyebut SA dibunuh karena utang Rp 3,5 juta. Chika, katanya, dibunuh karena kecemburuan. Dan Adek--karena menghasut Chika untuk meninggalkannya. Terlihat jelas. Terlalu jelas. Seolah Wanda ingin cerita ini tampak sederhana--bahwa ia hanyalah pria muda yang dipicu emosi dan pengkhianatan.
Tapi apakah benar semudah itu?
Bagi yang mendalami kasus ini akan menemukan retakan dalam narasi Wanda. Motif finansial tampak lemah. Rp 3,5 juta bukan jumlah yang cukup untuk membunuh seseorang--terlebih jika korban adalah seseorang yang dikenal, bahkan mungkin memiliki ikatan batin. Wanda tidak dalam tekanan ekonomi ekstrem. Ia bukan pemuda yang terlilit utang dari rentenir brutal. Ia hidup cukup tenang. Jadi kenapa SA harus dibunuh sementara cincin emas--yang sekarang mahal--tidak diambilnya?
Lalu Chika. Benarkah ia pacar Wanda? Atau hanya obsesinya? Beberapa informasi menyebut hubungan mereka tidak pernah terkonfirmasi sebagai hubungan sepasang kekasih. Wanda sering membicarakan Chika, tapi Chika sendiri jarang menyebut namanya. Bisa jadi Wanda membangun narasi cinta satu arah, dan saat Chika menolak, ia merasa dikhianati. Atau lebih mengerikan: ia merasa berhak atas tubuh dan kehidupan Chika--dan saat hak itu tak diakui, ia merenggutnya dengan kekerasan.
Dan Adek? Hanya karena “menghasut” Chika? Itu terlalu tipis sebagai alasan membunuh. Tapi jika kita membaca ulang jalur relasi ketiga korban--ada benang merah yang lebih mencemaskan: ketiganya saling mengenal. Mereka tinggal di lingkungan yang berdekatan. Mereka pernah terlihat bersama.
Ini membuka kemungkinan lain: bahwa SA mengetahui hubungan tersembunyi Wanda dengan Chika, atau bahkan mengetahui sisi gelap Wanda yang belum muncul ke permukaan. Bisa jadi SA tidak hanya berutang, tapi menjadi saksi dari sesuatu yang Wanda sembunyikan mati-matian. Dan dalam dunia pembunuh berantai, menjaga rahasia seringkali lebih penting daripada menjaga nyawa.
Begitulah pola yang juga ditemukan dalam kasus Dennis Rader--BTK Killer--yang membunuh bukan hanya karena dorongan sesaat, tapi karena takut identitas dan sisi gelapnya terbongkar. Dalam pengakuannya yang kemudian hari direvisi, Rader kerap menyederhanakan motifnya, seolah semuanya sekadar karena “dorongan tak tertahankan”. Padahal kebenaran jauh lebih dalam--dan lebih gelap.
Apakah Wanda sedang menyederhanakan kenyataan agar terlihat “terlalu manusiawi”?
Ada sesuatu dalam pengakuan Wanda yang justru terasa teratur--terlalu terstruktur untuk sebuah aksi brutal. Ia membunuh, lalu menyusun alasan, seolah menyusun naskah untuk film dokumenter. Tapi korban tidak butuh dokumentasi. Mereka butuh keadilan. Dan keadilan bukan hanya menanyai Wanda mengapa, tapi mengapa yang sebenarnya.
Psikopat sering kali tidak berkata jujur--bukan karena takut dihukum, tapi karena mereka menikmati permainan persepsi. Mereka ingin menciptakan versi mereka sendiri tentang kenyataan. Mereka ingin mengendalikan narasi, bahkan dari balik jeruji.
Dan kita yang hidup di luar sumur tua itu--tidak boleh terjebak dalam narasi palsu. Kita tidak boleh berhenti bertanya. Bisa jadi Wanda tidak hanya menyembunyikan tubuh. Ia menyembunyikan motif sebenarnya. Ia menyembunyikan rahasia.
Apa yang Wanda takut SA bocorkan?
Apa sebenarnya hubungan Chika dengan dia?
Dan mengapa Adek--yang seharusnya hanya seorang teman--harus ikut dikubur?
Mungkin, seperti yang ditulis Dan Brown dalam The Lost Symbol--“The human mind is a strange place... most terrifying when it believes it is right.”
Dan Wanda, dalam pikirannya sendiri, mungkin percaya bahwa ia tidak bersalah. Bahwa semua ini adalah reaksi dari pengkhianatan, bukan keputusan predator.
Tapi sejarah telah menunjukkan--dari Ted Bundy hingga Charles Manson--bahwa pembunuh berantai tidak membunuh karena dipicu. Mereka membunuh karena mereka bisa. Dan karena mereka terbiasa menikmati kegelapan yang hanya mereka pahami sendiri.
Sumur tua itu--masih menyimpan lebih dari sekedar jasad. Ia menyimpan misteri yang belum selesai. Dan hingga kebenaran utuh terungkap, kita semua hanya bisa bertanya dalam hati: berapa banyak rahasia yang Wanda sembunyikan di balik senyumnya?
Karena dalam dunia tempat kegelapan bisa menyamar sebagai ketulusan, satu-satunya pelita adalah pertanyaan yang tidak berhenti diajukan.
Dan Wanda--bukan hanya sebuah nama, tapi peringatan: bahwa terkadang, iblis tidak datang dengan tanduk. Ia datang dengan sopan santun. (*)