Oleh: Oyong Liza Piliang
Pariamantoday - #Cerpen - Aprinaldi menatap langit Moskwa yang beku. Di depannya, sebuah stadion mutakhir dibangun dalam waktu sembilan bulan atas nama kerjasama antarbangsa. Di dinding aula utama, sebuah kaligrafi digital bertuliskan aksara Kiril bercampur aksara Jawi:
"Спорт как молитва" - Olahraga adalah doa.
**
Kampung Dalam Padang Pariaman, 2036.
Tanpa iring-iringan sirine, tanpa pengawalan yang biasanya menyibak jalanan, mobil dinas Menpora itu berhenti pelan di tikungan sunyi. Di sanalah kampung itu memeluk pagi--dengan jangkrik yang berzikir dan embun yang menggigil di ujung daun.
Ia turun perlahan. Jaket lusuh menempel di tubuhnya, menggantikan seragam kementerian yang biasa dikenakan di gedung-gedung megah. Di kepalanya, topi pramuka tua--warisan masa remaja--masih setia menutupi uban yang mulai berani menyapa. Di belakangnya, Yona berjalan tenang, menggandeng tangan anak perempuan mereka, Bianca--mahasiswi kedokteran yang membawa setangkai mawar merah, seperti membawa doa yang belum sempat diucapkan.
Aprinaldi melangkah pelan, seolah setiap jejak adalah bait puisi bagi tanah yang membesarkannya. Di hadapannya, makam itu masih terawat--Syahnidar, nama yang diukirnya sendiri pada batu kapur saat usianya belum genap lima belas. Rerumputan liar tumbuh di sekitarnya, liar tapi lembut, seperti kenangan yang enggan pergi.
Ia berlutut. Bibirnya menyentuh nisan. Diam. Lama.
Lalu, dari tenggorokan yang menyimpan terlalu banyak kata, keluarlah suara lirih--patah-patah seperti benang layang-layang yang putus ditiup angin sore:
“Bu… Dunia akhirnya menoleh ke kampung kita… Tapi aku masih merasa seperti anak kampung yang cuma menumpang hidup di bengkel orang…”
Nafasnya tercekat. Suaranya pecah:
“Ibu tahu? Anakmu bukan menang… Anakmu cuma... menolak kalah…”
Ia memeluk nisan itu--erat, seperti anak kecil yang baru saja kehilangan arah. Tubuhnya bergetar, bukan karena angin pagi atau rinai hujan, tapi karena luka yang belum sempat sembuh: luka kehilangan seorang ibu, sebelum sempat menghadiahkannya cinta dalam bentuk prestasi.
“Kalau waktu bisa dibeli, saya hanya ingin satu jam saja… Satu jam… untuk bilang: Ibu, anakmu tidak sia-sia…”
Yona mendekap punggung suaminya, perlahan, seperti ingin menyanggah langit yang nyaris runtuh. Bianca menunduk, dan dengan hati-hati meletakkan bunga mawar di sisi nisan--bunga yang tak hanya wangi, tapi juga menyimpan seluruh rindu dari darah yang diwariskan
**
Tahun 2034. Dunia mencatatnya dengan tinta emas yang bergetar. Indonesia--yang selama ini hanya jadi catatan kaki dalam sejarah sepak bola Asia--akhirnya berdiri gagah di podium tertinggi. Di final yang menegangkan, Garuda menundukkan Jepang dengan sundulan dramatis pada menit ke-119, sebuah loncatan dari tanah luka ke langit mimpi.
Stadion bergemuruh. Ribuan bendera merah-putih berkibar seperti doa yang dikabulkan. Di luar negeri, BBC menulisnya dengan tajuk mengejutkan: "The Awakening of the Equator Giant". Dunia terdiam--bukan karena tidak percaya, tapi karena akhirnya mereka harus mengakui: raksasa itu telah bangun dari tidur panjangnya.
Namun, di malam kemenangan itu, ketika kembang api mencakar langit dan sorakan mengguncang bumi, Aprinaldi memilih duduk sendirian di lorong lengang stadion. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada kamera. Tak satu pun wartawan memburunya. Yang terdengar hanyalah gema langkah sepatunya--beradu pelan dengan lantai marmer yang ia desain sendiri bertahun lalu, sebagai simbol “lintasan takdir.”
Di balik sorot lampu yang memuja pahlawan di lapangan, ada satu jiwa yang menyepi. Ia tidak mencari pujian, tidak mengejar mahkota. Karena bagi Aprinaldi, kemenangan sejati bukanlah trofi di atas podium, tapi keheningan jujur setelah perjuangan panjang, ketika seseorang bisa berkata kepada dirinya sendiri: Aku tidak lari.
Malam itu, di lorong sunyi yang dingin, sejarah sedang menunduk menghormati seorang lelaki yang tak butuh sorotan--karena ia telah menjadikan hidupnya sendiri sebagai panggung keabadian.
**
MOSKWA
Presiden Rusia, Ekaterina Vladimirovna Putin--perempuan berusia 43 tahun, berdarah baja--menerima Aprinaldi dalam ruang konferensi tertutup di Kremlin. Langit Moskow di luar jendela tampak kelabu, seperti menyimpan rahasia musim yang enggan berganti.
Ekaterina berdiri, tubuh tegap dalam balutan mantel putih diplomatik, suaranya tenang namun tajam seperti pahatan es di Sungai Volga.
“Mr. Minister Aprinaldi,” katanya dengan jeda yang disengaja, “kami ingin Rusia menjadi sister country bagi Indonesia dalam seluruh cabang olahraga. Kami akan membangun pusat pelatihan gulat kelas dunia di Jayapura… dan pusat senam artistik unggulan di Tomsk. Ini bukan hanya investasi. Ini simbiosis dua kekuatan dunia--dari khatulistiwa ke kutub utara.”
Aprinaldi mengangguk. Tubuhnya diam, tapi pikirannya bergerak cepat. Ia paham betul--ini lebih dari sekadar MoU. Lebih dari pita peresmian dan kamera pers. Ini adalah pesan halus yang bergema di antara dua benua: sebuah strategi menyatukan geopolitik melalui saraf dan otot manusia.
Karena olahraga, dalam hakikat terdalamnya, adalah bahasa perdamaian. Ia mengalihkan peluru menjadi peluit, menyulam konflik menjadi kompetisi. Di arena, manusia berhenti menembak dan mulai berlomba. Mereka tidak lagi mengukur kekuasaan lewat senjata, tetapi lewat daya tahan, presisi, dan kerja sama.
Dan dalam sekejap yang sunyi di Kremlin itu, Aprinaldi menyadari masa depan dunia mungkin tidak akan dibentuk oleh senat atau senapan, tapi oleh stadion olahraga.
**
Di ruang kerjanya di Kemenpora, Aprinaldi tidak memajang piagam kehormatan atau foto bersama para kepala negara. Ia memilih menggantung tiga benda sederhana di dinding kayu jati yang senyap, seolah menjadikannya altar kecil bagi ingatan dan tujuan.
Pertama, sebuah baju Pramuka dari tahun 2000--kusut, pudar, dan sobek di bahu. Baju itu pernah menemaninya berjalan kaki puluhan kilometer saat lomba ketangkasan yang hujannya tak kunjung reda. Bukan hanya kain, tapi kenangan akan disiplin, lapar, dan keteguhan di tengah derasnya ejekan.
Kedua, potret ibunya--Syahnidar--duduk di pematang sawah, senyumnya redup namun dalam. Tatapannya mengarah ke kamera, tapi jiwanya jelas sedang mengembara--mungkin sedang menghitung harga beras atau mengingat doa yang belum terkabul.
Ketiga, sepasang sepatu bola usang--bekas dipakai oleh pemain termuda Timnas saat laga semifinal Piala Asia. Solnya sudah terkikis, warna merah-putihnya memudar, tapi masih mengandung percikan semangat seorang anak yang berani bermimpi lebih besar dari tribun yang menyaksikannya.
Setiap benda itu adalah mantra. Bukan sekadar hiasan, tapi jimat batin yang mengikatnya pada tanah, langit, dan darahnya sendiri.
Dan Aprinaldi… hidup dalam mantra-mantra itu. Ia tidak duduk di kursi menteri--ia bertapa. Ia tidak bekerja--ia menebus janji. Setiap keputusan yang ia buat, lahir dari gesekan antara luka lama dan harapan yang belum mati.
Di balik meja kebijakan, ia tetap bocah Pramuka yang menolak menyerah, anak petani yang rindu ibu, dan pelatih bayangan dari generasi yang ia percayai mampu menulis sejarah dengan keringat--bukan tinta.
**
Tahun 2037 sepakbola Indonesia melangkah ke Piala Dunia bukan sebagai pelengkap cerita, tapi sebagai hasil dari kerja panjang seperti akar yang tak terlihat, namun menopang pohon besar dalam badai.
Di tahun yang sama, Jakarta menjadi tuan rumah World Sports and Peace Congress, sebuah ajang prestisius di mana dunia tak lagi bicara soal senjata dan kekuasaan, tapi tentang tubuh manusia yang berlaga untuk kehormatan dan persaudaraan. Stadion-stadion tak lagi jadi proyek pamer, tapi ruang tumbuh yang nyata. Di lorong-lorongnya, harapan berjalan kaki, dan mimpi anak-anak desa menggantung di tiang gawang.
Bangka Belitung menjelma jadi ikon sport tourism. Anak-anaknya tak lagi hanya berenang di muara dan menendang bola dari kelapa muda, mereka kini bicara soal teknik, nutrisi, dan jadwal latihan. Akademi berdiri. Bola tidak lagi hanya bulat; ia punya arah.
Lalu dunia bertanya:
“Bagaimana Indonesia bisa berubah?”
Bukan lewat revolusi. Bukan karena investor besar. Tapi karena seseorang memilih bekerja di jalan yang tak ditapaki banyak orang.
Namanya Aprinaldi.
Ia bukan tokoh dari klan elit atau pewaris kekuasaan. Ia datang dari kampung yang dilupakan peta. Tapi ia membawa sesuatu yang tak mudah dibeli: konsistensi.
Ia tak punya tongkat komando, hanya keyakinan dan catatan lusuh tentang apa yang perlu dibenahi dari dasar. Ia tak gembar-gembor di forum, tapi hadir di tengah hujan, menonton pertandingan usia 12 tahun dengan mata yang sama tajamnya saat menyaksikan final Asia.
Ia memperbaiki bukan sistem dulu, tapi cara berpikir: bahwa olahraga bukan panggung ego, tapi arena pembentukan karakter.
Bahwa prestasi lahir bukan dari jalan pintas, tapi dari proses yang dipelihara seperti sawah: ditanami, ditunggu, disyukuri.
Dan saat dunia menyebut namanya dengan kekaguman, ia hanya menunduk--seperti biasa.
Sebab dalam hatinya, satu hal tetap tak berubah, ia bukan ingin jadi tokoh besar. Ia hanya tak ingin menyerah.
Bukan ingin dikenang, tapi ingin memastikan bahwa anak-anak dari kampung-kampung tak harus menunggu keajaiban, cukup diberi kesempatan.
Dan dari situlah segalanya bermula.
Dari denyut kesungguhan.
Dari integritas yang tak bisa ditawar.
Dari satu orang yang tak mengejar sorotan…
**
Tahun 2036. Presiden Rusia, Ekaterina Vladimirovna Putin, menginjakkan kaki di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Elegansi aristokrat dan kekuatan militer yang terselubung di balik senyum diplomatiknya, Ekaterina--putri dari Vladimir Putin--disambut langsung oleh Presiden Anies Baswedan.
"Selamat datang di Indonesia, Ibu Presiden," sapa Anies dalam bahasa Rusia yang fasih.
Namun semua mata dunia tidak hanya tertuju kepada pertemuan dua kepala negara itu. Mereka menanti sosok yang berdiri setengah langkah di belakang Anies: Aprinaldi. Dengan setelan jas biru dongker dan pin Garuda Emas di dada, mantan bocah sawah dari Kampung Dalam itu kini berdiri di panggung global.
Ekaterina menoleh, menjabat tangan Aprinaldi. Tatapan matanya tajam, penuh pengujian. "Tuan Menteri Aprinaldi, Anda telah menjadikan Indonesia pusat gravitasi baru dalam olahraga dunia. Kami ingin Rusia menjadi saudara di jalur ini."
Aprinaldi menunduk hormat. "Terima kasih, Presiden. Tapi sebelum kita bicara tentang kolaborasi, izinkan saya mengajak Anda menyaksikan Indonesia dengan cara yang berbeda."
Hari-hari berikutnya menjadi bab diplomasi olahraga yang tak pernah tercatat dalam buku teks. Ekaterina diajak menonton pertandingan Liga 1 antara Semen Padang vs Bali United di stadion megah yang berdiri di kaki Gunung Marapi. Dalam satu sorotan kamera, tampak Ekaterina tersenyum dan bertepuk tangan, bukan untuk politik, tetapi untuk gol indah anak kampung dari Pesisir Selatan.
Dalam jamuan makan malam kenegaraan di Istana Bogor, Aprinaldi berdiri dan menyampaikan pidato yang memadukan adat Minang, filosofi olahraga, dan geopolitik masa depan.
"Olahraga bukan hanya kompetisi. Ia adalah bahasa, budaya, bahkan ekonomi. Bila politik memecah, olahraga menyatukan. Jika Barat dan Timur bertengkar soal senjata, biarkan Selatan dan Utara berdamai lewat stadion."
Anies menepuk pundaknya. "Itulah kenapa kamu ada di sini, Aprinaldi. Bukan cuma karena kamu juara, tapi karena kau tahu makna juara."
Malam itu, sebuah MoU ditandatangani: "Pakta Sport Diplomacy 2036" Indonesia dan Rusia akan membangun pusat pelatihan bersama di Siberia dan Papua. Atlet akan saling tukar. Teknologi sport science akan dikembangkan bersama. Indonesia akan menjadi tuan rumah Olimpiade Remaja Dunia 2040 bersama Rusia.
**
Malam itu, sepulang dari Istana, Aprinaldi duduk sendiri di balkon rumah dinas. Jakarta membentang di kejauhan, gemerlapnya seperti gugusan bintang yang jatuh ke bumi. Tapi langit di atasnya gelap. Tanpa bintang. Tanpa bulan.
Ia menatap langit yang kosong, seperti mencari arah dalam dirinya sendiri--arah yang dulu begitu terang saat semua masih sederhana: saat mimpi hanya soal olahraga, bukan kekuasaan.
Yona datang tanpa suara, membawa secangkir kopi hitam Mak Aciak dari Padang Pariaman. Aromanya menusuk kenangan--tentang pagi-pagi di surau, tawa ibu di dapur, dan peluh masa kecil yang belum mengenal politik.
Aprinaldi menerima cangkir itu, tapi tak segera meminumnya.
"Adik tahu," suaranya pelan, nyaris seperti gumaman, "Kakak takut. Takut saat semua ini berubah arah. Tak lagi tentang mimpi anak-anak di lapangan tanah, tapi jadi alat kekuasaan. Jadi panggung bagi mereka yang pandai bicara, bukan yang mau berjuang."
Yona duduk di sebelahnya. Tak menjawab segera. Ia hanya menggenggam tangan suaminya-+erat, tenang, seperti akar yang tak pernah meninggalkan tanahnya.
"Selama Kakak ingat siapa Ibu, siapa Pat, dan siapa anak-anak kita," bisiknya lembut, "Kakak tidak akan tersesat. Kakak bukan milik kekuasaan, Aprinaldi milik tanah yang melahirkannya."
Aprinaldi menarik napas panjang. Matanya masih terpaku ke langit yang gelap, tapi hatinya seolah menatap ke dalam--ke tempat paling sunyi, tempat di mana tekad dan ketakutan saling beradu.
"Doakan Kakak tetap kuat, Yona," ujarnya akhirnya. "Sebab Kakak merasa... badai belum berlalu. Ia hanya sedang menunggu."
Dan malam pun larut dalam diam.
Bukan diam yang kosong, tapi diam yang mengandung gema--dari seorang lelaki yang tahu: kadang, pertarungan sejati bukan di lapangan, bukan di forum dunia... tapi dalam menjaga hati agar tetap jujur kepada asal-usulnya.
**
November 2037. Aula Agung Universitas Negeri Padang diselimuti cahaya senja yang menembus jendela-jendela kaca patri. Warna-warnanya merambat pelan di dinding, seperti kenangan yang kembali dari perjalanan panjang. Cahaya itu jatuh di lantai marmer, membentuk pola yang tak bisa dilukis ulang.
Di dalam aula, waktu seakan melambat, membungkuk--memberi hormat kepada nama-nama yang telah mengukir jejak dengan kesungguhan dan kesetiaan. Mereka yang datang bukan untuk dikenang, tapi untuk mengingatkan: bahwa perubahan besar lahir dari langkah kecil yang tak pernah berhenti.
Bangku-bangku dipenuhi wajah-wajah yang menyimpan cerita: para guru, aktivis, pelatih, dan anak-anak muda yang dulu berlari di lapangan tanpa sepatu, kini berdiri dengan kepala tegak. Di layar besar, muncul gambar hitam-putih seorang lelaki dengan jaket lusuh dan topi pramuka: Aprinaldi.
Para hadirin--pejabat, cendekiawan, mahasiswa, alumni--berdiri dalam diam. Di antara mereka, Gubernur Sumatra Barat, Yota Balad, Bupati Padang Pariaman, Fadil Ali Mukhni dan Walikota Pariaman, Mulyadi, duduk khidmat. Sorotan mata seluruh ruangan hanya tertuju pada satu sosok: Aprinaldi.
**
Aprinaldi berdiri di podium. Tapi malam itu, panggung kecil itu menjelma seperti altar, tempat luka-luka lama menyerahkan dirinya kepada cahaya. Batik Sampan membalut tubuhnya seperti selimut warisan yang menyimpan dingin masa lalu--corak akar dan daun, menggambarkan hidup yang terus menggali dan bertumbuh, meski tanahnya sering terlalu keras untuk ditanami mimpi.
Ia menarik napas seperti seseorang yang hendak menyelam ke masa silam--dan barangkali, memang itulah yang terjadi. Ia menatap langit-langit aula, bukan untuk mencari inspirasi, tapi untuk bertanya dengan lirih: apakah semua ini sungguh telah ia lalui? Dan saat mulutnya terbuka, suara yang keluar bukan sekadar kata, tapi fragmen luka yang dipahat waktu.
“Saya lahir di kampung kecil, di antara pematang sawah yang selalu pasrah pada musim. Ibu saya meninggal saat saya kelas dua SMP. Sejak hari itu, ayah saya lebih banyak diam. Dan saya... saya belajar berbicara hanya pada langit. Karena di bumi, tak ada lagi tempat untuk bersandar.”
Kata-katanya menggantung di udara, seperti bau tanah basah yang tak mudah hilang dari ingatan. Aula sunyi. Bahkan detak jam terasa seperti jerit dari masa lalu.
“Kami enam bersaudara. Saya nomor lima. Kakak-kakak merantau, dan saya tinggal dengan adik perempuan saya, Pat. Kami berbagi nasi seperti berbagi takdir. Kadang kami hanya punya satu telur kecil, dibagi dua, lalu kami tertawa... entah karena kenyang atau karena sudah terlalu lapar untuk menangis.”
Beberapa mahasiswa mulai tertunduk. Tak sanggup lagi menyembunyikan isakan. Air mata tak lagi bisa disangkal ketika kebenaran menyentuh terlalu dalam.
“Saya mencangkul sawah setiap subuh. Siangnya saya ke sekolah. Sore saya bantu bibi mengupas kelapa. Saya menabung bukan untuk membeli sepatu baru, tapi untuk menjaga satu hal yang paling mahal: harapan.”
Ia berhenti. Menelan air mata yang hampir tumpah dari luka-luka lama.
“Di kampus ini, saya tidur di lantai bengkel las. Saya pernah makan setengah telur selama enam hari berturut-turut. Tapi saya tidak pernah merasa miskin. Karena setiap malam, Yona--yang sekarang jadi istri saya--mengirim satu kata lewat SMS: bertahan. Hanya itu. Tapi itu lebih dari cukup untuk mengalahkan gelap.”
Tawa kecil menyelusup, tapi cepat tenggelam dalam kesunyian yang mendalam. Seperti riak kecil di danau duka.
“Ketika saya pulang ke kampung, saya berdiri di depan makam ibu saya. Bau tanahnya masih sama. Langitnya pun tak berubah. Saya berjanji: tanah ini tidak akan dikenang karena kemiskinannya. Ia akan dikenang karena martabatnya.
Tangis terdengar jelas dari kursi belakang. Bahkan pejabat yang biasanya dingin mulai mengusap matanya, malu-malu.
“Indonesia mungkin bangga pada atletnya yang menang. Tapi bagi saya, kemenangan sesungguhnya adalah ketika anak petani berdiri di podium dunia... dan masih ingat siapa yang menyiangi ladang impiannya.”
Ia menunduk. Lama. Lalu suara terakhirnya keluar seperti bisikan dari luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
“Saya tak punya tato. Tapi luka di tubuh saya lebih abadi. Luka cangkul. Luka lapar. Luka ditertawakan. Tapi luka-luka itu menumbuhkan daging baru: daging tekad, daging sabar, dan daging cinta pada tanah air ini.”
Ia memandang wajah-wajah muda di hadapannya. Di matanya, mereka bukan sekadar mahasiswa. Mereka adalah versi dirinya yang lain--yang belum lelah, yang belum runtuh.
“Kalian tak harus jadi saya. Tapi jadilah jiwa yang jujur. Karena negeri ini tak dibangun oleh orang besar. Negeri ini tumbuh dari kesakitan orang kecil... yang memilih untuk tidak menyerah.”
Dan malam itu, tidak ada tepuk tangan. Hanya keheningan. Karena seluruh hadirin sedang sibuk menahan air mata yang memaksa keluar--bukan karena lemah, tapi karena akhirnya mereka merasa dilihat. Dipahami. Dihibur oleh sebuah kesedihan yang sangat manusiawi.
Aprinaldi berdiri sebentar, lalu menutup pidatonya dengan kalimat yang bukan sekadar penutup, melainkan doa:
“Jika tanah ini masih bisa melahirkan anak-anak seperti kita, maka langit pun tak akan kehabisan cahaya.” (*)