Para awak media saat melakukan wawancara dengan Kakanwil Kemenkumham Sumbar Dwi Prasetyo di Lapas II B Pariaman. Foto/istimewa/minangkabaunews/Warman |
Dwi yang melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Lapas Klas II B Pariaman pada Senin malam (23/7), wajar mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari wartawan - karena memang isu longgarnya pengawasan di Lapas - sedang menjadi sorotan publik pasca OTT-nya Kepala Lapas Suka Miskin oleh KPK.
Profesi wartawan sebagaimana diketahui punya payung UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers - acap disebut pilar keempatnya demokrasi. Wartawan selain melakukan peliputan sesuai fakta yang ada, juga memiliki tanggungjawab dan keberpihakan kepada masyarakat luas. Wartawan mesti menggali sedalam mungkin sumber informasi guna disampaikan kepada publik - tanpa perlu menutup-nutupi atau memihak kepada pihak tertentu. Wartawan harus bisa menjawab rasa keingintahuan publik.
Ihwal pertanyaan wartawan tentang Lapas Pariaman yang melebihi kapasitas dari seharusnya, bukanlah pertanyaan yang luarbiasa. Pertanyaan tersebut belum masuk dalam ranah investigasi report karena datanya bersifat terbuka. Bukan data yang perlu ditambang untuk menguliknya ke permukaan. Wartawan hanya ingin mengetahui bagaimana sikap Kanwil Kemenkum HAM menyikapi over capacity dan berbagai persoalan yang ada di lembaga pemasyarakatan yang ada di Sumbar saat ini, oleh over capacity-nya Lapas-Lapas yang ada.
Pertanyaan yang sederhana tersebut rupanya mendapat jawaban 'tinggi' dari Dwi Prasetyo. Jawaban seperti "kalau dipindahkan ke rumah mu bagaimana?" kepada wartawan, tentu jawaban/perkataan yang jauh dari kedewasaan cara berfikir. Jika seandainya ia enggan menjawab pertanyaan itu, alangkah baiknya menjawab "no comen" atau diam. Tak perlulah 'naik pitam' macam itu.
Kemudian, dari berbagai jawaban yang diberikan Dwi, tegambar seakan ia enggan ditanya tentang over capacity-nya Lapas-Lapas yang ada di Sumatera Barat. Ia tak ingin para wartawan mempermasalahkan hal tersebut karena, kata dia, over kapasitasnya Lapas merupakan tanggungjawab semua pihak. Ia bahkan menuturkan semua Lapas di seluruh Indonesia juga bernasib sama dengan Lapas yang ada di Sumatera Barat. Jawaban sampai di sana seharusnya sudah cukup, tak perlu menyambung "dari kapasitasnya 200.000 secara keseluruhan, sekarang sudah mencapai 400.000 (di seluruh Indonesia). Kalau bisa saya ceburkan ke laut, saya ceburkan ke laut." (Baca di sini)
Sikap emosional tersebut, menggambarkan longgarnya penguasaan diri Dwi Prasetyo. Siapa yang mau ia ceburkan ke laut? Tidak kah ia sadar hal itu merupakan pelanggaran HAM berat jika hal itu benar-benar ia lakukan. Tapi, para wartawan tidak menganggap serius pernyataan itu dan terus bertanya guna menggali informasi untuk disampaikan kepada publik dalam berita yang akan mereka buat.
Seorang pejabat yang digaji oleh uang negara, punya tanggungjawab besar kepada publik. Pun demikian halnya akan kebutuhan informasi. Publik memiliki hak mengetahui setiap informasi penyelenggaraan/pelayanan umum yang didanai oleh uang negara, sebagaimana juga di lembaga pemasyarakatan.
Untuk memenuhi hak publik akan pemenuhan kebutuhan informasi, negara melahirkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Atas undang-undang tersebut, jangankan wartawan, masyarakat umum pun wajib mendapatkan akses informasi sebagaimana yang ditanyakan wartawan kepada Dwi Prasetyo.
Wartawan dari berbagai media yang meliput Sidak di Lapas II B Pariaman juga melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana longgarnya pengawasan di Lapas tersebut. Dalam sidak itu ditemukan puluhan paket narkoba, senjata tajam jenis parang, benda-benda tajam, perangkat telekomunikasi, dll, yang seharusnya tidak boleh dimiliki oleh warga binaan (napi). Bagaimana barang-barang tersebut bisa lolos begitu saja, jika pengawasan sudah dilakukan dengan baik dan benar.
Penemuan-penemuan benda tak layak ada di tangan napi dalam Lapas itulah yang menjadi dasar wartawan menanyakan langkah yang akan diambil Kanwil Kemenkum HAM Sumbar ke depannya. Tentunya dimulai dari pertanyaan-pertanyaan kecil seperti ada tidaknya kamera pengintai CCTV, hingga berlanjut ke daya tampung di lembaga pemasyarakatan tersebut. Alih-alih memberikan jawaban yang solutif, Dwi Prasetyo justru memberikan pernyataan sebagaimana disebutkan di atas. (OLP)