Ilustrasi/istimewa/internet |
Kasak-kasuk 'menggoreng' isu di media sosial---dalam bulan suci Ramadhan---intensitasnya belum secara drastis berkurang. Postingan-postingan bernada satir mengarah ke tokoh-tokoh politik tertentu, mudah ditemui. Selain melunturkan nilai ibadah bagi penganut muslim yang memostingnya, postingan tersebut juga bisa mempengaruhi emosi akun-akun lain yang saat itu juga sedang menjalankan ibadah puasa.
Belum meredanya 'perang siber' di media sosial pelbagai platform disebabkan oleh tiga agenda politik besar: Pilkada serentak 27 Juni 2018, Pileg dan Pilpres 17 April 2019. Di samping isu primer itu, sejumlah isu lain seperti terorisme, pelemahan rupiah terhadap dolar AS dan pengesahaan Revisi Undang-Undang Terorisme ikut digoreng di lini masa.
Isu-isu parsial tersebut akan terus dimainkan selama 2018 dan 2019 hingga terpilihnya presiden dari hasil pemungutan suara rakyat.
Untuk Pilkada Pariaman sendiri, selama bulan puasa 'perang siber' di media sosial khususnya Facebook, cenderung menurun. Satu dua akun masih terpantau aktif 'menggoreng' isu, namun dalam porsi yang lebih kecil. Postingan lebih banyak ke menu buka puasa, berburu takjil, hingga buka bersama.
Politik Pariaman mencapai puncaknya saat hari pungut hitung 27 Juni. Tahapan sosialisasi oleh tiga pasang paslon Pilkada Pariaman terus jalan selama bulan suci Ramadhan. Mereka menghelat acara buka bareng bersama, bersafari Ramadhan hingga terus blusukan di siang hari.
Imang, 42 tahun, lagi menyeduh dua cangkir kopi kental sembari menunggu waktu imsakiyah. Pada pukul empat kurang sepuluh menit dini hari ia telah selesai makan sahur. Di saat istri dan kedua anaknya beringsut ke kamar tidur, dua cangkir kopi tadi ia bawa ke beranda rumahnya. Waktu imsakiyah ada beberapa menit lagi. Kelam masih bersipat. Lampu beranda temaram dan suara imbauan sahur bergema dari toa masjid-masjid terdekat.
Imang tidak sendirian. Setengah jam yang lalu ia telah menelepon Iming, 38 tahun, tetangga satu komplek perumahan yang telah ia anggap adik kandungnya sendiri. Iming sekonyong datang saat Imang baru mulai meneguk kopi yang ia dinginkan dalam tadahan.
"Postingan yang kamu share ini bisa merusak ibadah puasamu dan kamu bisa tersandung hukum," cetus Imang menunjukkan postingan Iming di media sosial Facebook yang ia posting tiga jam lalu.
"Sebelum terlanjur viral, sebaiknya kamu hapus sekarang juga," ujar Imang setengah memerintah.
Iming mangut. Ia mengeluarkan smartphone dari saku celananya dan duduk di samping Imang. Postingan dimaksud Imang, ia delete. Muka Iming merah padam meski ia tidak merasa canggung dinasehati orang yang telah ia anggap abangnya itu. Iming menerawang. Ia teringat pesan ibunya saat ia menumpang kos di kontrakan Imang saat menjadi mahasiswa baru di Padang.
"Kamu tinggal bersama Imang. Ibu telah titipkan kamu ke dia. Dia anak yang cerdas dan saleh yang tahu diuntung. Bersama dia, ibu tak cemas melepasmu karena ibu yakin ia akan mengarahkanmu agar terhindar dari pergaulan negatif mahasiswa kota besar. Kamu jangan berperangai nak, tenggang perasaan ibu dan ayahmu," kenang Iming akan nasehat ibunya.
"Tadi saya cuma iseng. Lagian cuma copy-paste postingan teman," Iming mencoba membela diri.
Imang menyalakan rokoknya. Asap pekat ia hembuskan mengepul ke udara. Kopi tadi kembali ia sesap. Kali ini langsung dari cangkirnya. Usai menghela nafas panjang Imang berkata, "Ming, jangan jadi orang yang ikut-ikutan. Postingan di media sosial persis seperti kita bertutur di dunia nyata yang perlu pertanggungjawaban. Kata-katamu akan mengungkap jati dirimu," kata Imang tenang.
"Sudah berapa banyak orang dipolisikan oleh postingannya di Facebook. Itu kamu camkan baik-baik agar tak menyesal nantinya," Imang melanjutkan.
Kepada adik lain ibu dan ayahnya itu Imang berpesan agar menggunakan media sosial dengan cerdas. "Saat ini," kata Imang, "Orang masih menganggap media sosial sebagai wahana iseng, ajang melampiaskan emosi dan curahan hati. Sanksi hukum diabaikan. Setelah meringkuk di tahanan, baru mewek."
Sembari membenarkan posisi kacamatanya Imang bertutur, media sosial memang sudah dijadikan medium promosi utama dalam segala hal. Perdagangan, pendidikan, kampanye politik, kaderisasi hingga doktrin-doktrin faham tertentu. Suguhan tersebut tiap hari terpampang di layar smartphone penggunanya.
"Selaku pengguna media sosial aktif sebaiknya kita manfaatkan media sosial untuk hal positif saja seperti ajang silaturahmi, mempromosikan kampung halaman dan menghindari perdepatan politik tak berujung dengan orang-orang yang punya kepentingan pilkada, pileg apalagi pilpres, kecuali kamu bagian dari tim sukses, anggota parpol. Ini, kamu PNS, sadari posisimu. Atau kamu mau berhenti jadi PNS?" Imang balik bertanya.
"Tentu.. ten...ten..tu tidak..." Iming tergagap.
Iming termenung. Ia menyadari belakangan ia begitu mudahnya terpancing oleh postingan di medsos dan cenderung ikut berkomentar. Ia memang condong pada salah satu paslon dan ikut anti pada tokoh politik nasional tertentu. Bahkan di saat-saat emosinya memuncak, ia membagikan postingan provokatif yang belum tentu ia yakini kebenarannya. Bahkan lewat akun anonimnya, ikut pula menyerang tokoh tertentu dengan agresif.
"Gila, saya bahkan ikut-ikutan membenci presiden. Padahal selaku PNS ia adalah pimpinan tertinggi kami. Dan siapa yang terpilih nanti menjadi walikota dan wakil walikota tetap akan menjadi atasan saya. Saya mestinya memposisikan diri netral di pilkada," Batin Iming menyadari.
Tiba-tiba kerongkongan Iming terasa amat kering. Secangkir kopi yang dihidangkan Imang di hadapannya ia sesap sekali teguk.
Sejurus kemudian sirine imsakiyah berdengung. Dari rumah Imang, mereka berdua gegas menuju musala komplek guna menunaikan salat subuh. Diiringi kokokan Ayam jantan komplek peliharaan Pak Imung, usai salat, mereka menuju rumahnya masing-masing.
Media sosial diciptakan sebagai ranah virtual guna bersosialisasi tanpa membatasi jarak dan waktu oleh para penggunanya. Seiring perkembangannya, medsos berbagai platform tumbuh besar dan penggunanya pun ketergantungan olehnya. Syahdan, media sosial telah menjadi kebudayaan baru ala zaman modern.
Di media sosial kita bisa menemukan beragam informasi dari pelbagai media massa siber kredibel yang viral. Di media sosial kita juga bisa menemukan postingan provokatif dan kabar bohong yang diviralkan oleh oknum-oknum tertentu lewat media abal-abal.
Untuk itu, perlu verifikasi oleh diri kita sendiri dalam memfilter setiap informasi yang tiap hari lalu-lalang di layar gawai. Saringannya itu, adalah diri kita sendiri. Makanya anak-anak di bawah umur 18 tahun sebaiknya diawasi oleh para orangtua dalam penggunaan media sosial. Mereka yang dalam tahap pencarian jati diri, akan gampang kena imbas konten negatif media sosial. (OLP)