Hampir tak ada ruang kosong di negeri ini tanpa kuasa mafia. Mulai dari yang sederhana hingga yang paling istimewa. Kehidupan kita dikepung sedemikian rupa. Mereka menghisap kehidupan, mengambil keuntungan tanpa kerja dan mengeluarkan keringat.
Bukanlah
berita baru, bila ada mafia pembantu rumah tangga, mafia daging sapi,
mafia minyak, mafia peradilan, mafia alat-alat pertanian, mafia pupuk,
mafia beras,mafia gula,mafia garam,mafia narkoba,mafia sepak bola,mafia
hukum,mafia kayu,mafia tanah,mafia pajak,mafia PNS,mafia senjata.Mafia
telah merajai seluruh lini kehidupan. Mengerikan.
Mafia
selalu ada, bekerja dalam lingkaran jaringan yang sulit dijangkau nalar
kita. Terasa tapi tak bisa dibuktikan. Mereka mampu memainkan peran
strategis tanpa publik tahu. Bahkan mampu menyetir laju informasi kemana
hendak dituju maksud berita demi keuntungan yang akan diraih.
Siapa
mereka? Tentu tak bisa mengatakan secara terang-terangan. Tetapi kita
bisa menyatakan, orang-orang yang tanpa melakukan apapun tetapi bisa
kaya raya, mendapatkan keuntungan secara siluman, itulah salah satu
corak kerja mafia. Misalnya, dengan menggiring sedikit arah kebijakan pemerintah, ia bisa menangguk keuntungan dari setiap detik transaksi di publik. Begitulah.
Di negeri asalnya, Italia, istilah “mafia” adalah
sebuah gerakan senyap yang mampu memperdayakan lawan tanpa berkutik.
Mafia adalah kelompok besar yang misterius, berkuasa, ditakuti, tetapi
mampu mengubah seluruh kejahatan menjadi sebuah kerja kemanusiaan!
Istilah "mafia" kini telah melebar hingga dapat merujuk kepada kelompok yang mendunia, yang melakukan kejahatan terorganisir. Mafia awalnya merupakan nama sebuah konfederasi yang orang-orang di Sisilia pada Abad Pertengahan untuk tujuan perlindungan dan penegakan hukum dengan cara main “hakim sendiri". Konfederasi ini kemudian mulai melakukan kejahatan terorganisir.
Anggota mafia disebut “mafioso”, yang berarti “pria terhormat”. Mafia melebarkan sayap ke Amerika Serikat melalui imigrasi pada abad ke-20.Kekuatan mafia
mencapai puncaknya di AS pada pertengahan abad ke-20, hingga rentetan
penyelidikan FBI pada tahun 1970-an dan 1980-an agak mengurangi pengaruh
mereka. Meski kejatuhannya tersebut, mafia dan reputasinya telah tertanam di budaya populer Amerika, sehingga difilmkan di televisi dan bahkan iklan-iklan.
Mungkin juga, pengaruh dari tontonan film-film produksi Amerika itu, yang jelas di negeri ini, mafia sudah meraja dalam
bentuk dan nama yang berbeda-beda. Mungkin juga, ini sebuah keniscayaan
ketika negeri ini tidak memiliki kekuatan kepemimpinan kharismatik yang
mampu menegakkan wibawa hukum.
Mafia Demokrasi
Memasuki musim Pilkada Serentak 2015 di 263 Prov,Ko,Kab,dengan hiruk pikuk proses pencalonan, kita menikmati sebuah permainan yang terasa aneh. Entah tangan siapa yang memainkan ini. Mungkin, itulah mafia dalam Pilkada, yang membuat terjadinya head to head, muncul calon tunggal, lalu muncul pula calon boneka.
Alam demokrasi yang berkembang sunsang seperti sekarang, agak ajaib bila memahami dari segi filosofi,etika dan eksistensi partai politik. Kinerja partai kelihatannya kian
menjauh dari sisi ideal sebagai lembaga yang memikirkan kebajikan ummat
dan kemajuan bangsa-negara. Partai politik justru terjebak dalam
kepentingan sesaat; kekuasaan semata! Memang
dengan kekuasaan, cita-cita luhur partai bisa dicapai, namun
mengenyampingkan akal sehat dan mengelabui publik tentulah pekerjaan
sia-sia. Karena nalar publik hanya bisa dikelabui satu kali, lebih dari itu, kepercayaan publik akan luntur.
Fenomena
yang hadir dalam proses Pilkada Serentak 2015 ini harus menjadi
pelajaran penting bagi kita semua, agar kualitas demokrasi kian membaik. Harus perbaikan sistem di masa depan nantinya.
Membaca
fenomena hari ini, agak sulit kita menyatakan pendulum demokrasi itu ke
arah yang benar. Justru kelihatan membalik. Pilkada hanya mampu
mencapai titik sasar demokrasi prosedural, menjauh titik sasar demokrasi
substansial. Dimana demokrasi, kekuasaan yang berdaulat kepada rakyat,
seperti yang dipikirkan Filosof Descartes dan Aristoteles itu.
Kembali
ke soal mafia, tentu saja, persoalan demokrasi kita sedang dijejali
kepentingan banyak pihak, termasuk para mafia politik yang berorientasi
kepada keuntungan dalam banyak hal. Terutama, keuntungan kekuasaan dan
ekonomi. Kita telah melihat, bagaimana kekuasaan negara dipermainkan segelintir orang yang menentukannya.
Simbiosis Mutualisme
Ini lebih mengerikan lagi, ketika eksistensi mafia itu ternyata simbiosis mutualisme dengan oknum-oknum pelaksana negara. keduanya topang menopang mengeruk
keuntungan. Misalnya, belum keluar kebijakan ke publik, sudah bocor duluan. Lalu kekeruhan itu dijadikan jalan dan kesempatan.
Idealnya, negara mampu mempersempit ruang gerak bagi kelompok yang merugikan. Namun tampaknya negara belum mampu dan bahkan acap alpa ketika mafia sudah berkuasa di banyak sektor kehidupan masyarakat. Negara tidak bisa mengambil alih. Negara sering kalah.
Namun demikian, cita-cita agar negara ini bersih dijalankan tetap harus digerakkan dan diperjuangkan hingga bisa ditinggalkan dalam keadaan terbaik untuk anak cucu kita nanti.
Dasar Negara
Ketika
negara hampir dikuasa mafia, hendaknya gerakan untuk mengembalikan
cita-cita dasar negara harus digalakkan. Diteruskan. Setiap saat dan
setiap waktu. Membangun jiwa anak bangsa dengan merujuk dasar negara
pada Sila Pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa.
Salah satu jawaban atas persoalan-persoalan bangsa ini
adalah kehidupan spiritual yang aplikatif. Menjadi bagian penting dalam
berkehidupan. Spiritual tidak ditinggalkan di rumah ibadah. Namun
setarikan nafas dengan kehidupan.
Betapa penting, membangun spiritualitas dalam kehidupan ini. Melekat dan menjadi budaya. Selama ini, kehidupan berbangsa dan bernegara yang terseret ke garis sekuler belum juga mampu mengejawantahkan cita-cita pendiri bangsa ini. Hanya melahirkan pembangunan berdasarkan angka-angka tanpa jiwa.
Sistem
mafioso yang diam-diam sudah melekat dalam sistem yang kian koruptif,
sepertinya akan terus berlari mengabadikan jejak rekam kejahatan berbaju
kebenaran formal di negeri ini. Sementara, cita-cita luhur sepertinya
akan kian jauh tertinggal. Mafia dan koruptor lahir ketika sistem
spiritualitas tidak dibangun dalam kepribadian anak bangsa.
Pada konteks inilah, sebenarnya pemerintah yang menjalankan amanat negara harus mampu membaca keadaan kehidupan bernegara kita dengan persepsi spiritualitas. Memberikan protype kehidupan yang setiap saat membawa denyut iman sehingga segala bentuk kejahatan, sekecil apapun, bisa dihindarkan.
Persoalan ekonomi, keuangan, politik, keamanan, kenyamanan, kemakmuran dan kesejahteraan, selalu lahir ketika ada sebagian dalam kehidupan ini dikendalikan nafsu yang tamak, rakus dan tidak memiliki kontrol spiritualitas. Di sinilah, kita butuh pemimpin yang berkomitmen tinggi untuk kemajuan bangsa-negara, bekerja keras di atas rata-rata tanpa basa-basi, demi tegaknya marwah negara.Tidak tunduk dengan kuasa sistemik yang serba misterius serupa mafia.Salam.(LH).