Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Trisakti dalam Birokrasi

25 Februari 2015 | 25.2.15 WIB Last Updated 2015-02-25T14:46:23Z
Oleh
Indra J Piliang
Ketua Tim Ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi



Sejak dilantik, pemerintahan Jokowi-JK sudah mengeluarkan beragam kebijakan yang berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Walaupun begitu, sejumlah duplikasi tentu tidak bisa dihindari. Bagaimanapun, pemerintahan berjalan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Pemerintahan hadir silih berganti, birokrasi tetap bekerja di dalam lingkup perundangan yang baku. Sehingga, apabila dilakukan berbagai perubahan, haruslah terlebih dahulu dimasukkan ke dalam peraturan perundangan. 

Di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi (RB), sejumlah kebijakan sudah ditempuh. Reaksi di masyarakat beragam, baik pro ataupun kontra. Bagaimanapun, di era demokrasi, pemerintah tidak lagi menjadi sosok yang ditakuti. Pemerintah lahir dari proses kontestasi pemilu, berdasarkan mandat yang diterima dari rakyat. Sehingga, ketika pemerintahan berjalan, rakyat tetap memiliki kedaulatan dalam mengajukan pendapat. Apalagi, negara melindungi hak-hak warga negara dalam mengajukan pikiran, maupun dalam berserikat dan berkumpul. 

Penilaian awal yang diberikan masyarakat adalah wujud dari tingginya ekspektasi. Pemerintahan baru selalu saja mendapatkan ekspektasi yang tinggi, sebagai modal dasar untuk menyusun kebijakan publik. Ekspektasi itu akan berubah menjadi penilaian yang lebih objektif, setelah pemerintahan berjalan. Subjektifitas awal tergantikan dengan objektifitas. Pada gilirannya, penilaian yang negatif bisa berbuah kepada gugatan kepada putusan-putusan yang diambil pemerintah. Sehingga, ketika terdapat keresahan-keresahan awal, pemerintah perlu sedini mungkin untuk memberikan penjelasan yang rasional. 

Untuk itu, ekspektasi perlu diberikan batasan-batasan. Batasan itu adalah berupa harapan-harapan baru yang dijanjikan. Letak persetujuan warga kepada pemenang pemilu atau pilpres adalah pada program yang diajukan. Sosok hanyalah personalisasi dari program-program itu. Sosok sebagai eksekutor dari program-program yang tentu saja diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik. Sosok yang dimandatkan, tanpa kertas kosong, melainkan berisi sejumlah janji yang wajib untuk dipenuhi.

Trisakti


Dalam kaitannya dengan bangsa secara keseluruhan, konsep yang sempat dibawakan oleh Ir Jokowi adalah Trisakti. Ucapan itu menyetir dari Ir Sukarno: berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya. Trisakti adalah wujud dari keindonesiaan lama yang masih relevan untuk diwujudkan di abad 21. Konsep itu perlu dicarikan padanannya dalam ranah birokrasi dan pemerintahan moderen. 


Kedaulatan di bidang politik, berarti kebijakan-kebijakan politik yang diambil, sama sekali jauh dari tekanan. Pemerintah tidak bekerja berdasarkan pendiktean kepentingan politik sekelompok orang atau partai politik, melainkan bekerja untuk kepentingan yang lebih luas dari itu. Birokrasi moderen perlu kian dingin, imparsial dan impersonal dalam menjalankan tugas-tugasnya. Tekanan apapun tidak dijadikan sebagai landasan kebijakan, terkecuali memang berdasarkan kepada landasan yang lebih tinggi, misalnya konstitusi negara. 

Indonesia tentu berbeda dengan tahun 1960-an, ketika dunia berada dalam era Perang Dingin. Indonesia lebih terjepit posisinya sekarang, mengingat menjadi bagian dari masyarakat dunia, baik di kawasan ASEAN, Asia, Asia Pasifik, maupun dunia secara keseluruhan. Pemerintah berkewajiban mengangkat derajat manusia-manusia Indonesia, untuk bisa menegakkan hak-hak dasarnya. Kepentingan-kepentingan nasional adalah pengejawantahan bagi sikap yang hendak diambil dalam pergaulan regional dan global. 

Sehingga, birokrasi moderen adalah pelayan kepentingan manusia-manusia Indonesia, bukan pelayan bagi kepentingan asing. Sekalipun Indonesia adalah bagian dari masyarakat dunia, kepentingan asing bisa saja dijalankan, misalnya dalam tugas-tugas perdamaian ataupun kemanusiaan. Krisis yang melanda dunia sekarang, adalah bagian dari tugas-tugas perdamaian dan kemanusiaan itu. Namun yang paling penting adalah, agar jangan sampai krisis itu masuk ke Indonesia atau berasal dari Indonesia. 

Perbedaan pandangan politik tentu saja ada dan nyata, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri. Sebagai bagian dari negara demokrasi, perbedaan demi perbedaan itu sudah lumrah. Di negara-negara lain, birokrasi adalah wakil dari pandangan politik dari pemerintahnya. Negara-negara komunis, misalnya, mempekerjakan birokrasi yang sejalan dengan pikiran partai yang berkuasa dengan ide-ide komunis itu. Begitu juga sebaliknya, negara-negara anti komunis akan melawan ide-ide itu. Indonesia pernah terjepit dalam pertarungan ideologi-ideologi besar dunia itu. 

Bagaimana dengan pandangan politik di dalam negeri? Birokrasi sering dilibatkan, ketika kontestasi politik terjadi. Hal ini sebetulnya tidak baik, mengingat pandangan ideologis setiap partai politik ataupun individu yang maju ke jalur kekuasaan, sudah seragam. Untuk itu, kedaulatan di bidang politik di tingkat birokrasi, bisa disiasati dengan cara mengedepankan pandangan-pandangan ideologis yang tertuang dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, misalnya. Sehingga, KemenPAN dan RB perlu memberikan teguran yang keras kepada calon-calon kepala daerah – terutama incumbent – yang menggunakan birokrasi sebagai mesin pengumpul suara. Sudah bukan saatnya lagi menjadikan politik sebagai panglima birokrasi. 

Kemandirian di bidang ekonomi berarti menentukan arah kebijakan ekonomi sendiri, tanpa terpengaruh dengan kepentingan ekonomi bangsa-bangsa lain. Hanya saja, ekonomi sudah saling mempengaruhi, tidak bisa lagi bisa diartikan sebagai ekonomi yang terpisah satu sama lain. Politik ekonomi benteng tidak lagi bisa dilaksanakan, bahkan untuk produk terkecil sekalipun. Yang bisa dihindari adalah besaran serbuan produk-produk ekonomi dari negara-negara lain. 

Birokrasi yang memandirikan diri secara ekonomi adalah birokrasi yang berusaha untuk menciptakan kreasi-kreasi khusus untuk mengatasi keterbatasan. Birokrasi seperti ini pernah lahir, yakni ketika kemerdekaan dikumandangkan, pemerintahan baru dan pertama kalinya terbentuk. Kegairahan muncul sebagai negara merdeka. Keterbatasan peralatan dalam menjalankan roda pemerintahan, diatasi dengan cara menggunakan kreativitas sebagai wujud dari kehormatan sebagai birokrasi di negara-negera merdeka. 

Sebagai teladan masyarakat, birokrasi moderen tidak boleh menampakkan wajah pesta pora, di tengah rakyat yang mayoritas masih hidup dengan penghasilan US$ 2 per hari. Dari sinilah muara dari kebijakan penghematan dalam pangan lokal. Pangan yang bisa didapatkan sehari-hari, produk dari rakyat sendiri. Birokrasi yang dekat dengan rakyat adalah birokrasi yang memakan makanan yang sama dengan rakyat yang dilayani. Birokrasi yang asing adalah birokrasi yang memakan makanan asing, produk impor, demi memenuhi kebutuhan yang bukan primer. 

Kemandirian secara ekonomi juga berarti penghematan. Birokrasi memiliki anggaran yang besar, bahkan terbesar dibandingkan dengan anggaran publik, terutama di sejumlah daerah. Hanya saja, anggaran selama ini digunakan untuk dihabiskan. Birokrasi memiliki nomenklatur sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Masalahnya, apakah anggaran publik yang dipakai itu sudah tepat sasaran? Persepsi publik, pada akhir tahun, anggaran digunakan dengan semena-mena, agar segera habis dan tidak berubah menjadi SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran). 

Kepribadian di bidang budaya berarti menggali sandaran kultural bagi birokrasi Indonesia, termasuk birokrasi daerah. Indonesia perlu merumuskan nilai-nilai budayanya sendiri, di tengah serbuan identitas kultural dari luar. Kita mengenal semangat samurai atau bushido dalam kebudayaan Jepang yang mempengaruhi seluruh gerak bangsa Jepang, tidak terkecuali di bidang birokrasi, bisnis dan militer. Begitu pula dengan Korea Selatan dan Tiongkok. Indonesia selayaknya juga memiliki budaya nasional dan lokal sendiri, sehingga pemerintahan benar-benar berjalan sesuai dengan jiwa dan semangat kemandirian di bidang budaya ini. 

Budaya nasional pernah diterjemahkan sebagai puncak-puncak kebudayaan nasional. Hanya saja, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kebudayaan nasional      mengalami perubahan. Semangat gotong royong kini semakin padam, tidak terkecuali dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Pembiayaan birokrasi semakin besar, bukan saja dari kebutuhan yang meningkat dari sisi belanja barang dan jasa, melainkan juga dari kebutuhan individu penyelenggara negara yang kian tidak bisa dibagi. Setiap orang ingin memiliki komputer atau ponsel sendiri, dengan nomor-nomor khusus. Tidak banyak lagi yang ingin berbagi. 

Kita diperkenalkan dengan konsep good governance (penadbiran) di bidang penyelenggaraan pemerintahan. Hanya saja, kita semua tahu bahwa good governance lahir dari rumusan-rumusan yang dibuat oleh United Nations Development Programme (UNDP). Masalahnya, rumusan lokalnya sama sekali belum banyak dibuat. Program-program inovasi di bidang pelayanan publik seyogianya bukan hanya mengarah kepada kemudahan bagi kalangan manapun, termasuk asing, dalam berhubungan dengan birokrasi, melainkan juga bagaimana birokrasi tetap berjarak dengan menanamkan kemandirian di bidang budaya nasional dan lokal. 

Indonesia adalah bangsa yang majemuk, plural dan sekaligus unik. Binneka tunggal ika sudah lama dicanangkan sebagai bagian tak terpisahkan dari keindonesiaan. Hanya saja, kita lebih mengingat efisiensi dan efektifitas, ketimbang budaya efisien dan budaya efektif, tanpa menghilangkan warna lokal seperti silaturahmi. Kalau selama ini kita menganggap jam karet sebagai kendala kemajuan bangsa, selama fase jam karet itu adalah bagian dari membangun budaya sendiri, bagi saya tidak ada masalah. Toleransi bisa saja diberikan, asalkan capaian produktivitas kerja tetap terukur dan berbobot. 

Catatan: Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
×
Berita Terbaru Update