Kemendikbud sudah resmi menutup TK Jakarta
International School (JIS) per tanggal 22 April 2014 lalu dan tidak
boleh lagi menerima siswa baru mulai tahun ajaran ini. Dua pria
tersangka pelaku kekerasan seksual padan anak AK, juga sudah ditahan
Polda Metro Jaya. Selesai masalahnya? Tidak! Fakta-fakta baru terkait
kasus pelecehan dan kekerasan seksual di JIS justru makin mengerikan dan
membikin geram. Belakangan ada orang tua siswa yang melaporkan anaknya
juga menjadi korban pelecehan seksual. Anak tersebut teman sekolah AK,
korban pertama. Korban kedua ini mengaku dirinya tidak hanya mengalami kekerasan seksual saja, namun juga kekerasan fisik (ditendang dan dipukul). Perlakuan itu tidak hanya di toilet sekolah, melainkan juga terjadi di ruang kelas.
Nah! Siapakah yang bisa leluasa berbuat banyak terhadap siswa di dalam
ruang kelas? Mungkinkah seorang petugas kebersihan bisa bebas melakukan
apa saja di dalam kelas?!
Anak yang jadi korban kedua mengidentifikasi
pelakunya salah satu dari 2 pelaku yang sudah di tahan Polda, namun ada
pelaku lain yang tidak ada dalam foto. KPAI yang mendampingi dan
sekaligus mengorek keterangan dari korban, mengatakan pelakunya berambut pirang. Hmm.., berambut pirang, berada di ruang kelas, makin mengarah bukan?! Anak
yang jadi korban kedua ini mengaku dirinya melihat siswa kelas 1 SD JIS
juga mengalami pelecehan seksual yang sama dengan dirinya.
Namun meski melihat kejadian itu, ia lari ketakutan, tak berani melapor
ke pihak sekolah. Maklumlah, anak sekecil itu mana berani melapor,
apalagi kalau pelakunya seorang yang memiliki otoritas dan relasi
superior terhadapnya, yang ditemuinya setiap hari.
Dengan pengakuan korban kedua ini, makin jelas bahwa dugaan adanya pelaku lain selain 2 orang pekerja outsourcing yang bertugas sebagai cleaning service.
Apalagi hasil tes laboratorium menunjukkan pada diri kedua tersangka
hanya ditemukan bakteri yang sama dengan yang ada di dubur anak AK,
namun tak ditemukan virus herpes. Begitupun istri salah satu tersangka
yang kini sedang hamil, juga tak menderita herpes. Semestinya, istrinya
adalah orang pertama yang ketularan jika suaminya menderita herpes.
Maka, siapa gerangan pelaku lain yang menularkan virus herpes pada anak
AK? Adakah dia “si rambut pirang” seperti yang dimaksud korban kedua? Ataukah petugas kebersihan itu awalnya juga korban dari pelaku aslinya?
Reza Indragiri Amriel, kriminolog dan pakar psikologi forensik, pernah
menyatakan pendapatnya terkait kasus ini, agar kita tidak sembarangan
melabelkan “paedofil” kepada pelaku, sebab bisa jadi orang tersebut
sebenarnya normal, namun karena sesuatu hal maka dia kemudian menjadikan
anak-anak sebagai sasaran pelampiasannya.
Di sisi lain, dalam acara ILC yang digelar TV One Selasa malam lalu, terungkap fakta bahwa Wakil
Kepala Sekolah TK JIS, Stephen Druggan, ternyata telah meninggalkan
Jakarta dan kembali ke tanah airnya di AS, belum lama ini, setelah kasus
kekerasan seksual di TK JIS ramai diberitakan media. Diduga Steve Druggan tergesa-gesa meninggalkan Indonesia karena khawatir rekam jejaknya yang tercatat pernah menjadi pelaku kejahatan paedofilia, akan dikaitkan dengan kejadian di JIS.
Sebelumnya sudah ramai dibincangkan di media massa, bahwa JIS
pernah mempekerjakan James William Vahey dalam kurun waktu 1992 – 2002,
yang tak lain buronan FBI yang dikenal sebagai penjahat paedofili
internasional. Alasan JIS karena saat itu belum tersedia sistem pengecekan online
seperti jaman sekarang, rasanya sulit diterima. Sebagai sekolah
internasional yang punya hubungan baik dengan kedutaan besar asing –
termasuk Kedubes AS – rasanya bukan hal yang sulit bagi JIS, jika mau, untuk meng-cross check lebih dahulu rekam jejak calon guru yang akan direkrut. Katakanlah
tahun 1992 internet belum masuk Indonesia, bukankah di Amerika sudah
ada? Bukankah di negara maju yang sudah menerapkan perlindungan terhadap
anak, ada situs khusus yang memampangkan wajah serta identitas para
predator anak? Tahun 1996 internet sudah masuk Indonesia meski masih
sebatas kalangan menengah atas dan instansi besar yang menggunakannya.
Jadi tak ada alasan bagi JIS untuk ketinggalan jaman sampai tahun 2002.
Celotehan di media sosial dari akun yang
mengaku mantan siswa JIS, yang mengatakan di JIS sudah kerap terjadi
kasus pelecehan seksual bahkan perkosaan, tampaknya tak bisa diabaikan.
Kendati Timothy Carr, Kepala Sekolah TK JIS, membantah adalanya kasus
pelecehan seksual lain dan hanya membenarkan pernah terjadi sekali pada 17 tahun yang lalu,
perlu ditelusuri kebenarannya. Anggap saja keterangan pers yang
disampaikan Tim Carr itu benar, artinya peristiwa itu terjadi di tahun
1997. Siapa pelakunya? William Vahey-kah? Kalau Vahey pelakunya, kenapa
dia masih mengajar di JIS sampai tahun 2002 atau 5 tahun kemudian
setelah peristiwa yang diakui Tim Carr? Tapi jika pelakunya
BUKAN Vahey, siapakah pelakunya? Artinya ada penjahat paedofil lain yang
bebas berkeliaran di JIS. Sejauh mana penanganan kasus 17 tahun lalu
itu? Apakah korban dan keluarganya ditekan untuk tutup mulut?
Ketua KPAI, Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan bahwa di SD JIS pernah terjadi perkosaan terhadap siswa berusia 9 tahun. Korban sampai pingsan di toilet.
Informasi ini didapat KPAI dari orang tua siswa di JIS. Orang tua
korban sudah melaporkan kasus pemerkosaan itu ke pihak JIS, namun
alih-alih menanggapi, JIS justru menutupi kasus itu. Hal serupa juga
dialami ibu Th, orang tua AK. Meski sudah melapor ke sekolah beberapa
kali, ibu Th dijanjikan baru akan kasus anaknya baru akan ditangani
minggu depannya, setelah liburan. Ibu Th juga dilarang melaporkan pada
polisi. Terkesan sekali pihak JIS berusaha buying time. Kenapa harus mengulur waktu?
Kegigihan dan keberanian ibu Th membuatnya
bertindak tepat : meminta hasil pemeriksaan rumah sakit dan membawanya
ke Polda Metro, juga melapor ke KPAI. Kalau saja ibu Th termasuk orang
yang “penurut”, mungkin kasus yang menimpa AK akan terus tertutupi.
Bahkan permintaan ibu Th agar JIS mengumumkan kepada siswa dan
orang tua siswa lainnya agar mereka berhati-hati, sama sekali tak
dilakukan oleh JIS, meski JIS sebelumnya telah berjanji. Alhasil, ibu Th sendiri lah yang akhirnya memberitahu orang tua teman-teman anaknya.
Kenapa JIS seakan ikut menutupi setiap laporan tentang kasus pelecehan dan kekerasan seksual? Kalau pelakunya hanyalah pekerja outsourcing, bukankah ini justru jadi momentum bagi JIS untuk membersihkan sekolahnya dari pekerja yang menderita kelainan jiwa? Kenapa JIS tak suka KPAI membuka kepada media bahwa ada korban lain selain AK? Kenapa pula JIS begitu cepat bertindak mengubah lay out toilet yang menjadi TKP? Kenapa JIS begitu over protective sehingga menolak kedatangan tim dari Ditjen PAUDNI Kemendikbud? Bahkan 2 hari lalu, sebuah stasiun TV swasta memberitakan JIS
juga menolak kedatangan petugas dari kantor imigrasi Jakarta Selatan
yang hendak memeriksa kelengkapan dokumen tenaga asing yang menjadi
pengajar di JIS. Kenapa pula KPAI mengatakan JIS sampai sekarang tidak transparan soal data dokumen pengajar? Apakah JIS memang menyediakan tempat sekaligus melindungi pelaku kejahatan paedofili?
Guru TK JIS pun diragukan kompetensinya.
Dalam acara AKI Pagi di TV One Kamis kemarin, M. Jaya, pengamat
pendidikan meragukan kompetensi guru TK JIS. Terkadang ada guru TK yang
tak lain istri dari guru di jenjang sekolah yang lebih tinggi. Jadi,
seakan menjadi guru TK hanyalah mengisi waktu. Seorang mantan petugas security
yang pernah bekerja di JIS dalam kurun waktu 2007 – 2008, yang juga
dihadirkan di acara itu, mengaku dia sudah terbiasa melihat siswa
TK yang hendak ke toilet, tidak didampingi gurunya, melainkan
diserahkan kepada petugas kebersihan. Siswa TK yang belum bisa membuka
celananya sendiri, dibantu oleh petugas kebersihan. Jadi,
terbuka sekali peluang jika petugas kebersihan akan melakukan
penyimpangan terhadap si anak. Sementara, dari segi keamanan, setiap
petugas keamanan bertugas selama 12 jam setiap shift-nya, dari jam 6
pagi hingga jam 6 petang. Itupun, satu orang security mengawasi lantai 1 dan lantai 2 sekaligus, tempat siswa TK dan SD.
Inilah yang menjawab tanda tanya besar yang
menggayut di benak saya. Seorang anak kecil umur 5-6 tahun, usai
mengalami perlakuan seksual yang menyakitkannya secara fisik, menakutkan
secara psikis (ada ancaman dan intimidasi), menimbulkan trauma, tentu
akan langsung tergambar di raut wajahnya. Jangankan anak kecil, kita
orang dewasa saja, baru mengalami penodongan di angkot misalnya, atau
dijambret di pasar, tentu akan tampak pucat, panik, gemetaran dan bukan
tak mungkin menangis jika terjadi pada wanita. Anak TK belum bisa
mengelola emosinya. Maka tekanan yang baru saja dialaminya tentu akan
langsung membuat perilakunya berubah seketika. Mulai dari cara berjalan
yang tampak kesakitan, wajah yang pucat, gugup, ketakutan. Masa hal seperti ini tak terlihat oleh guru kelasnya? Bukankah guru TK semestinya care dan aware terhadap setiap perilaku siswanya?
Beda dengan guru SMA yang terus saja menuliskan rumus-rumus di papan
tulis sementara siswanya keluar masuk kelas dengan alasan ke toilet.
Guru SMA bisa saja tak ingat siapa saja yang tadi ijin ke toilet dan
sudah berapa lama. Tapi guru TK, semestinya curiga kenapa siswanya ke toilet cukup lama dan kembali ke kelas dengan raut wajah tidak happy.
Kalau benar bahwa guru TK JIS bukan
orang yang memiliki kompetensi mengasuh anak TK, maka tak heran kejadian
seperti yang menimpa anak AK bisa terjadi berulang kali dan guru
sekolah sama sekali tak tahu. Kini sudah terkuak ada teman AK
yang juga jadi korban, ke depan bukan tak mungkin ada orang tua korban
lain yang berani melapor. Bisa jadi pula bukan hanya anak TK namun juga
anak SD. Kalau sudah begini, masih layakkah keberadaan JIS dipertahankan? Sebuah
lembaga berlabel sekolah internasional yang memungut bayaran ribuan US
dolar per bulan, ternyata menjadi sarang aman bagi para predator anak
untuk melampiaskan hasrat liarnya.
JIS sudah terbukti abai untuk urusan perijinan
sampai 21 tahun lamanya. Entah apakah TK tak berijin itu membayar pajak
atau tidak. Sudah begitu, JIS masih berani menolak aparatur pemerintah
kita yang akan melakukan pemeriksaan. Sampai kapan kita akan mengijinkan
bule menginjak-injak aturan di negeri dimana kita menjadi tuan rumah? Sementara mereka
yang kita sangka punya standar etika dan keamanan tinggi, ternyata
justru dengan mudah memasukkan tenaga pendidik tak kompeten bahkan ada
pula pelaku predator anak, untuk bekerja di Indonesia.
Pelaku paedofili memiliki jaringan. Kalau
mereka merasa aman berada di Indonesia, apa sulitnya menghubungi sesama
pengidap paedofili. “Hai bro, kemarilah datang ke Jakarta. Disini
kita bisa menyalurkan hasrat dan tetap jadi warga terhormat. Dapat
bayaran tinggi pula. Disini kau bebas pilih korban, sekolah akan
melindungimu”. Kita sudah mengijinkan sindikat perdagangan narkoba
menjadikan Indonesia sebagai negara transit, lalu negara tujuan, sampai
akhirnya menjadi negara produsen barang haram itu. Kini, akankah kita juga mengijinkan sindikat pelaku paedofili menemukan “ladang subur” sekaligus aman di ibukota negara kita? Terhormat pula, dengan berkedok lembaga pendidikan bertaraf internasional.
Ira Oemar