Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang selalu di amalkan walaupun cupu. Ilmu pengetahuan yang luas jika diaplikasikan tentu punya dampak bagi peradaban, meskipun dalam ruang lingkup terkecil sekalipun. Adapula kalangan berilmu yang menyalahgunakan ilmu yang mereka miliki untuk mengendalikan orang disekitarnya sesuai kehendak. Kemudian adapula kalangan berilmu yang berperilaku menyimpang jika diberi amanah. Jika demikian punah sudah sebuah peradaban.
Ilmu yang dimaksud diatas tentu bukanlah ilmu perdukunan atau ilmu capak-capak, ambuih-ambuih sebagaimana layaknya lakonan para dukun. Ilmu yang saya maksud adalah dalam artian yang sesungguhnya, yaitu ilmu pengetahuan ilmiah yang mencakup segala sektor dan lini disiplin ilmu.
Dalam mengelola sebuah jabatan sangat diperlukan penguasaan ilmu tekhnis terkait jabatan yang akan di handle oleh sipengemban jabatan tersebut. Misalkan jabatan seorang kepala desa, minimal mereka mampu berkomunikasi dengan baik, punya dasar ilmu psikologi massa untuk memahami karakter masyarakat yang dia pimpin. Kemudian baru dasar ilmu tata kelola pemerintahan. Biasanya, sangat jarang masyarakat salah dalam memilih orang yang akan memimpin mereka. Semakin tinggi SDM masyarakat, semakin tinggi pula kriteria yang musti dipenuhi untuk calon pemimpin mereka. Hal itu berlaku vertikal untuk jabatan keatasnya, hingga dalam memilih Presiden.
Calon pemimpin mustilah pribadi yang punya jiwa petarung tinggi. Punya pondasi cita-cita, yang musti pandai pula mereka utarakan pada calon konstituennya. Calon pemimpin yang akan jadi, selalu memiliki sikap orisinil, satu kata satu perbuatan. Pencitraan boleh-boleh saja asalkan jangan memanipulasi opini publik. Hal ini perlu saya tulis mengingat di tahun 2014 ini kita memasuki tahun politik. Kita akan memilih wakil kita untuk duduk di DPRD Kota/Kabupaten, Provinsi, DPR-RI dan DPD-RI. Setelahnya kita juga akan memilih orang nomor satu di Republik ini.
Dalam teori propaganda politik dikenal istilah OKO (Opini Kontra Opini). OKO adalah permainan psikologi massa tingkat tinggi untuk menciptakan sebuah sudut pandang politik pada satu figur tokoh yang dimainkan. OKO adalah sebagai bentuk mesin potensial dalam dunia politik demi tujuan politik yang lebih besar pula. Mereka melakukan dengan sistemik berharap menuai hasil empirik. Bagaimana jika permainan OKO menjual figur polesan? Bagaimana kita bisa tahu bahwa figur tersebut sosok ideal sebagaimana pencitraan yang dilakukan dengan simultan dan sistemik? Jawabannya adalah SDM kita sendiri. Teliti sebelum membeli. Orang yang jeli dapat memastikan mana mangga yang masak dibatang dan peraman dari melihat sekilas bentuk kulitnya. Mereka tahu mana durian yang masak jatuh dibatang dengan durian hasil panjatan meskipun sipenjual memodifikasi tampuk durian itu.
Sekarang saya sedang mengamati Caleg, baik untuk Kota/Kabupaten, Provinsi hingga DPR-RI serta DPD-RI. Kita dapat memberikan penilaian pada para caleg tersebut jika kita mengenal latarbelakang mereka sebelumnya. Sejak kapan dia peduli kepada masyarakatnya. Apakah dia sebelumnya dikenal aktor sosial atau dikenal aktor politik. Aktor sosial adalah orang yang selalu peka pada lingkungannya dengan tidak dibuat-buat, karena hal demikian karakter aslinya. Sedangkan aktor politik adalah orang yang tiba-tiba muncul hanya disaat-saat ada perhelatan politik. Kadang aktor politik disaat masa dimana dia butuh dukungan berlaku waduhai eloknya hingga menuai simpati masyarakat. Namun setelah hajat dia kesampaian dia akan kembali menjadi dirinya sendiri. Dia bukanlah emas, melainkan tembaga bersepuh emas yang menyilaukan.
Fenomena demikian sudah sangat empirik dari masa ke masa dalam percaturan politik di negara kita. Kita selalu dengan mudah disapu tipuan muslihat karena lemahnya ingatan kita. Belum lagi rayuan materi yang membuat kita terlelap seakan ditiup sepoinya angin saat bersandar diteduhnya pohon cemara.
Saya secara pribadi terus terang dan berharap kepada masyarakat PARIAMAN yang dikenal egaliter. Kita dikarunia SDM yang unggul dari sisi demokrasi sebagaimana cara pola kehidupan sosial masyarakat kita sehari-hari. Kita tahu mana pemimpin yang pantas dan mana yang tidak. Namun kita lupa memberikan suara tersebut kepada orang yang tepat saat-saat hari H setelah menerima kunjungan pasukan 'ninja',
"Berapa pemilih di rumah ini? kita pukul rata 100 ribu per kepala,"
Kata si Ninja yang menyerang dikala fajar sebelum hari pencoblosan. Ketas tegang berharga dikeluarkan saat itu juga.
Catatan Oyong Liza Piliang