Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kelompok Studi dan Kisah Intel

1 Desember 2013 | 1.12.13 WIB Last Updated 2013-12-01T13:23:44Z




Era kelompok studi mahasiswa banyak disebut muncul pada tahun 1980-an. Sejumlah kelompok studi muncul di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Lahirnya kelompok-kelompok studi itu tidak terlepas dari tekanan dan kekangan penguasa Orde Baru yang kuat kepada aktivitas (politik) kampus. Kebijakan ini tidak terlepas dari gejolak kehidupan kampus yang terjadi sepanjang tahun 1970-an yang bermuara kepada peristiwa Malari (1974) dan penangkapan sejumlah pimpinan Dewan Mahasiswa (1978). Kehadiran kelompok-kelompok studi itu menjadi saluran dari beragam pandangan alternatif dan sikap kritis atas model pembangunan yang diambil.

Pada tahun 1990-an, aktivitas kemahasiswaan kembali mencuat ke permukaan dengan isu-isu seputar masala internasional, lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Dalam dunia sastra (dan politik), polemik Manikebu dan lawan-lawannya tahun 1960-an, kembali mencuat dengan hadirnya sosok Pramodya Ananta Toer dan Taufik Islam di kampus-kampus. Kampus menggeliat dalam dua sikap: menerima kedua kelompok yang bersaing 30 tahun sebelumnya. Karya-karya Pramodya kembali dibicarakan di ruang-ruang diskusi.

Sekalipun masalah yang dibicarakan terkait dengan kebebasan berpikir dan pemikiran, pengaruh kelompk-kelompok studi ini tidak bisa dikatakan kecil. Idealisme ala mahasiswa mendapatkan tempatnya, di ruang yang sangat terbatas dengan komunitas yang juga terbatas. Mayoritas mahasiswa memang tidak terlibat dalam kehidupan kampus yang penuh dinamika. Rata-rata mengejar indeks prestasi akademis, atau bekerja setelah pulang kuliah bagi keluarga yang tidak mampu. 

Tema umum yang mendapatkan perhatian mahasiswa adalah kesenjangan dan pilihan-pilihan pembangunan. Tema ini mengalir sejak tahun 1970-an, 1980-an, sampai 1990-an. Ada yang berbuah aksi yang keras, ada juga yang hanya penangkapan-penangkapan kecil oleh aparat keamanan. Piihan pembangunan ini menyangkut modal asing, keuntungan ekonomi, sampai dampaknya kepada rakyat secara keseluruhan. Nasib petani, nelayan dan buruh menjadi perhatian utama. Begitu juga pembangunan skala raksasa, termasuk mal, sebagai bagian dari konsumtivisme yang abai pada ekonomi kalangan menengah dan bawah. 

Diskusi sesedikit apapun menjadi diskusi yang mencekam. Kenapa? Ada intelnya. Para aktivis mahasiswa percaya bahwa intel sudah masuk ke lingkungan mereka Yang menjadi intel tentu mahasiswa sendiri. Apabila ada seorang mahasiswa yang rajin mengikuti diskusi atau aksi apapun, rumor digerakkan bahwa dia adalah seorang intel. Diskusi lima orang saja bisa bocor, apalagi yang menyangkut rumor di sekitar keluarga presiden. Apalagi kampus menjadi area penyebaran “ideologi negara”, yakni Pancasila. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) menjadi alat ukur proses ideologisasi itu. Kuliah kewiraan juga jadi ajang yang panas dan bergairah. 

Biasanya, intel ini diasosiasikan dengan mahasiswa yang rajin mengambil semester satu pada setiap tahun ajaran. Ada memang teman yang seperti itu. Ia sepertinya tak betah dengan jurusan yang diambil, lalu kuliah lagi tahun depannya di jurusan lain. Bahkan, ada yang kuliah lebih dari satu almamater. Lalu, cara bicara teman itu seperti aktivis pada umumnya, tetapi lebih nyelekit. Dari seorang kawan saya juga tahu bahwa ia menaruh “intel” di dalam kelompok yang lain. Dan bertahun-tahun tidak ada yang tahu itu. Makanya, setiap rapat kecil di kelompok “kiri” itu selalu bocor. Teman saya ini tidak bercerita, untuk apa ia melakukan itu. Tampaknya hanya masalah “keisengan” semata. 

Tanggal 30 November 2013 kemaren, Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) Universitas Indonesia Eka Prasetya berulang tahun ke 30. Saya hadir bersama sejumlah kawan. Ada Mohammad Qodari (Indo Barometer), Indra Kusuma (lawyer), Kholid Novianto (peneliti), Ahmad Yani (peneliti), Cecep Rukendi (pegawai pemerintah), Riri Fitri Sari (dosen), Veronika (aktivis perempuan), dan banyak lagi yang lainnya. Kami hadir untuk sebuah helat yang santai dan cenderung humoris. Banyak kawan yang tidak datang. Namun kemeriahan acara tetap terasa, ditengah banyak celetukan. 

Banyak pengalaman lapangan yang saya dapat ketika aktif di KSM UI. Begitupula dengan persahabatan dan pertemanan. Tentu juga konflik ala mahasiswa, boikot kegiatan, sampai perseberangan dengan kelompok yang lain. Di KSM UI ini saya belajar meneliti, selain tentu di Suara Mahasiswa saya belajar menulis. Bahkan menjadi notulis, moderator sampai pembicara, semua saya dapatkan di KSM UI. Begitu juga menjadi seorang orator dalam mimbar bebas mahasiswa. Bumbu-bumbu kehidupan (personal) antar mahasiswa tentu menjadi kisah yang tak akan terlupakan selama aktif di KSM UI. 

Kini, apakah masih ada kelompok-kelompok studi mahasiswa lainnya yang masih aktif seperti KSM UI? Tentu, kisah intel sudah jauh lebih berkurang dan mungkin hampir tak ada. Yang ada barangkali politisasi, dalam artian para mahasiswa yang berpolitik. Pandangan saya, tidak ada masalah mahasiswa berpolitik, bahkan berpolitik praktis dan giat di partai politik. Hanya saja, mahasiswa tersebut tentu perlu mengasah nalarnya terlebih dahulu, dengan cara memberi dan menerima pelbagai persepektif keilmuan yang ada di kampus. Kalau itu sudah terasah, politik hanyalah kegiatan sampingan yang bukan segalanya. Politik juga terbentuk menjadi kegiatan nalar yang gandrung akan ilmu pengetahuan... 

Catatan Indra Jaya Piliang
×
Berita Terbaru Update