Tanggal 9 Desember,
adalah hari Anti Korupsi Sedunia. Tahun ini, tahun ke-5 “perayaan” Hari
Anti Korupsi di periode kedua pemerintahan SBY. Bisa dipastikan, 9
Desember tahun depan, sudah bukan SBY lagi Presiden kita. Pada Pemilu
2009, partai Demokrat besutan SBY leading dengan slogan
“Katakan TIDAK pada korupsi”. SBY sendiri dalam janji kampanyenya
mengaku akan menjadi panglima penegakan korupsi, berdiri di garda
terdepan pemberantasan korupsi, menghunus pedang anti korupsi, dsb. Jadi
cukup beralasan kiranya, jika kesuksesan atau kegagalan upaya
pemberantasan dan pencegahan korupsi dijadikan indikator sukses tidaknya
pemerintahan SBY – Boediono. Mari kita cermati perjalanan kasus korupsi
di tanah air dalam 4 tahun terakhir ini.
====================================================
2009 : ANGGODO, TRUNO 3 DAN BAIL OUT BANK CENTURY
9 Desember 2009, demonstrasi
besar-besaran berbagai elemen mahasiswa dan lembaga serta tokoh-tokoh
anti korupsi, memperingati Hari Anti Korupsi di Jakarta, sementara
Presien SBY justru memilih “terbang” ke Bali. Demo besar-besaran itu
dipicu kegeraman masyarakat atas terkuaknya berbagai kasus korupsi.
Hanya selang beberapa hari setelah SBY – Boediono dilantik, muncullah
kasus “Cicak vs Buaya” jilid 1. Saat itu Ketua KPK Antasari Azhar sudah
ditahan kepolisian dengan tuduhan menjadi otak intelektual pembunuhan,
sebulan setelah Pemilu Legislatif 2009. Pada Oktober 2009, ada upaya
mengkriminalisasi 2 pimpinan KPK lainnya : Bibit Samad Riyanto dan
Chandra Hamzah. Akhirnya, KPK mengajukan permohonan kepada MK untuk
memutar rekaman sadapan sejumlah pembicaraan telepon.
Dalam sidang
terbuka yang disiarkan media televisi itulah, publik dikejutkan dengan
banyaknya percakapan Anggodo Widjojo – adik kandung buronan Anggoro
Widjojo – yang menyebut nama Susno Duadji dengan akrab bahkan tanpa
sapaan “pak” seolah pada teman sendiri. Bahkan ada kata sandi “Truno 3”
yang diduga mengarah pada Kabareskrim Polri yang saat itu dijabat Susno
Duadji. Juga ada pengakuan rekan wanita Anggodo – kalau tak salah
namanya Yuliana Ong – yang mengaku kenal SBY.Sejak itulah masyarakat
umum dikenalkan dengan istilah “markus” alias makelar kasus yang banyak
terjadi di dunia peradilan kita.
Berturut-turut kemudian kasus bail out
Bank Century pada November 2008 mulai terkuak. Akumulasi kekesalan atas
kriminalisasi terhadap Antasari, upaya pelemahan KPK, kasus Anggodo dan
berujung pada kasus Century, telah membuat citra kepemimpinan SBY –
Boediono babak belur hanya dalam tempo kurang dari 2 bulan sejak
dilantik. Tahun 2009 ditutup dengan PR panjang soal Century yg diduga
uangnya dipakai mendanai Pemilu 2009.
====================================================
2010 : HIRUK PIKUK CENTURY
Sepanjang tahun 2010, hampir seluruh pembicaraan tentang korupsi tercurah pada mega skandal kasus bail out
Bank Century. Awal tahun dibuka dengan sidang-sidang Pansus Century di
Komisi III DPR RI. Sidang yang menguras energi kemudian berakhir dengan
kesimpulan menyerahkan kasus itu ke jalur hukum, sedangkan DPR hanya
memantau dengan membentuk Panwas Century.
Selain di dominasi “drama” panjang Century, awal tahun 2010 sempat dibuka dengan kejutan sidak DennyIndrayana
ke rutan Pondok Bambu dan terkuaklah sel-sel mewah milik Ayin
(Arthalita Suryani) yang didesain ada “klinik” untuk perawatan wajah dan
dokternya didatangkan ke lapas. Saat sdiak, Ayin sedang melakukan
perawatan. Sel yang lain ada ruang karaoke, dll. Makin geramlah publik
atas perlakuan istimewa terhadap para terpidana kasus suap dan korupsi.
====================================================
2011 : NAZARUDDIN DAN DEMOKRAT
21 April 2011, KPK menangkap
tangan Mindo Rosalina Manullang bersama Sekjen Kemenpora, Wafid Muharam,
di kantor Kemenpora atas dugaan suap. Uang dalam bentuk dolar Amerika
sempat dibuang ke tempat sampah saat penyidik KPK datang. Menpora Andi
Mallarangeng buru-buru cuci tangan dengan mengatakan tak tahu menahu
kejadian yang menimpa Wafid. Kasus ini menjadi besar ketika pengacara
Mindo Rosa menyebut nama Muhammad Nazaruddin, Bendahara Umum Partai
Demokrat, sebagai atasan Rosa. Nazar meradang. Bersumpah ia tak kenal
“ibu itu” bahkan semua itu disebutnya hanya berdasarkan
“katanya…katanyaa…katanya…”. Didampingi Ketua Komisi III DPR RI kala
itu, Benny K. Harman, serta sahabatnya Ruhut Sitompul, Nazaruddin
menggelar jumpa pers di ruang Fraksi Demokrat DPR RI.
Keadaan berubah drastis ketika
kemudian Mahfud MD mengajak Sekjen MK, Janedjri M. Ghaffar, menghadap
SBY di istana. Usai pertemuan, SBY memberi kesempatan Mahfud MD
berbicara kepada pers. Disitulah terkuak bahwa Nazar terbiasa memberikan
“amplop” berisi uang dalam jumlah besar kepada penyelenggara negara,
ada atau tidak ada kasus. Dengan terkuaknya citra buruk Nazar, SBY tak
punya pilihan lain kecuali memecat Nazaruddin. Tanggal 23 Mei malam,
Majelis Kehormatan Partai Demokrat mengumumkan penonaktifan Nazaruddin
dari jabatan Bendum Demokrat. Esok harinya, KPK mengajukan permohonan
pencekalan Nazar kepada Kemenkumham. Sayangnya, Nazaruddin sudah lebih
dulu pergi ke Singapura beberapa jam sebelum pengumuman pemecatan
dirinya. Sejak itu dimulailah pelarian Nazar.
Demokrat sempat menutupi
jika Nazar bermaksud melarikan diri. Dengan dalih berobat ke Singapura,
didampingi Anas dan Ibas, Sutan Bathoegana menyampaikan perihal sakitnya
Nazar. Tapi keadaan berubah ketika Iwan Piliang menyampaikan rekaman
pembicaraannya via skype dengan Nazaruddin di pelarian, kepada
Metro TV. Nazar banyak menyebut keterlibatan Anas Urbaningrum dalam
bisnis bersamanya. Selang beberapa hari, Nazar menelpon Metro TV dan
dalam wawancara singkat itulah untuk pertama kali Nazar menyebut proyek
Hambalang. Suatu mega proyek sarat kejanggalan yang sebelumnya sama
sekali tak terendus publik.
Kicauan Nazar baru berhenti
ketika pada pekan pertama Agustus 2011 polisi Kolumbia menangkap dan
mendeportasinya karena menggunakan paspor milik saudaranya. Proses
pemulangan Nazar ke tanah air menelan biaya Rp. 4 milyar. Sidangnya
dimulai pada September 2011 dan menenggelamkan issu korupsi lainnya.
Yang muncul justru issu bagi-bagi uang dan BlackBerry pada Kongres
Partai Demokrat di Bandung pada Mei 2010. Tahun 2011 benar-benar jadi
tahun milik Nazaruddin dan partai Demokrat dalam pusaran issu korupsi.
Meski di penghujung 2011 KPK berhasil memulangkan Nunun Nurbaetie
setelah buron 2 tahun, sekaligus pretasi terakhir KPK di bawah
kepemimpinan Busyro Muqoddas, tapi issu Nunun masih kalah besar dari
issu Nazaruddin.
====================================================
2012 : ANGELINA SONDAKH, IRJEN DJOKO SUSILO DAN ANDI MALLARANGENG
3 Februari 2012, Angelina
Sondakh resmi ditetapkan jadi tersangka kasus Wisma Atlet. Pada 16
Februari, untuk pertama kali Angie bersaksi bagi rekannya Muhammad
Nazaruddin. Ini sidang pertama yang kemudian menentukan persepsi publik
pada Angie. Dalam sidang itulah Angie mengubah penampilannya menjadi
sangat bersahaja, lebih banyak menunduk dan hampir selalu menjawab :
tidak tahu Yang Mulia, tidak ingat, tidak benar. Bahkan kepemilikan BB
pun dipungkiri, meski ada beberapa foto Angie sedang memegang BB pada
tahun 2009.
27 April 2012, Angie resmi
ditahan KPK. Pemeriksaannya memakan waktu cukup lama, persidangannya pun
baru berakhir pada Desember 2012. Lagi-lagi Angelina membuat
kontroversi dengan mengajak kedua putri Adjie Massaid masuk ke ruang
sidang dan menunjukkan mereka pada Hakim saat membacakan pleidoinya.
Kontan cara Angie menuai kritikan. Dan seperti sebuah siklus, ketika
sidang Nazar sudah memasuki tahap akhir, KPK menetapkan Angie jadi
tersangka,maka kali ini ketika sidang Angie sudah memasuki tahap akhir,
KPK menetapkan Andi Mallarangeng jadi tersangka diikuti pencekalannya.
Itulah yang kemudian membuat Andi mundur dari jabatannya. Tahun 2012
diawali dengan penetapan Angelina Sondakh sebagai tersangka, dan
diakhiri penetapan Andi Mallarangeng sebagai tersangka pula. Masih
berkutat seputar kader terbaik Partai Demokrat yang semuanya menjadi
bintang iklan kampanye “Katakan TIDAK pada Korupsi”.
Akhir Juli 2012 sempat terjadi
ketegangan antar KPK dengan Polri ketika KPK berupaya menggeledah Gedung
Korlantas Polri dalam rangka peyidik kasus korupsi pengadaan alat
simulator SIM. Sampai para pimpinan KPK perlu turun tangan sendiri.
Meski kemudian para penyidik KPK bisa melanjutkan tugasnya, tapi mereka
tak diijinkan membawa hasil penggeledahan ke Gedung KPK. Akhirnya jalan
tengah diambil : barang sitaan disimpan dalam kontainer yang dijaga
aparat polisi berseragam dan bersenjata lengkap. Pada Oktober 2012, KPK
resmi menahan Irjen Djoko Susilo. Malam harinya, Gedung KPK dikepung
sejumlah polisi yang hendak menangkap KompolNovel Baswedan, penyidik
kasus tersebut, dengan alasan ada kasus lama Novel yang belum
terselesaikan.
Dimulailah ketegangan Cicak
vs Buaya jilid 2. Publik marah, aksi besar-besaran di Bunderan HI
digelar : KPK = Kemana Presiden Kita, akhirnya memaksa SBY turun tangan.
Tak sekedar mengucap prihatin, tapi kali ini Presiden SBY mengeluarkan
instruksinya. Kasus Irjen DS ini pun bergulir, banyak kejutan :
diketahui ada istri-istri DS yang selama ini pernikahannya rapi
tertutupi. Berpuluh-puluh asset berupa rumah dan tanah, SPBU, apartemen
di dalam dan luar negeri, mobil-mobil mewah bahkan bis wisata dan sebuah
kebun binatang yang dikitari villa, semua itu adalah kekayaan DS yang
tak sesuai profilnya. KPK pun menerapkan pasal TPPU, Tindak Pidana
Pencucian Uang.
====================================================
2013 : LHI, RUDY RUBIANDINI DAN AKIL MOCHTAR
Januari 2013 dibuka dengan
penangkapan KPK terhadap Ahmad Fathanah dan 2 orang dari PT. Indoguna
Utama, perusahaan importir daging sapi. Dalam waktu 24 jam, KPK kemudian
menangkap Luthfi Hasan Ischaaq, Presiden PKS, berdasarkan keterangan
AF. Kasus ini sangat mengejutkan publik dan sempatmengalihkan hiruk
pikuk issu korupsi lainnya. Kasus suap penambahan kuota daging sapi
impor yang diduga melibatkan pimpinan partai dakwah itu telah membuat
banyak pihak tercengang. Begitu banyak wanita cantik diduga menerima
aliran dana dari Fathanah, juga terungkapnya pernikahan LHI dengan
seorang pelajar SMA yang dilakukan ketika si gadis masih di bawah umur.
Kasus ini telah membuka
mata, betapa para penyelenggara negara tidak bisa membatasi diri dari
keakraban dengan para makelar. Bayangkan, dalam urusan pemenangan
Pilkada saja, seorang makelar seperti Ahmad Fathanah bisa duduk semeja
makan dengan para petinggi partai. Makelar pula yang membiayai pelesir
bulan madu sang pimpinan partai. Jadi, kalau seandainya kedekatan itu
disalahgunakan oleh si makelar, mestinya tak sepenuhnya salah si
makelar. Sebab sebelumnya para petinggi partai itu telah membuka pintu
bagi si makelar. Bukan hanya nama Fathanah yang megemuka, ada pula nama
Yudi Setiawan dan terakhir Bunda Putri alias Non Saputri. Keberadaan
para makelar itu merambah Kementrian, parpol dan bisa jadi istana.
Pekan terakhir Februari 2013,
mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai
tersangka kasus Hambalang. Sampai sekarang Anas belum ditahan meski
sudah 10 bulan jadi tersangka. Bahkan kini istrinya, Athiyah Laila ikut
dibidik pasca penetapan Mahfud Suroso sebagai tersangka. Hal ini karena
Athiyah pernah menjabat sebagai Komisaris saat Mahfud Suroso menjadi
Direktur PT. Dutasari Citra Laras. Mungkinkah pada 2014 nanti Anas
ditahan? Bagaimana posisi istrinya? Kita masih harus menunggu kerja KPK
lebih lanjut.
Hanya sepekan setalah libur
Idul Fitri, pada Agustus 2013, kembali publik dikejutkan dengan
tertangkaptangannya Ketua SKK Migas, Rudy Rubiandini. Seorang akademisi,
guru besar sekaligus pernah menjadi dosen teladan ITB itu ditangkap
ketika menerima suap dari Kernel Oil yang diserahkan oleh Deviardi,
pelatih golf RR. Kembali publik terkesiap. Setelah seorang ustadz yang
terlibat suap, kini akademisi besar pun terkena kasus yang sama. Sampai
kini, kasusnya baru memasuki persidangan dengan terdakwa pimpinan Kernel
Oil Indonesia, Simon Tanjaya. Meski baru dimulai, kasus ini sudah
menyeret beberapa nama antara lain Sutan Bathoegana dan Tri Yulianto,
keduanya lagi-lagi dari Partai Demokrat. Bahkan, nama Ibas pun sempat
disebut, meski sampai kini belum ditindaklanjuti sejauh mana perannya.
3 Oktober 2013, lagi-lagi
KPK membuat kejutan dengan menangkap tangan Ketua MK Akil Mochtar dan
seorang anggota DPR RI dari Golkar : Khairun Nisa, dan seorang pengusaha
yang diduga menjadi perantara suap bagi Bupati Gunung Mas, Hambit
Bintih. Tak hanya itu, seorang pengacara wanita dan adik Gubernur Banten
pun turut ditangkap KPK. Kasus ini menggelinding bak bola salju. Ada 2
hal besar yang terungkap : pertama adalah permainan jual beli putusan
untuk perkara sengketa Pilkada yang masuk ke MK, kedua adalah berbagai
kasus korupsi pengadaan sarana dan pembangunan proyek-proyek konstruksi
di Provinsi Banten serta politik dinasti keluarga Atut Chosiyah.
Penangkapan Akil Mochtar benar-benar menampar telak wajah peradilan
negeri ini. Kepercayaan terhadap MK runtuh seketika, bahkan pihak yang
diputus kalah pun berani merusak ruang sidang. Sementara, di Banten,
banyak elemen masyarakat mulai berani bicara lantang. Entah seperti apa
dan kemana arah perkembangan kasus Akil dengan dua dimensinya ini.
====================================================
Dari perjalanan berbagai
kasus korupsi besar yang fenomenal dan menguras perhatian publik, tampak
bahwa eskalasi kasus korupsi bukan mengecil tapi justru membesar. Jika
dulu hanya melibatkan pengusaha dan pejabat di DPR, kini sudah merambah
pimpinan parpol, akademi terpercaya dan pucuk pimpinan lembaga penjaga
konstitusi. Nilai yang dikorup pun makin lama makin besar. Ironisnya
lagi, hampir di semua kasus korupsi besar yang melibatkan politisi, ada
nama politisi dari partai berkuasa yang disebut, atau ada nama orang
dekat istana yang turut terlibat. Entah sekedar mengaku-aku dan
memanfaatkan kedekatan dengan Presiden/Ibu Negara, yang jelas para
makelar telah merambah kemana-mana. Ada nama Sengman, ada Bunda Putri
alias Non Saputri, serta Bunda Putri yang lain alias Ibu Pur.
Bahkan mencegah agar kader
partainya sendiri tak ikut-ikutan korupsi saja, SBY gagal. Mensterilkan
istana dari kelebat para makelar, tampak juga SBY gagal. Karena dengan
mudahnya orang bisa mengklaim dekat dengan SBY. Dimulai dari Yuliana Ong
pada 2009 sampai ibu Pur di 2013. Kini, banyak sekali PR KPK yang belum
tuntas : ada Century, Hambalang, SKK Migas, Ketua MK dan jangan lupa
pula yang melibatkan sejumlah dugaan korupsi di Banten. Jikalau pemimpin
negeri yang terpilih pada 2014 nanti adalah pihak yang punya
kepentingan mengamankan kasus-kasus itu, maka makin suramlah masa depan
pemberantasan korupsi di Indonesia. Jangan lupa, saat ini sudah ada
Capres yang menganggap kiprah Atut takjadi masalah, sepanjang
menguntungkan bagi partai. Jadi, sekali lagi, kita bisa jadi menatap
masa depan pemberantasan korupsi dengan suram, jika salah pilih pemimpin
di 2014.
Catatan Ira Oemar