Perempuan yang dikenal sangat digdaya itu kini
duduk terpekur, sendiri, mulutnya terkatup rapat, tak seulas senyumpun
terukir di bibirnya, mata sembabnya kini tak lagi bisa ditutupi oleh
riasan setebal apapun, wajahnya yang terkenal kinclong mengkilat, kini
tak lagi bersinar. Sekitar 15 menitan ia menunggu hanya ditemani seorang
polisi yang mengajaknya bicara dengan sikap santai. Hmm…, coba kalau
didaerah kekuasaannya, polisi itu pasti akan membungkuk takzim saat
menyapanya. Akhirnya sejumlah petugas menggiringnya. Mengenakan rompi
orange bergaris hitam bertuliskan “Tahanan KPK”, ia dibawa menerobos
puluhan bahkan ratusan pemburu berita. Kilat lampu kamera berusaha
dihindarinya. Inikah akhir perjalanan politik sang ratu yang konon
dandanannya bernilai milyaran itu?
Atut Chosiyah, sang “ratu” Banten yang
ditahtakan oleh ayahnya, Chasan Sochib, penguasa tanah jawara karena
“kejawaraan”nya, kini harus tertunduk lemas, menangis tersedu, pasrah
dan kalah pada keputusan penyidik KPK. Bak durian runtuh, Banten yang
dulu tergabung dalam propinsi Jawa Barat, sejak adanya Undang-Undang
Otonomi Daerah, memisahkan diri dari induknya. Chasan Sochib yang semula
tak percaya Banten bisa memisahkan diri, kini justru melihat peluang
untuk berkuasa,lewat tangan putri sulung dari istri pertamanya.
Dipanggillah sang putri, diaturlah strategi : siapapun gubernurnya, yang
penting putrinya jadi wakil gubernur. Tanpa bekal jiwa kepemimpinan
yang mumpuni, tanpa pengalaman kemasyarakatan yang cukup, dikarbitlah
sang putri naik ke tampuk pimpinan. Bapaknya, sang penguasa jawara,
selalu siap memback up.
Hanya 3 tahun menjabat, sang gubernur “jatuh”
karena kasus korupsi. Maka naiklah sang putri menggantikannya, menjadi
Plt. Gubernur Banten. Dua tahun kemudian, dia kembali terpilih menjadi
Gubernur lewat persaingan ketat dengan Marissa Haque yang sempat
merepotkannya dengan issu dugaan ijazah palsu. Sayang, bapaknya
meninggal 2 tahun lalu. Mengendalikan Banten dengan kekuasaan tak lagi
mudah. Kini, sang ratu yang telah terpilih kembali untuk kedua kalinya
pada 2011 lalu, terpaksa meringkuk di rutan Pondok Bambu, bersesakan
dengan 15 napi kasus kriminal lainnya. Puluhan rumah mewahnya yang
menjanjikan kenyamanan, terpaksa ditinggalkannya. Baju bermerk seharga
jutaan rupiah, kini dilapisi rompi orange menyolok mata.
Di sana, ia akan bertemu Miranda Goeltom, Angelina Sondakh dan Nunun Nurbaetie, sesama penyuka produk fashion branded kelas
dunia. Para perempuan yang peduli akan penampilannya, kini harus
menghitung hari di balik tembok rutan. Bisa jadi sang ratu shock
sejak penetapannya menjadi tersangka, sebab berkaca pada kasus Angelina
Sondakh yang harus menerima hukumannya diperberat. Para hakim kini
sedang tak ramah pada terdakwa kasus korupsi. Bahkan Irjen Djoko Susilo
pun hukuman penjaranya diperpanjang dan dendanya diperberat. Akankah
sang ratu demikian pula? Menghabiskan sisa usia di balik dinding rutan,
merelakan asset-assetnya disita untuk negara dan pundi-pundi uangnya
terkuras untuk membayar denda? Mari kita tunggu saja endingnya.
==========================================
Seandainya para perempuan pergerakan yang
menjadi pelopor dan panitia pelaksana Kongres Perempuan Indonesia
pertama pada 22-25 Desember 1928 masih hidup, mungkin mereka akan
menangis darah. Bukan itu tujuan Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti
Sundari, Ny. Soekaonto dan lain-lain mendeklarasikan kebangkitan
perempuan Indonesia di Jakarta kala itu. Sungguh bukan persoalan mudah,
ketika transportasi di tanah jajahan Belanda ini masih sulit, para
perempuan dari seluruh Indonesia nekad berkumpul di tanah Mataram (Joga
sekarang) demi menyuarakan keterwakilannya. Berhari-hari mereka
tinggalkan keluarga demi memperjuangkan berbagai issu utama seputar
harkat dan martabat perempuan. Tak semua perempuan yang hadir di Kongres
itu berpendidikan tinggi, tapi mereka punya pemikiran setinggi langit,
melampaui keterpasungan sebuah bangsa terjajah. Itulah pertama kali
perempuan menyuarakan keterwakilannya.
Kini, 85 tahun berlalu sejak Kongres
Perempuan I di Jogja. Tak ada lagi Kongres Perempuan. Para perempuan
Indonesia bebas mau jadi apa saja. Berkarir di ranah politik pun bukan
hal yang tabu. Bahkan sejak Pemilu 2004 lalu, ada affairmative policy
yang mengharuskan keterwakilan 30% perempuan di kursi parlemen. Maka,
perempuan termasuk yang diburu parpol untuk memenuhi syarat keterwakilan
30% agar daftar caleg yang mereka ajukan tak dicoret KPU. Dijalanan,
spanduk dan baliho bergambar wajah cantik perempuan tersenyum ceria
mengajak masyarakat memilihnya, bertebaran dimana-mana. Betulkah mereka
simbol keterwakilan perempuan atau sekedar pelengkap pengajuan caleg
bagi parpol?
Ada yang berlatar belakang pesohor, artis
dari panggung hiburan yang hiruk pikuk dengan kegemerlapan duniawi.
Selama ini, sang artis hanya masuk berita di kanal infotainment, soal
pertengkarannya dengan sesama artis wanita, atau soal gugat menggugat
dengan pengusaha kaya raya yang pernah menikahinya. Kini, mendadak sang
artis bertransformasi menjadi calon politisi. Apa yang bisa diharapkan
dari “wakil” dengan rekam jejak seperti itu? Pahamkah dia bagaimana
mengawal proses legislasi agar sebuah undang-undang yang disahkan
pro-rakyat? Ataukah dia hanya lihai soal lobbying untuk meng-goal-kan fee
proyek-proyek yang didanai APBN? Angelina Sondakh sudah membuktikannya.
Kiprahnya dalam rapat dengar pendapat atau pembahasan RUU nyaris tak
pernah terdengar. Tapi dalam kasus proyek-proyek Pemerintah
yang diloloskan melalui Komisi-nya, dia disebut aktif melobi sehingga
Hakim MA tak ragu menjatuhinya hukuman 12 tahun penjara.
Tak hanya di parlemen saja perempuan
Indonesia berkiprah. Di eksekutif pun mereka berkompetisi. Muncullah
beberapa Bupati/Walikota perempuan. Sesungguhnya, perempuan punya
keunggulan yang diberikan oleh alam, yang bisa menjadi bekal baginya
untuk jadi pemimpin bagi masyarakatnya. Sebagai ibu yang
merasakan beratnya mengandung dan melahirkan anak, membesarkan dan
mendidik keturunannya, mereka lebih punya kepekaan sosial dibanding kaum
pria. Perempuan lebih mudah tersentuh, tak ingin melihat sesamanya
jatuh, tak mau mendapati lingkungannya kumuh. Ia akan berjibaku agar
kehidupannya dan sekitarnya lebih nyaman dan lebih menenteramkan. Jika
sisi ini yang menonjol, niscaya perempuan, entah dalam perannya sendiri
atau sebagai pendamping suami, mereka bisa jadi motivator tangguh.
Namun di sisi lain, perempuan kerap pula
disebut “perhiasan dunia”. Maka tak heran jika mereka pun penyuka
perhiasan dunia. Sayangnya, tak ada perhiasan yang murah, semua harus
ditebus dengan harga selangit. Lalu bagaimana kalau tak terjangkau? Tak
ada jalan lain : segala cara harus dilakukan agar keinginan hati
terpenuhi. Halal atau haram itu urusan belakangan. Yang penting, “uang
tambahan” bisa masuk kantong dan terbelilah pelengkap gaya hidup kelas
atas. Jika nafsu ingin memiliki semua keindahan dan perhiasan ini yang
menonjol, maka perempuan, entah dalam perannya sendiri atau sebagai
pendamping suami, mereka bisa jadi penyebab korupsi.
Atut, gubernur perempuan pertama dan
satu-satunya, harus mengakhiri karir politiknya di tangan penyidik KPK.
Tri Risma Harini, satu dari sekian Bupati/Walikota perempuan, namanya
dielu-elukan masyarakatnya bahkan hingga di level internasional pun
mengapresiasi kepemimpinannya. Keduanya sama-sama kepala daerah, tapi
keduanya mengedepankan sisi keperempuanan yang berbeda. Atut yang selalu
tampil serasi, anggun dan berkelas, tampak sangat jauh dibandingkan
Risma yang lebih sering tampil kusut masai dan berkeringat karena lebih
banyak berada di lapangan.
Atut bahkan tak tahu – atau tak peduli? – bahwa
tetangga yang hanya berjarak 10 menit dari rumahnya, bahkan berada di
satu jalan yang sama dengan rumah tinggalnya, bergelut dalam kemiskinan
akut dan berjibaku menyelamatkan hidup anak-anak mereka yang menderita
gizi buruk. Dalam setahun Atut bisa pelesir berkali-kali ke berbagai
kota pusat mode dunia, hanya untuk mendatangi butik merk ternama dan
membeli koleksinya yang berharga ratusan juta. Sementara, puluhan siswa
SD harus bergelantungan menyabung nyawa menyeberang jembatan yang hanya
tinggal seutas tali, hanya demi ke sekolah. Risma sebaliknya, ia tahu
betul titik mana yang akan tergenang air saat hujan deras, tahu betul
apa yang dikehendaki rakyatnya, karena ia “berbicara” dengan mereka, ia
hadir bersama rakyatnya, dalam susah dan senang.
Risma mendatangi perempuan pekerja seks,
memotivasi mereka untuk bangkit dan mencari pekerjaan yang halal.
Menanyakan pada warga usaha apa yang mereka inginkan untuk difasilitasi.
Sementara Atut, yang menyandang jabatan sebagai salah satu Ketua di
KPPG – sayap poltik Golkar – yang membidangi Pemberdayaan Perempuan,
justru tak peduli ketika perempuan yang tinggal tak jauh dari rumahnya,
justru belum berdaya keluar dari himpitan kemiskinan. Apa yang
dilakukannya sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan? Mendatangi
kaum ibu dan anak-anak sambil membagi-bagikan kerudung dan makanan serta
mainan anak-anak di masa kampanye, agar para perempuan itu terkesan
dengan “kebaikan hati”-nya lalu memilihnya di bilik suara? Pemberdayaan
macam apa yang bisa dilakukan seorang perempuan kepada sesamanya ketika
dirinya sendiri belum mampu mengendalikan keinginan konsumtifnya?
Bagaimana akan bisa berdaya jika dirinya sendiri masih terpedaya oleh
gemerlapnya produk fashion? Bagaimana akan memberdayakan warganya jika
ia sendiri belum terbebas dari perangkap gaya hidup hedonis?
Ironi bagi perpolitikan perempuan Indonesia,
sebab setelah 85 tahun berlalu sejak Kongres Perempuan I yang kemudian
ditetapkanmenjadi hari Ibu, ternyata makin banyak saja kaum Ibu yang
harus masuk ke rutan Pondok Bambu. Setidaknya, sejak Desember 2011, ada
Nunun Nurbaetie, disusul Miranda Goeltom, Angelina Sondakh, Wa Ode
Nurhayati, Neneng Sri Wahyuni, kini Atut Chosiyah, besok lagi siapa?
Airin Rachmi Diany yang juga sedang dibidik KPK?
Jika harus berakhir demikian, tampaknya
perempuan Indonesia yang memilih terjun ke ranah politik, harus kembali
merenungkan kembali apa visi dan misinya. Harus kembali meluruskan niat.
Banyak-banyak “bercermin” dan bertanya lagi pada diri sendiri : sudah
cukupkah modalnya untuk terjun ke dunia politik? Modal wawasan,
pengetahuan, kepekaan sosial, kekritisan terhadap kondisi kekinian dan
paham benar culasnya dunia politik.
Jika sempat terbersit niatan untuk mencari
penghasilan yang besar di dunia politik, ada keinginan untuk dapat gaji
besar dan fasilitas selangit dengan jadi wakil rakyat, maka urungkan
saja niat itu. Sebab, jika nanti sudah jatuh, pintu penjara terbuka
lebar, maka partai politik akan say goodbye. Demi menjaga citra sebagai parpol yang bersih, kader yang tersangkut perkara korupsi akan didepak jauh-jauh.
Tak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah
kepentingan abadi. Slogan “pemberdayaan perempuan” kerap tergelincir
menjadi “memperdayakan perempuan”. Penetapan Atut sebagai tersangka
kasus suap, ditahannya ia di rutan Pondok Bambu, adalah cermin besar
yang nyata, betapa perempuan di dunia politik kerap tak sadar, bahwa
dirinya sedang terpedaya, bukan sedang berdaya. Tragis…, satu lagi ibu
yang masuk rutan, hanya selang 2 hari menjelang hari ibu. Selamat hari
Ibu, bu Atut dan ibu-ibu di rutan Pondok Bambu lainnya, selamat
merenungi makna “HARI IBU”.
Ira Oemar