Pagi tadi, saya baru mengikuti tayangan berita jam
6.30 dan langsung terkaget-kaget karena sepagi itu Metro TV menayangkan
Exclusive Breaking News dari Gedung KPK. Yang lebih mengagetkan lagi,
karena fokus berita adalah tokoh yang ditangkap tangan KPK, yaitu Kepala
SKK Migas yang juga mantan Wamen ESDM, Rudi Rubiandini. Seseorang
dengan latar belakang non parpol, seorang akademisi – profesor di
Institut Teknologi Bandung – yang selama ini integritasnya dinilai baik.
Namun mengira KPK asal main tangkap tanpa didukung bukti awal yang
kuat, rasanya juga tak mungkin KPK segegabah itu. Apalagi dengan adanya
barang bukti berupa uang senilai 400.000,- USD yang langsung disita dari
rumah Prof. Rudi sesaat setelah penggeledahan, menunjukkan bahwa
indikasi yang bersangkutan menerima sejumlah besar uang dari pihak lain,
sudah cukup kuat.
Diduga, uang 400 ribu dolar Amerika itu bukan
baru pertama kali diterima Prof. Rudi. Disinyalir beliau sudah pernah
menerima 300.000,- USD sebelumnya, yang diduga suap dari Kernel Oil.
Kalau benar begitu, jumlah yang setara 7 milyar rupiah lebih itu tentu
tak sedikit. Sementara pihak SKK Migas sendiri, melalui Kepala Humas-nya
yang dihubungi melalui sambungan telepon oleh Metro TV, mengaku belum
bisa memastikan kebenaran kabar suap tersebut, mengingat Kernel Oil
bukanlah operator yang menguasai tambang migas. Lalu, seberapa besar
peluang Rudi Rubiandini menerima suap? Bukankah selama ini integritas
beliau dikenal cukup baik?
BENARKAH RR MUSANG BERBULU AYAM?
Menurut sebuah berita di Kompas.com, Rudi Rubiandini (RR) beberapa waktu lalu memang dilaporkan ke KPK terkait dugaan menerima suap dari perusahaan migas. Entah pihak mana yang melaporkan, dalam berita itu tak disebutkan dengan jelas.
SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi)
adalah unit kerja yang dibentuk pasca pembubaran BP Migas melalui
keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari uji materi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. MK berpendapat bahwa keberadaan
BP Migas tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan negara
tentang pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintah.
Bahkan MK sudah mengendus adanya praktik-praktik mafia dalam tubuh BP
migas, berpotensi terjadinya inefisiensi dan membuka peluang adanya
penyalahgunaan kekuasaan negara. Menyikapi pembubaran BP Migas ini,
menurut Mahfud MD – Ketua MK saat keputusan itu diketok palu – Rudi Rubiandini orang yang paling kebakaran jenggot dan menentang putusan MK.
Bahkan, Mahfud MD secara telak menyebut RR adalah “musang berbulu ayam”
dan berharap RR dihukum berat, karena orang seperti ini dianggapnya
merugikan negara dengan menggerogoti dari dalam lembaga yang
dipimpinnya. Bahkan Mahfud MD menyatakan dengan tertangkap tangan RR
menerima suap, berarti dugaan MK terbukti.
Lain lagi dengan Drajad Wibowo, mantan anggota
DPR RI yang juga Wakil Ketua Umum PAN. Politisi yang berangkat dari
latar belajang akademisi ini menilai RR kini tak lagi idealis
sejak beliau bersedia masuk ke BP Migas dan menjadi Wakil Menteri ESDM.
Hal ini karena sebenarnya sebagian besar pandangan RR sangat berbeda
dengan Pemerintahan yang sekarang. Dengan kata lain, ketika beliau
bersedia masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, maka idealisme itu sudah
berubah.
KESALAHAN SISTEM YANG MEMBUKA PELUANG KORUP?
Berbeda dengan Mahfud MD dan Drajad Wibowo, Wakil
Ketua DPR Pramono Anung yang juga alumni ITB, menyatakan bahwa besarnya
kewenangan pemangku jabatan Kepala SKK Migas, cenderung membuat siapa
saja terjerumus ke dalam tindak pidana korupsi. Tak adanya lembaga
pengawasan di internal SKK Migas yang saat ini hanya diawasi oleh DPR,
membuat siapa saja yang berada di situ bisa ikut korupsi, karena
sistemnya membuka peluang untuk korupsi. Pramono menyebut RR sebagai
akademisi yang jujur dan sederhana.
====================================================
Apapun penyebab terjadinya tindak pidana suap,
baik dari sisi penyuap maupun penerima suap, penangkapan Prof. Rudi
Rubiandini sangat memprihatinkan. Ini akan makin menggerus kepercayaan
masyarakat kepada semua tokoh, yang makin hari sudah makin menipis. Jika
kepercayaan kepada tokoh politik/politisi, terutama yang duduk di
parlemen bisa dibilang sudah mencapai titik nadir, publik masih menaruh
harapan pada sedikit tokoh yang memiliki integritas moral baik yang
berasal dari non parpol. Terutama mereka yang berlatar belakangan
akademisi, yang dianggap lebih mengedepankan intelektualitas ketimbang
ambisi kekuasaan dan keinginan untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Patut disayangkan, jika benar beliau seseorang
yang idealis, begitu mudahnya idealisme luntur hanya karena sistemnya
memungkinkan beliau untuk menggunakan kewenangan yang besar sebagai alat
barter dengan perusahaan migas, demi segepok dollar yang masuk ke
kantong pribadi. Semestinya beliau justru bisa melihat lubang-lubang
yang perlu ditambal dan mengusulkan perbaikan untuk menutup celah dan
peluang korupsi itu, bukan justru memanfaatkannya. Apalagi, dalam
penggeledahan di rumah beliau, KPK turut pula menyita sebuah moge (motor
gede) merk BMW yang diduga merupakan bagian dari suap atau gratifikasi
yang diterima Rudi, yang kini sedang didalami oleh KPK.
Akhirnya, saya hanya bisa berharap agar KPK
masih punya cukup banyak stamina untuk terus bekerja dan bekerja. Karena
kasus-kasus korupsi, suap dan gratifikasi di negeri ini seolah tak
pernah ada hentinya, saling susul menyusul. Melibatkan hampir semua
pejabat baik yang berasal dari parpol maupun non parpol. Kini, akademisi
pun (diduga) turut jadi pelaku. Mungkin benar kata tokoh Bang Napi :
“Kejahatan terjadi bukan saja karena ada niat pelaku, tapi karena adanya
kesempatan. Waspadalah!! Waspadalah!!!” Selamat bekerja KPK.
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer