Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Modernisasi Kota Pariaman

3 Agustus 2013 | 3.8.13 WIB Last Updated 2013-08-05T18:05:09Z





Untuk ukuran peneliti, selama 10 bulan di lapangan secara rutin adalah luar biasa banyak. Contoh, saya menempuh mendidikan magister (S2) selama dua tahun. Waktu yang disediakan untuk menulis tesis kurang dari 6 bulan. Itupun hanya berdasarkan sejumlah wawancara yang terbatas, serta lebih banyak studi kepustakaan. Jadilah sebuah tesis yang sudah dibukukan: “Bouraq Singa Kontra Garuda: Pengaruh Sistem Lambang Dalam Konflik GAM versus RI.” 

Ada juga sejumlah peneliti dari luar negeri yang datang ke Indonesia, melakukan sejumlah wawancara, hanya dalam satu-dua bulan atau bahkan satu-dua minggu. Apa hasilnya? Mereka menjadi expert (ahli) di bidang penelitiannya. Sebagai ilmuwan, saya memang lebih banyak mempelajari Aceh, Papua dan sejumlah daerah lainnya. Begitu juga dengan sejumlah negara lain, guna mencari perbandingan dengan masalah-masalah yang dihadapi Indonesia dewasa ini. 

Bagaimana dengan Pariaman? Sejumlah peneliti datang, ada yang lama, ada yang sebentar. Salah satunya Tome Pires, 5 abad yang lalu. Ia hanya datang sebentar, tetapi mampu mencatat nama Pariaman untuk pertama kalinya dalam naskah tua dan legendaris Suma Oriental. Naskah yang berusia 5 abad tentang perjalanannya ke Pariaman. Dalam 5 abad itu juga terjadi titik-titik perubahan di Kota Pariaman, dalam setiap abadnya. 

Dibandingkan dengan masa kedatangan Tome Pires 5 abad lalu, atau kedatangan pasukan Sir Stamford Raffles kemudian, atau perang melawan orang-orang Belanda yang mengikutsertakan Kapiten Jonker dari Ambon dan Aru Palaka dari Sulawesi Selatan, bahkan sebelum Jepang terusir lalu terjadi revolusi sosial yang berdarah dengan korban suku Tionghoa, Pariaman hari ini semakin homogen. Jejak sebagai kota bandar di masa lalu, hanya bisa dilihat dari kapal-kapal yang bersandar di muara sungai tanpa dermaga. 

***

Jauh sebelum mencalonkan diri sebagai walikota Pariaman, saya sudah mempelajari sejarah dan kehidupan kota ini. Apalagi, saya lahir di Kota ini, sebagai putra Kampung Perak, dengan ibu yang berasal dari Lansano Kampuang Dalam dan ayah yang berasal dari Aie Angek Tanah Datar. Saya merasa senang, karena gabungan dari pesisir dan darek sekaligus. Saya semakin mengenali kota ini ketika menjadi siswa SMA Negeri 2 Pariaman di Rawang selama tiga tahun. 

Sejak kecil, saya sudah terbiasa memakan tebu, memanjat pohon seri, mencari buah melinjo (baguak), berlarian di pinggir pantai, berenang, menonton di bioskop Garuda. Rasa-rasanya, banyak atraksi yang bisa dilihat, juga gedung-gedung dan bangunan lainnya. Pariaman adalah pusat pemerintahan Padang Pariaman, termasuk juga Kepulauan Mentawai. Sejumlah anak Mentawai juga sekolah di Pariaman.

Kini? Pariaman menyisakan suasana berbeda. Kemiskinan naik, pengangguran meningkat, hanya seperempat anak-anak tamatan sekolah menengah atas yang bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Perbedaan sosial semakin terlihat, dengan pemandangan orang-orang kaya yang berdampingan hidup dengan orang-orang miskin. Pasar Kota Pariaman sepi pembeli, namun pinggiran jalanan di Kampung Pondok atau Kampung Jawa, terlihat mobil-mobil berhenti membeli mebel. 

Beberapa kawasan mati, beberapa yang lainnya hidup. Namun, lebih banyak yang mati (dari sisi ekonomi) daripada yang hidup. 

Tentu, masalah ini juga bukan kesalahan pemerintahan sekarang. Skala prioritas pemerintahan kota sudah sangat baik, yakni di bidang pendidikan, kesehatan dan kebersihan lingkungan. Bahkan menjangkau kota layak anak. Setiap pagi sebelum subuh, para petugas kebersihan sudah menyapu jalanan. Tidak semua hal bisa dikerjakan dalam semalam. Kesulitan di bidang anggaran begitu terasa, mengingat Kota Pariaman adalah kota yang menggantungkan hidupnya pada Pemerintah Pusat. Lebih dari 90% APBD Kota Pariaman adalah anggaran pusat. 

Apa artinya? Kota Pariaman tidak bisa menghidupi dirinya sendiri. Pendapatan Asli Daerah sangat  kecil. Tanpa perlu menyebut angka, Pendapatan Asli Daerah Kota Pariaman ini bahkan tidak bisa menghidupi aparatur pemerintahan selama satu bulan. Lagi-lagi, keadaan ini terjadi akibat kota ini memang lahir dalam semangat otonomi luas yang menghebat, dengan harapan ada anggaran daerah lain atau pusat yang bisa diulurkan ke Kota Pariaman. 

***
Lalu apa yang bisa dilakukan? Salah satu jalan adalah penghematan anggaran. Penghematan dilakukan dengan cara mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu, lalu mengompensasikan dengan kinerja aparatur. Skala prioritas juga disusun. Apa yang lebih penting sekarang: membangun infrastruktur atau mengembangkan sektor ekonomi kreatif? Kalaupun infrastruktur dibangun: apakah memperbaiki pasar atau membuat trotoar jalanan? Benarkah trotoar lebih penting daripada selokan atau gorong-gorong? Demikian seterusnya. 

Dari sinilah visi modernisasi Kota Pariaman kita canangkan. Artinya, Kota Pariaman diletakkan dalam kerangka sebuah kota yang benar-benar kota. Kota dalam artian yang sebenarnya. Jangan sampai jadi pameo, seperti yang disampaikan Pak Jusuf Kalla kepada saya: “Kota Pariaman itu kecil, tapi kantor walikotanya besar.” Ya, boleh saja kantor walikota besar, tetapi kebesarannya mewakili kebesaran lainnya di bidang ekonomi, misalnya. 

Modernisasi Kota Pariaman yang berhasil adalah modernisasi yang berakar dari kebudayaan Pariaman. Ada banyak mesjid, lapau, dangau, kuliner, gandang tasa, pedagang, sawah, silek, burung, layang-layang danguang, sala bulek, dan sebagainya. Modernisasi kota berarti meletakkan segala sesuatu yang sudah dimiliki itu sebagai inti dari kemajuan, bukan malah menyimpannya di halaman belakang atau hanya sekadar etalase. 

Saya membayangkan perjalanan ke Yala, Pattani dan Narratiwat di Thailand Selatan. Seperti memasuki alam lama Minangkabau, termasuk Pariaman di masa lalu. Masalahnya, Kota Pariaman makin sepi, sementara di Yala, Pattani dan Narratiwat yang menjadi basis kaum Muslim itu, semakin sibuk. Begitulah, Pariaman di masa depan adalah Pariaman yang berpijak kepada akar budayanya sendiri, termasuk mengenakan topi ketika berburu atau kopiah dalam aktivitas lainnya. 

Modernisasi Kota Pariaman menjadi pilihan, mengingat hanya Pariaman Tengah yang sebenarnya suasananya menjadi masyarakat Kota. Artinya, perluasan suasana perkotaan ke area yang lain, seperti Pariaman Selatan, Timur dan Utara, menjadi penting. Bagaimana caranya? Menyebarkan simbol-simbol kota di seluruh area, melakukan pengaturan lalu lintas, sampai melakukan pembangunan yang tidak hanya terpusat di tengah. Iko Jaleh Piaman! 

Catatan Indra Jaya Piliang, Calon Walikota Pariaman
×
Berita Terbaru Update