Lagi dan lagi-lagi, kita dikejutkan beredarnya buku
untuk siswa SD yang isinya sangat tidak pantas dibaca anak SD. Bukan
karena terlalu rumit dicerna, tapi karena konten pornografi dan
sensualitas yang digambarkan melalui deretan kalimat-kalimat yang
vulgar. Katakanlah itu buku anak SMP sekali pun, tetap saja tak pantas
ada di buku sekolah.
Adalah SDN Polisi dan SDN Gunung Gede, Bogor
yang merekomendasikan sebuah buku Bahasa Indonesia untuk siswa kelas 6
yang bisa dibeli di toko buku tertentu. Buku seharga Rp. 31.500,00
itupun dibeli para wali murid.
Jaman sekarang, kalau guru sudah
menginstruksikan – walaupun berdalih tanpa paksaan – tetap saja wali
murid akan mengupayakan membeli demi anak mereka bisa mengikuti
pelajaran dengan baik. Kembali ke buku tersebut, salah satu orang tua
siswa bernama Pak Azwar, menemukan bahwa di halaman 55-60 terdapat
sebuah cerpen yang didalamnya berisi cerita tentang seorang wanita yang
menjadi PSK di kota karena masa lalunya yang kelam, pernah diperkosa
oleh seorang mandor hingga hamil dan melahirkan seorang anak.
Bukan
hanya cerita garis besarnya saja, tapi cerpen itu pun menggambarkan
dengan detil bagaimana awalnya wanita itu menjajakan tubuhnya di sebuah
warung remang-remang. Tak ketinggalan pula bagaimana “proses” dia
menggugah gairah lelaki. Saya tak ingin mencopy-paste disini, tapi kalau
anda ingin tahu bagian/kalimat seperti apa yang ada di buku itu,
silakan click disini, berita dari Detik.com.
Bagaimana mungkin sebuah cerpen yang tidak
diperuntukkan bagi anak usia SD bisa masuk dalam sebuah buku berlabel
“buku pelajaran Bahasa Indonesia”. Tahukah anda, apa yang ditugaskan
pada siswa seusai membaca cerpen tersebut? Buku itu meminta siswa
membuat ringkasan cerita tersebut. Tak berhenti samapi di situ, siswa
juga diminta untuk bisa mencari pesan moral dan mempresentasikannya di
depan kelas. How come?!
Bagaimana daya tangkap seorang anak SD yang –
seharusnya – masih lugu, harus merangkum cerita itu, mencari pesan
moralnya dan mempresentasikan di depan kelas. Bagaimana kalau mereka
salah fokus dan justru detil penggambaran adegan wanita dan pria dewasa
itu yang justru mendominasi sinopsis mereka? Bagaimana kalau mereka
kemudian justru lebih tertarik menggambarkan jakun yang bergerak-gerak
karena birahi, lalu menawarkan minuman keras pada wanita dan kemudian
peluk cium yang ingin dipresentasikan di depan kelas? Edan! Hanya satu
kata itu yang pantas diucapkan.
Pengarang cerpen itu, Deddy Tri Riyadi, menyatakan
dirinya sama sekali tak tahu menahu cerpennya – bergenre sastra untuk
dewasa – bisa dimasukkan ke buku pelajaran siswa SD. Menurutnya, ia sama
sekali tak pernah dihubungi penerbit. Dengan kata lain penerbit
mencomot begitu saja tulisannya dari blog pribadinya, tapi kemudian di
dalam buku itu mencantumkan blog lain sebagai sumbernya.
Padahal menurut Deddy, jika saja penerbitnya menghubunginya terus terang
mengatakan butuh tulisan cerita sastra untuk anak-anak, ia akan
memberikan tulisannya yang lain yang memang untuk anak usia SD.
Makin jelaslah kebobrokan moral penerbit.
Mencuri karya orang lain, lalu menerbitkannya menjadi buku pelajaran
sekolah. Jangan-jangan, bukan hanya satu cerpen itu saja yang hasil
curian. Hasil durian lalu diklaim didapat dari sumber lain, ini jelas
bukan sebuah keteledoran tak disengaja. Sebelum mengunduh dan
mencetaknya menjadi buku pelajaran, penerbit pasti sudah melakukan
editing. Jadi, sekali lagi muatan-muatan seperti ini jelas sebuah
kesengajaan. Sebuah upaya serius untuk mengajarkan hal-hal yang belum
sepantasnya dicerna siswa SD. Lalu apa motivasi di balik itu?
Pada pekan kedua bulan Nopember 2012 lalu, kita
juga dikejutkan dengan berita tentang buku pelajaran bahasa daerah bagi
siswa SD kelas 3 yang beredar di sebuah sekolah di Kudus, Jawa Tengah,
yang berisi “ajaran sesat” tentang rahasia awet muda dari seorang kakek.
Saat itu kebetulan saya berencana membuat tulisan tentang hal ini, tapi
karena kesibukan rutin, tulisan itu tak sempat diselesaikan. Kini saya
buka kembali penggalan tulisan saya yang tak selesai, untuk menyegarkan
kembali ingatan saya tentang “kesesatan” buku berbahasa Jawa itu. Waktu
itu saya menonton beritanya pertama kali di segemen berita sore Trans 7,
lalu selang 2-3 hari, Metro TV menayangkan secara jelas – di-shooting zoom – pada bagian yang sudah diberi highlights.
Dalam LKS bahasa daerah siswa kelas 3 SD
itu, pada bab “resep awet muda”, dikisahkan seorang kakek yang
memberikan nasehat kepada seorang anak muda, tentang rahasia awet
mudanya. Kurang lebih kisahnya : “Yen bengi sakdurunge turu aku nyimeng dhisik. Isuk sakwise sarapan aku mesti ora lali ngombe omben-omben ra ketang 2 gendhul”. (Kalau malam sebelum tidur aku nyimeng dulu. Pagi selesai sarapan aku tak pernah lupa minum minuman (keras) meskipun “hanya” 2 botol).
Dalam tayangan itu ditunjukkan audio visual
ketika sI ibu guru membacakan bab itu pada siswa siswinya yang memandang
dengan tatapan polos dan lugu. Menurut berita itu, dari “nasehat” sang
kakek inilah anak-anak baru tahu arti kata “nyimeng” =
mengisap ganja! Bahkan pada paragraf lain juga disebutkan salah satu
resepnya adalah kebiasaan merokok. Ini jelas sudah mengajarkan
kesesatan. Bukan hanya secara moralitas mengajarkan pada anak bahwa
perilaku mengisap ganja, minum miras, merokok seolah halal dilakukan,
tapi juga jelas bertentangan dengan kesehatan. Mana mungkin ganja, rokok
dan miras bisa memperpanjang umur (membuat awet muda) padahal jelas
pada kemasan rokok justru tertulis menyebabkan beragam penyakit.
Mau dibawa kemana anak-anak didik kita?
Bukankah anak se-usia mereka semestinya masih polos dan lugu, memahami
apa yang diajarkan begitu saja, belum bisa menyaring mana informasi yang
baik dan buruk. Anak kelas 3 SD di Kudus dikenalkan pada kebiasaan
buruk yang merusak fisik dan mental, anak kelas 4 SD di Jakarta
dikenalkan istilah “istri gelap”, lalu anak kelas 6 SD diberi gambaran
visualisasi melalui kalimat tentang persetubuhan yang dilakukan bukan
oleh pasangan yang sah pula!
Rasanya sulit dipercaya bahwa semua materi
ajar yang sesat itu adalah sebuah ketidaksengajaan belaka. Penulis buku
tak tahu, penerbit juga tak tahu, distributor buku dan agen penjualannya
tak tahu, yang lebih parah lagi : guru pengajar juga tak tahu! Mereka
baru tahu ketika ada orang tua/wali murid yang memprotes atau ketika
pelajaran sudah sampai pada bab tersebut. Anehnya, buku yang tak
diketahui isinya oleh guru ini justru dijadikan buku ajar dan
direkomendasikan kepada siswa agar membelinya. Sulit untuk memungkiri
bahwa ada motif ekonomi di balik itu. Semestinya Depdikbud tak hanya
merasa kaget dan mengaku kecolongan.
Tapi usut tuntas setiap kali
terjadi kasus seperti ini. Mulai dari hulu sampai hilir : siapa guru
pengajar yang merekomendasikan, adakah peran Kepsek ikut memerintahkan
guru agar menggunakan buku itu, siapa agen/distributor bukunya, siapa
penulis dan penerbit buku. Selama ini solusinya hanya sebatas
memerintahkan penarikan buku, selesai! Tak pernah terdengar kabar ada
sanksi hukum yang tegas bagi oknum-oknum yang terlibat peredaran buku
“sesat” semacam itu.
Sekolah Dasar adalah tahap awal siswa
belajar segala hal di luar keluarganya. Semestinya mereka tak hanya
dijejali pengajaran akademis semata, tapi justru lebih ditekankan pada
pendidikan moral dan pembentukan emotional quotient yang baik.
Dulu, pelajaran PMP jaman saya SD lebih banyak menekankan bagaimana
praktek-praktek hidup bermasyarakat yang seharusnya dijalankan. Esensi
persatuan, toleransi, gotong royong, saling menghormati, etika dan
kesantunan pada yang lebih tua atau pada yang patut dihormati. Saya tak
tahu, masih adakah pelajaran seperti itu jaman sekarang. Kalau pun ada,
tidakkah LKS-LKS bermuatan sesat itu justru mementahkan pelajaran moral
yang diajarkan di mata pelajaran lain? Tidakkah anak SD jadi bingung
dengan ajaran yang sangat bertolak belakang?
Sungguh kasihan anak-anak SD kita, mereka
korban paling mengenaskan dari komersialisasi pendidikan oleh sekelompok
oknum tak punya hati nurani. Kalau mau merusak moralitas dan mental
seseorang, memang paling efektif jika dilakukan sedini mungkin. Dan itu
sudah terjadi di sebagian Sekolah Dasar di berbagai daerah. Ironisnya
lagi, hampir semua kejadian itu selalu menimpa sekolah negeri, yang nota
bene semestinya betul-betul di bawah pengawasan Depdikbud.
Kenapa Depdikbud tak menghidupkan lagi
buku paket seperti jaman Orde Baru dulu? Penerbitnya BUMN Balai Pustaka.
Selain isi dijamin terkontrol sepenuhnya, materi ajar pun bisa
distandarkan seluruh Indonesia. Ah, rasanya kita makin mundur kalau
bicara soal pendidikan. Hanya bisa berdoa semoga anak-anak kita kelak
tidak jadi anak yang pintar otaknya tapi bobrok moralnya.
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer