Seperti sudah diprediksi oleh para pengamat,
persidangan 4 terdakwa kasus suap kuota daging sapi impor akan penuh
dengan kejutan. Kejutan pertama adalah pengakuan Maharani Suciono ketika
duduk di kursi saksi dalam sidang untuk terdakwa Arya Abdi Effendy dan
Juard Effendy. Duduk bersebelahan dengan penyidik KPK yang menangkapnya
pada tengah malam 29 Januari 2013 (atau dini hari 30 Januari?), membuat
Maharani mau tak mau mengakui bahwa dirinya ditangkap saat bersama Ahmad
Fathanah di dalam kamar hotel Le Meridien dan sedang bersiap-siap untuk
melayani “pembeli jasa”nya yang telah membayar Rp. 10.000.000,00.
Padahal selang beberapa hari setelah ditangkap, Maharani didampingi
ayahnya menggelar jumpa pers bahwa dirinya sedang duduk mengobrol dengan
Fathanah di sebuah cafe di lobby hotel Le Meridien
ketika penyidik KPK kemudian menggiringnya bersama Fathanah. Maka, para
penggiat perlindungan anak dan wanita yang semula meminta agar Maharani
tidak diperlakukan sebagai saksi, karena ia masih di bawah umur –
padahal sudah 19 tahun – dan masih “polos” serta tidak tahu apa-apa,
sejak itu bungkam seribu bahasa, karena terbukti Maharani bukanlah anak
remaja yang polos dan lugu. Ia bahkan sudah punya “tarif” untuk beragam
layanan jasa bagi lelaki semacam Ahmad Fathanah.
Kini, ibarat menyaksikan film thriller, publik disuguhi kejutan demi kejutan yang siap terkuak. Kejutan selanjutnya adalah pengakuan Ziad Baladzam, ayah Darin Mumtazah, bahwa benar putrinya telah menikah dengan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ischaaq, pada bulan Juni 2012
lalu, ketika usia Darin baru menginjak 18 tahun. Pernikahan yang diakui
Ziad karena putrinya jatuh cinta kepada LHI akibat sering bertemu,
menggugurkan semua bantahan bahwa issu pernikahan itu hanyalah fitnah
belaka. Dulu mereka yang mati-matian tak percaya issu ini, berdalih
karena sumber berita wartawan adalah satpam di komplek rumah Darin dan
tukang pijat yang mengaku mendengar LHI memanggil “Mamah” pada Darin,
sehingga validitas dan akurasi data dianggap bohong belaka. Yang harus
dipercaya adalah keterangan guru dan Kepala Sekolah Darin. Padahal, jika
benar pengakuan Ziad, maka pernikahan yang dilangsungkan akhir Juni itu
wajar jika tak diketahui pihak sekolah, sebab itu musim libur kenaikan
kelas. Darin yang masih baru naik kelas 3 SMK, tentu saja merahasiakan
pernikahan sirri itu, karena konsekwensinya dia akan dikeluarkan dari
sekolah. Aturan jelas melarang siswa SMA/SMK menikah.
Dengan pengakuan Ziad itu, terkuak pula soal
pemberian mobil Mitsubishi Grandis senilai Rp. 150.000.000,00 kepada
Darin, karena Darin meminta kepada LHI untuk belajar menyetir. Maka, apa
yang selama ini dibantah keras bahwa rumah kontrakan mewah senilai Rp.
180.000.000,00 untuk 2 tahun sewa, yang baru dihuni keluarga Darin
selama 8 bulan – sebelumnya mereka menghuni rumah kontrakan sederhana –
ada hubungannya dengan LHI, kini tampaknya tak bisa lagi dipungkiri.
Maka, kebenaran kesaksian seorang satpam, tukang pijat, yang selama ini
dianggap tak cukup pantas untuk dipercaya, ternyata telah membuka mata
publik : kejujuran pengakuan itu tidak dilihat dari “baju” atau
“profesi” seseorang.
Juru Bicara PKS, Mardani Ali Sera, yang di acara AKI Malam TV One pernah “ditodong” pertanyaan host
soal “siapa Darin Mumtazah” yang dijawab diplomatis oleh Mardani bahwa
pernikahan kader PKS adalah pernikahan perjuangan, kini terpaksa meralat
kata-katanya : “Kami tidak tahu landasan pemikiran Pak Luthfi (menikahi Darin)”.
Satu demi satu keyakinan yang dulu begitu kokoh, kini berubah jadi
gelengan kepala. Sebenarnya, mereka yang mau berpikir kritis, sejak awal
pasti sudah bisa menebak kebenaran “issu” itu. Sebab reaksi yang berlebihan
– baik dari PKS yang ditunjukkan oleh sikap meradang Fahri Hamzah yang
meminta Darin agar tak memenuhi panggilan KPK, maupun dari keluarga
Darin yang mendadak meninggalkan rumah kontrakan mewah dan Darin serta
ayahnya menghilang sementara ibunya pura-pura tak tahu dimana keberadaan
suami dan anaknya – justru menunjukkan indikasi kebenaran itu sendiri.
Bukankah kalau “issu” itu tidak benar, Darin cukup datang ke KPK
diantar kedua orang tuanya, membuktikan mereka tak terkait apapun dengan
LHI, maka semua akan beres!
==================================================
Seperti sebuah drama yang berulang, saya teringat
ketika persidangan kasus suap Wisma Atlet dengan terdakwa Muhammad
Nazaruddin pertama kali digelar pada September 2011. Saat itu nama
Angelina Sondakh disebut dalam surat dakwaan Jaksa KPK kepada Nazar.
Ketika ditanya kenapa nama Angie ada dalam surat dakwaan, Johan Budi,
Juru Bicara KPK menjawab : “Angelina adalah bagian dari cerita yang didakwakan kepada Nazaruddin”
(saya pernah menulis tentang ini di Kompasiana). Lalu mulailah pengamat
memprediksi : tersangka berikutnya adalah Angie. Benar, hanya selang
1,5 bulan setelah pergantian Ketua KPK, Angie ditetapkan sebagai
tersangka. Maka, apa yang dulu dibantah keras – soal apel Malang dan
apel Washington, soal BBM – ternyata tidak bisa dibuktikan sebaliknya.
Pengakuan tak memiliki BB sebelum akhir 2010, terbantahkan oleh sejumlah
foto Angie di tahun 2009 yang memegang BlackBerry. Maka, bagian dari cerita yang didakwakan itu pun mengalir di pentas persidangan dan disaksikan masyarakat Indonesia.
Kini, akankah drama serupa tapi alurnya tak sama
itu akan terulang pada kasus suap kuota daging sapi impor? Nama Anis
Matta disebut dalam surat dakwaan Jaksa kepada LHI. Bagaimana nanti
endingnya? Mari kita lihat saja episode demi episode dari thriller ini, saya tak ingin berandai-andai apalagi meramal.
Majalah Tempo edisi 11 Pebruari 2013, hanya selang 4
hari sejak Anis Matta ditetapkan sebagai Presiden PKS menggantikan LHI,
telah memuat berita tentang ditemukannya sertifikat tanah atas nama
istri pertama Anis Matta di dalam tas Ahmad Fathanah saat dia ditangkap
KPK. Dalam wawancara langsung dengan Anis Matta di edisi tersebut, Anis
mengatakan “Saya tidak tahu”. Berita Tempo ini pun
meluas. Mereka yang mati-matian membela, menuduh Tempo hanya memfitnah.
Ironisnya, “fitnah” itu tak pernah berbuah somasi atau hak jawab. Waktu
terus berlalu, KPK memanggil Anis Matta sebagai saksi. Keluar dari
gedung KPK, Anis Matta mengakui sertifikat tanah yang ditemukan di tas
Fathanah itu benar miliknya, bahkan menurutnya sudah masuk dalam daftar
kekayaannya yang dilaporkan ke KPK. Nah lho! Bagaimana bisa sebuah
sertifikat tanah – yang mestinya aman ada di laci lemari di dalam rumah
atau bahkan di dalam kamar pribadi – bisa berada di tas Fathanah jika
bukan pemiliknya sendiri yang memberikan pada Fathanah?
Pada awal ditangkapnya Ahmad Fathanah disusul esok
harinya LHI, semua pengurus PKS menyangkal mengenal Fathanah. Bahkan
melihat pun katanya belum pernah. Waktu berlalu, satu demi satu
dipanggil KPK. Ada Ridwan Hakim putra Ketua Majelis Syuro PKS, ada Hilmi
Aminuddin sendiri, ada Zaldi Matta adik kandung Anis Matta yang mengaku
pemberian uang dari Fathanah adalah pembayaran hutang, serta terakhir
Anis Matta sendiri. Maka, logika akal sehat publik pun diajak berpikir
kritis : jika benar tidak kenal sama sekali, bagaimana mungkin
seseorang akan bertransaksi hutang piutang dalam jumlah besar? Jika
benar tak kenal, bagaimana bisa sertifikat tanah ada di tas orang tak
dikenal itu? Jika benar tak kenal, bagaimana bisa ada sejumlah foto
makan bersama di sebuah restoran sambil bercanda akrab? Biarlah publik yang menyimpulkan.
Kini, bukan sekedar fakta kebenaran soal pernikahan
LHI dengan gadis cantik nan sexy yang masih di bawah umur yang
terungkap di pengadilan. Dalam surat dakwaan LHI, disebutkan pula adanya
pembayaran tiket pesawat Jakarta – Kuala Lumpur – Jakarta pp pada
tanggal-tanggal yang berbeda di bulan Desember 2012, yang kesemuanya
dibayari oleh Ahmad Fathanah. Adapun nama-nama yang tertera di sana,
selain nama Fathanah dan LHI, ada beberapa nama berbau Timur Tengah yang
diduga keluarga/kerabat Darin, yang memang masih keturunan Arab. Total nilai tiket perjalanan ke Malaysia LHI yang dibayarkan Fathanah sepanjang Desember 2012, menurut dakwaan, sebesar 9.375 USD. Tentu bukan menggunakan maskapai LCC kalau harga tiketnya mahal.
Mungkin akan ada pihak-pihak yang menuduh Jaksa
KPK ngawur dan cari sensasi. Tapi sejatinya dakwaan soal tiket pesawat
ini sangat mudah dibuktikan Jaksa (jika benar) sekaligus sangat mudah
dibantah pengacara LHI (jika tidak benar). Tiket pesawat bukan seperti
tiket bis antar kota. Tiket pesawat tercantum nama penumpang, bahkan
saat check in untuk mendapatkan boarding pass, calon penumpang
diminta menunjukkan kartu identitas diri. Perjalanan ke Malaysia adalah
lintas negara, jadi pengacara LHI tinggal meminta pihak imigrasi untuk
melacak apakah benar pada tanggal-tanggal yang disebutkan dalam surat
dakwaan, paspor atas nama mereka yang disebut itu benar distempel ke
luar dari Bandara Soetta dan pada tanggal kembali distempel di bandara
KLIA. Sesimpel itulah membuktikan sebuah kebenaran yang faktual. Jadi,
mari kita lihat jalannya sidang.
PKS melalui Fahri Hamzah juga tak perlu menuduh KPK
mencari sensasi karena surat dakwaan LHI banyak menyoroti kehidupan
pribadi LHI dengan Darin. Selama ini relevan dengan tuduhan suap dan
korupsi – misalnya dari mana uang pembeli mobil Mitsubishi Grandis,
siapa yang membelikan tiket ke Malaysia berkali-kali – kenapa tidak?
Bukankah dulu sidang Antasari Ashar yang didakwa menjadi intelektual
dader pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen juga diwarnai dengan paparan kisah
tak senonoh dimana digambarkan secara gamblang pembicaraan AA dengan
Rani Juliani, meski kemudian ketika rekaman diperdengarkan, yang
ditangkap publik justru Rani yang agresif merayu sementara AA menjawab
ogah-ogahan. Jadi, bukan hal aneh sebuah dakwaan tipikor di dalamnya ada
kehidupan pribadi terdakwa yang turut disoroti.
Biarlah satu demi satu fakta terungkap di
persidangan. Yang ingin membela juga tak perlu membabi buta seolah tahu
sendiri faktanya, bahwa yang mereka bela tak mungkin akan berbuat begini
dan begitu. Lihat saja bagaimana mereka yang dulu membela Maharani
Suciono sebagai anak lugu yang masih dibawah umur yang kebetulan berada
di tempat yang salah, kini terdiam. Lihat saja bagaimana Mardani Ali
Sera kini geleng-geleng kepala ketika kebenaran pernikahan itu
terungkap.
Saya sedikit tertarik dengan cover majalah Tempo
edisi 11 Pebruari 2013. Karikatur LHI yang sedang memanggang daging
sapi, dihadapannya ada Anis Matta yang ikut numpang membakar jagung,
kemudian tak sengaja seiris daging yang sedang dipanggang LHI mental
menimpa kepala Anis Matta. Sementara Mentan Suswono yang menyaksikan
hanya bisa mengangkat tangan tak berdaya, tak mampu mencegah irisan
daging panas itu melenting ke jidat Anis Matta. Ah, ini hanya sebuah
ilustrasi khas Tempo, hanya sebuah karikatur. Akankah Anis menjadi
bagian dari cerita yang didakwakan kepada LHI? Bagaimana endingnya
nanti? Kita masih akan dikejutkan dengan episode-episode selanjutnya.
Saya suka dengan pernyataan Johan Budi : “Kita lihat saja di pengadilan
nanti”.
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer