Wow…! Pagi ini ada kehebohan di TV One,Munarman,SH yang menjadi juru bicara FPI (Front Pembela Islam) pada waktu dialog dengan Thamrin Tomagola-sosiolog yang diundang oleh TV One sebagai narasumber,karena emosional bangkit berdiri menyiram air ke muka Thamrin Tomagola. Sosiolog tersebut tidak mau meladeni perilaku Munarman yang dianggap sebagai sorang preman.
Nah,pemirsa dan para pemilik akun twitter pun bersahut-sahutan menyambut kehebohan pagi tadi. Kata preman mulai diungkit lagi,kenapa preman diajak dialog…?
Mari melihat preman dari sudut sosiologi. Preman dari kata bahasa Belanda,vrijman yang artinya orang bebas,merdeka ; Kata tersebut adalah sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang mendapatkan penghasilannya terutama dari memeras orang lain atau yang terkait dengan unsur merugikan orang lain. Orang-2 yang berkecimpung dalam dunia “premanisme” sekarang sudah mengalami kemajuan seiring dengan perkembangan jaman.
Mereka punya kedudukan strata sosial dan tingkat intelektual mulai dari rendah sampai ke level tinggi. Satu hal perilaku yang tidak pernah ditanggalkan walau status sosial dan tingkat intelektualnya tinggi adalah niat merugikan orang lain,mendapatkan penghasilan dengan cara-2 yang berhubungan dengan jalan pintas (negatip) yang mengandung unsur pemaksaan,pemerasan,atau kejahatan terselubung sampai terang-2an.
Karena perkembangan jaman itulah,maka mereka (golongan preman) bisa bermetamorfosis menjadi apapun. Ada yang menjadi ulama,pengacara,notaris,pejabat negara,aparat keamanan,aparat penegak hukum, tokoh masyarakat,bahkan berorganisasi di Lembaga Swadaya Masyarakat dari urusan “Go Green” sampai pergerakan HAM. Yang tidak mempunyai kemampuan metamorfosis seperti itu tentu dijadikan “bodyguard” atau garda terdepan aksi-2 mereka.
Karena perilaku yang merugikan itulah maka walau para preman diajak dialog seperti apapun,dengan cara-2 damai maupun elegan di sebuah diskusi,cara berpikir yang dibawa adalah tetap sesuai dengan perilaku yang sudah melekat mendarah-daging dalam kehidupannya. Konsistensi perilaku itulah yang menjadikan mereka tidak sadar apa yang disampaikan dan dilakukan sebenarnya merugikan orang lain. Dengan kata lain,mata rohani orang yang berprofesi preman tertutup kabut dan tidak bisa terbuka hanya dengan dialog…!
Dialog membutuhkan kesetaraan,duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Para preman tidak bisa diajak dialog dengan orang sipil yang menjadi obyek kejahatannya. Mereka akan memandang rendah orang sipil yang dianggap lemah,bahkan citra Polisi yang buruk di Indonesia pun dilecehkan oleh para preman; Tetapi akan berbeda bila para preman berhadapan dengan aparat keamanan seperti TNI atau Penguasa Daerah yang mempunyai kekuatan untuk mengusir mereka,dipastikan mereka akan “tunduk” dan bersikap ambivalen dengan mengacu pada perilakunya yang tidak bisa diubah.
Seorang preman yang sadar akan perbuatan di masa lalunya,umumnya karena ada sentuhan “pertobatan” rohani. Pengalaman rohani itulah yang mempertobatkan perilaku premanisme di dalam diri seseorang. Karena jumlah pertobatan seperti itu terlalu sedikit/kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah preman yang semakin merajalela di negeri ini; Maka jangan heran bila sebagian besar masyarakat kemudian mendukung melegalisasi pembunuhan preman di Lapas Cebongan oleh anggota Kopassus. Mengajak dialog para preman sama saja membuang waktu dan sia-sia,barangkali itu cocok hanya untuk pencitraan belaka agar dikira lebih “humanis” dibandingkan bila harus menerapkan “hukum rimba” .
Yang perlu diantisipasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah bagaimana mencegah premanisme tumbuh subur di Indonesia,yaitu antara lain dengan penegakan hukum yang tegas dan tidak korup,penyediaan lapangan kerja,sistem pengupahan yang adil dan berpihak kepada rakyat kecil,dll . Selama hal tersebut tidak disentuh,maka premanisme akan tetap tumbuh subur dan masyarakat akan mendukung pemberantasan preman dengan cara atau model “Lapas Cebongan”.
Mengenai Munarman itu preman atau tidak seperti yang dikatakan oleh Thamrin Tomagola silahkan masyarakat menilai sendiri dari sudut pandang tulisan ini. Kalau memang preman,yang salah justru pihak TV One,kenapa diajak dialog bersanding dengan Thamrin Tomagola…? Coba kalau disandingkan dengan Jenderal Pol.Timur Pradopo atau Jenderal TNI Muldoko,pasti yang bersangkutan duduk diam tak berkutik walau tidak setuju dengan pendapat “sang Jenderal”; Tetapi kalau Munarman bukan seorang preman,pertanyaannya kenapa ybs begitu emosional seperti tingkah seorang preman….?
Penilaian ada pada anda…!
Catatan Mania Telo Freedom Writers Kompasianer