Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mau Tahu Visi Misi IJP JOSS ? Ini Dia..

23 Mei 2013 | 23.5.13 WIB Last Updated 2013-05-23T04:03:52Z
IJP-Jose Rizal saat Menfaftar Ke KPUD Kota Pariaman sebagai Pasangan Cako-Cawako





I. Sejarah Kota Pariaman
Usia Pariaman sudah lebih dari 5 abad, sebuah usia yang panjang. Tome Pires, seorang petualang asal Portugis, sudah menuliskan keberadaan Kota Pariaman dalam buku Suma Oriental pada tahun 1513. Kota Pariaman ditulis memiliki kekayaan rempah atau palawija yang datang dari arah pedalaman Minangkabau. Pedagang-pedagang masuk ke Kota Pariaman dari berbagai suku bangsa di dunia, termasuk dari China, Arab, Belanda, Portugis, Jerman, Jepang, India, Aceh, Jawa, Bugis dan lainnya. 

Jejak keberadaan mereka masih bisa dilacak di Kota Pariaman, misalnya dari keturunan mereka, kesenian ataupun arsitektur bangunan.

Setiap satu abad, Pariaman mengalami perubahan. Pada abad ke-16 Kota Pariaman masih jadi area perdagangan, abad ke-17 Pariaman menjadi daerah yang disentuh oleh pengikut agama Islam, khususnya dari Aceh dengan Syech Burhanuddin menjadi simbolnya. Pada abad ke 18, Pariaman tidak banyak disebut, walau bisa dilihat sebagai kawasan yang sudah menjadi Nusantara Kecil dengan kultur Islam yang kuat, namun tidak menafikan keberadaan agama-agama lain. Pada abad ke-19, Pariaman nyaris kurang banyak dikaitkan dengan Perang Paderi, walau kawasan di sekelilingnya mengalami pergolakan. Orang Pariaman baru ikut terlibat setelah Kaum Paderi dan Kaum Adat bergabung dalam menyingkirkan Belanda.
Namun, ada juga yang menyebut usia Pariaman sudah delapan abad, bersamaan dengan munculnya Kesultanan Samudera Pasai di Aceh (1267-1521) yang sempat dikunjungi oleh Laksamana Cheng Ho. Namun, sejarah Kota Pariaman ini belum banyak ditulis. 

Pada awal abad ke-20, Pariaman sudah mencatatkan diri sebagai daerah yang maju. Misalnya, Kota Pariaman memiliki koran sendiri bernama Djodo yang berbahasa Melayu, Arab dan Tionghoa, juga Belanda. Keberadaan Kampung China, Kampung Keling, Kampung Arab, Kampung Jawa, Kampung Nias dan lain-lainnya di Kota Pariaman memberikan jejak itu. Tidak heran kalau angkatan laut Jepang menjadikan Kota Pariaman sebagai pelabuhan dan bentengnya, terbukti dengan banyaknya Lubang Japang di Kota Pariaman. Baru setelah Jepang diusir, terjadi pembunuhan orang-orang Tionghoa, sehingga menjadi catatan tersendiri bagi kota ini. Kuburan orang Tionghoa di Kurai Taji menjadi saksi atas keberadaan orang China di Kota Pariaman. 

Sebelum menjadi kota tersendiri, Pariaman adalah bagian dari Kabupaten Padang Pariaman sebagai Kota Administratif. Pada tanggal 2 Juli 2002, Kota Pariaman resmi berdiri sebagai daerah otonom berdasarkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Pariaman di Sumatera Barat, terlepas dari induknya. Walau memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masih kecil – dari Rp. 500 juta, Rp. 2 Milyar, sampai Rp. 10 Milyar -- serta tergantung kepada Dana Alokasi Umum (DAU) dari APBN, Kota Pariaman mampu bertahan. Secara perlahan, Kota Pariaman membentuk identitasnya sendiri sebagai tempat bagi masyarakat yang terbuka, individualis, tetapi sekaligus memiliki rasa komunalisme yang kuat. Kini, jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Pariaman hanya sekitar Rp. 500 Milyar.

II. Permasalahan Kota Pariaman


Perpindahan Ibukota Kabupaten Padang Pariaman dari Kota Pariaman ke Parit Malintang sebagai ibukota baru Kabupaten Padang Pariaman pada tahun 2013 ini, jadi tantangan terbesar bagi Kota Pariaman. Selama ini, terdapat sekitar 8.000 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) asal Kabupaten Padang Pariaman yang membelanjakan uangnya di Kota Pariaman. Cepat atau lambat, Kota Pariaman akan benar-benar ditinggalkan oleh PNS Kabupaten Padang Pariaman beserta keluarganya, seiring dengan perkembangan ibukota baru. Mereka akan memadati wilayah Parit Malintang dan sekitarnya di Kabupaten Padang Pariaman. Belum lagi segala urusan pemerintahan masyarakat Kabupaten Padang Pariaman yang selama ini dilakukan di Kota Pariaman, kini pindah ke Parit Malintang. Semakin sedikit penduduk Kabupaten Padang Pariaman menginjakkan kaki di Kota Pariaman.  

Kondisi ekonomi Kota Pariaman pun terpengaruh, dengan munculnya masyarakat miskin dan pengangguran. Kalangan ini berasal dari pekerja informal yang selama ini mengandalkan pemasukan dari para PNS. Kota Pariaman menjadi sepi, bahkan di hari Minggu, akibat ketidak-hadiran pengunjung. Rumah-rumah makan banyak yang tutup. Pemandangan yang sering kita saksikan adalah belum dibukanya lapak-lapak pedagang kaki lima pada pukul 10 pagi di Kota Pariaman. Sebaliknya, sejumlah lapak kaki lima malah muncul di malam hari, setelah para PNS pulang, terutama di Lapangan Merdeka. 

Dibandingkan dengan abad 20, kini kekhasan Kota Pariaman yang dikenang di masa lalu juga semakin pudar, bahkan hilang. Arsitektur kota tua dan lama mulai tidak kelihatan, akibat pembangunan yang pesat tanpa perspektif sejarah yang kuat. Benteng buatan Belanda dan Jepang, misalnya, ditimbun dengan tanah. Bangunan-bangunan tua tidak dipelihara, bahkan diruntuhkan. Hal ini menjadi tantangan pemerintah dan warga kota. Angkutan bendi, misalnya, tidak lagi menjadi identitas Kota Pariaman. Walau pantai Pariaman terkenal indah, kondisi infrastruktur dan kenyamanan bagi pengunjung belum tercipta dengan baik. Belum lagi area-area kuliner unggulan yang merupakan kekayaan Pariaman. Ekonomi kreatif sama sekali belum bisa dimaksimalkan, akibat keterbatasan.

Tantangan globalisasi yang melanda Kota Pariaman, terutama dari sisi arus informasi dan teknologi informasi, juga hadir. Masyarakat semakin mudah mengakses media-media baru seperti internet, lengkap dengan social medianya seperti facebook, twitter dan youtube. Teknologi baru dengan mudah ditemukan, baik telepon selular, blackberry, termasuk kendaraan bermotor seperti mobil atau sepeda motor. Hal ini menggerus tatanan sosial masyarakat Kota Pariaman yang dikenal komunal, tetapi juga memunculkan organisasi baru seperti klub-klub motor. Sikap egois semakin sering muncul, sebagaimana masyarakat kota ada umumnya.
Masalah lain, dominannya budaya lisan, ketimbang budaya tulisan, sehingga mengurangi banyak catatan penting. Padahal, budaya tulisan membantu banyak hal. Disamping bisa menjadikan semua hal terdokumentasi dengan baik, juga mampu diperbaiki apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan. Budaya lapau bagi warga Kota Pariaman, layak diimbangi dengan budaya arsip. Visi ke arah itu menjadi bagian penting dari IJP JOSS. Sebab, sebagai alumni sekolah menengah di Kota Pariaman dan menempuh pendidikan sarjana dan pasca sarjana di Pulau Jawa, kami tentu merasakan susah-senangnya dunia menulis dan membaca. 

Permasalahan juga muncul dari angkatan muda, baik yang sedang menempuh pendidikan menengah dan atas, maupun yang kuliah di sejumlah perguruan tinggi di Kota Pariaman. Semakin banyaknya penduduk angkatan muda ini tentulah membutuhkan penanganan tersendiri. Apalagi narkoba sudah masuk ke Kota Pariaman. Jumlah angkatan muda yang semakin banyak ini membutuhkan aktivitas yang positif. Tanpa diberikan atau difasilitasi, mereka akan terjebak dengan perilaku negatif, termasuk akibat kemajuan di luar mereka yang memicu sikap jalan pintas. 

Belum lagi angkatan muda yang kemudian tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Lebih dari dua pertiga angkatan muda Kota Pariaman tidak melanjutkan sekolah, setelah tamat sekolah menengah atas. Mereka juga belum memiliki kualifikasi standar untuk bekerja. Kalaupun bisa bekerja di sektor informal, lapangan kerja itu kian sedikit atau malah berkurang, akibat kecilnya jumlah orang yang membelanjakan uangnya di Kota Pariaman. Mau tak mau, mereka menjadi pengangguran di perkotaan. Jenis pengangguran seperti ini lebih berbahaya, bisa memicu konflik sosial dan rawan akan pengaruh pihak luar. 

Angka kriminalitas juga naik di Kota Pariaman. Rata-rata pencurian, termasuk di dalam kantor-kantor pemerintah. Sepinya kota membuat fasilitas pemerintah tidak bisa diawasi, terutama setelah jam malam. Yang lain adalah kecelakaan lalu lintas, akibat disiplin pengguna jalan yang rendah. Helm tidak menjadi kewajiban. Belum ada jalan-jalan yang dilarang bagi kendaraan bermotor roda dua. Hal ini berakibat kepada kerugian di kalangan penduduk, terutama dari sisi nyawa ataupun perawatan. Masalah-masalah ini terus berkembang, sebagai bawaan dari sifat dan karakter masyarakat kota.

III. Visi IJP JOSS: Menikam Jejak, Mencari Akar 


Dari persoalan di atas, pasangan Indra Jaya Piliang dan Joserizal (IJP-JOSS) mengusung visi “Menikam Jejak, Mencari Akar: Modernisasi Kota Pariaman Basamo Rakyaik Badarai”. Menikam jejak adalah bagian dari upaya menelusuri kembali sejarah Kota Pariaman, sekaligus peradaban dan kebudayaan yang melingkupinya. Mencari akar adalah menyandarkan seluruh proses pembangunan Kota Pariaman ke masa depan berdasarkan kekuatannya sendiri, baik di bidang ekonomi, sumberdaya manusia, pariwisata, budaya ataupun ilmu pengetahuan. 

Ada dua kata kunci lain, yakni modernisasi Kota Pariaman dan basamo rakyaik badarai. Kenapa Pariaman perlu dimodernisasi? Karena masyarakat Pariaman dikenal memiliki kreatifitas tinggi sebagai kaum pedagang. Sebagian besar rumah di Kota Pariaman bukan hanya dijadikan sebagai tempat tinggal, tetapi juga untuk berdagang, jadi home industry, sampai kegiatan seni dan budaya. Modernisasi Kota Pariaman dilakukan berdasarkan keunggulan yang ada di Kota Pariaman. Kenapa rakyat badarai? Karena rakyatlah yang menjadi inti dari pembangunan Kota Pariaman, bukan pejabat yang hanya menjadi penyelenggara negara yang digaji oleh rakyat via APBN dan APBD. 

Dari visi tersebut, sejumlah hal bisa dilakukan. Salah satunya adalah menjadikan Kota Pariaman sebagai kota singgah. Kalau perlu, menjadikan Kota Pariaman sebagai kota tujuan akhir pekan dan menetap. Selama ini, Kota Pariaman hanya menjadi kota lalu-lalang orang-orang, baik dari arah Kota Padang, Padang Pariaman, Agam, maupun dari arah Pasaman dan Pasaman Barat. Harus ada upaya yang serius, berkesinambungan dan teratur untuk membuat Kota Pariaman sebagai kota yang nyaman. Ketentraman kota dijaga, termasuk ketertibannya, guna memunculkan rasa senang bagi siapapun yang datang, singgah ataupun menetap. 

Tentu banyak hal lain yang bisa dibuat dan dilakukan di Kota Pariaman, tanpa meruntuhkan sendi-sendi agama dan adat, berdasarkan visi itu. Filosofi Adat Basandi Sara’, Sara’ Basandi Kitabullah (Al Qur’an), adalah nafas keseluruhan visi di atas. Ciri sebagai masyarakat religius dan santri, sekaligus berbudaya, bisa  diperlihatkan kepada dunia luar. Salah satunya adalah mengubah seragam Satpol Pamong Praja dari berbentuk setengah militer, menjadi seperti pandeka. Dengan cara ini, Kota Pariaman berbeda dengan kota-kota lain yang ada di Sumatera Barat, sehingga mencari tempat yang unik dan eksotik untuk dikunjungi wisatawan.

Adapun turunan dari visi itu adalah sebagai berikut:

3.1    Menata Kawasan Pasar Kota Pariaman 

Kawasan pasar Pariaman adalah urat nadi perekonomian, bukan hanya bagi para pedagang menengah dan besar, terutama sekali bagi pedagang kecil atau kaki lima. Visi besar Pariaman sebagai kota dagang, wisata dan jasa, sangat ditentukan oleh keberadaan pasarnya. Apabila pasar Pariaman nyaman, bersih dan murah, maka para pembeli akan datang dari daerah-daerah di sekeliling Pariaman. Karena itu, IJP JOSS menempatkan visi pengembangan, pengelolaan dan penataan pasar Pariaman sebagai upaya menggerakkan roda perekonomian rakyat Pariaman. Kerjasama banyak pihak diperlukan, mulai dari pemerintah, koperasi pedagang, pedagang musiman, transportasi, armada pemadam kebakaran, petugas kebersihan, sampai dengan para pengunjung dan pembeli. Pihak pemerintah akan diwakili oleh Perusahaan Daerah Pasar Pariaman.

3.2    Mengelola Pantai, Pulau, Danau dan Sungai Kota Pariaman sebagai Water Front City


Kota Pariaman memiliki pantai yang indah, pasir putih, pulau-pulau yang tak berpenguni, air laut yang masih bersih, tiga sungai yang melintasi berikut muaranya, danau-danau kecil yang belum dikelola, serta ratusan nelayan di sepanjang pantai dari Padang Biriak-Biriak di Utara sampai Pasir Sunur di Selatan, maka visi itu bisa dikembangkan menjadi water front city. Water front city ini menjadikan laut dan sungai sebagai sahabat, serta transportasi air jadi alat angkut yang nyaman penuh nostalgi. Di luar itu, terdapat sejumlah danau rawa-rawa yang belum dikembangkan dengan baik, beserta kali yang layak dilalui oleh perahu-perahu apung. Visi ini memerlukan pendekatan yang komprehensif, tidak tambal sulam, termasuk area-area unggulannya.

3.3    Meramaikan Kawasan Pulau Kota Pariaman


Terdapat enam pulau di pantai Pariaman, yakni Pulau Bando, Pulau Gosong, Pulau Ujung, Pulau Tangah, Pulau Angso Duo dan Pulau Kasiak. Keenam pulau ini sama sekali belum diberdayakan, dibiarkan saja jadi harta tak terkelola. Sejak deklarasi di Pulau Angso Duo tanggal 31 Maret 2013, kami sudah mencanangkan untuk meramaikan pulau-pulau di pantai Pariaman bagi wisatawan. Perahu-perahu dibuat dalam bentuk hiasan dan ukiran. Pengelola dan pengunjung dibekali dengan baju-baju pelampung. Para pemuda dilatih menjadi penjaga pantai (safe guard). Kalau perlu, sejumlah kera dilepaskan di area pulau yang ada itu, sehingga bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Tentu tidak semua pulau bebas bagi wisatawan, sehingga kekayaan nabati dan hewaninya bisa terlindungi, seperti penyu, burung, kepiting, udang, dan tumbuh-tubuhan tropis lainnya.

3.4    Mengembangkan Homestay dan Home Industry


Kota Pariaman memiliki rumah-rumah tua sejak zaman Belanda. Selain itu, mayoritas rumah di Kota Pariaman mempunyai model usaha rumah tangga tersendiri, mulai dari sulaman, bordiran, tenun, sampai kerajinan ukir. Rumah-rumah itu bisa difungsikan sebagai homestay (rumah singgah) bagi wisatawan lokal atau luar negeri, dengan kenyamanan standar: memiliki WC yang baik, aliran air yang bersih, ruang tempat tidur yang nyaman, ruang tamu yang lapang, dapur yang bisa dipakai memasak, sampai ke pekarangan. Sementara, rumah-rumah yang memiliki usaha, dijadikan sebagai basis home industry. Ketersediaan listrik dan air bersih juga jadi hal yang menarik, selain keamanan yang terjaga. Kota Sawahlunto bisa menjadi salah satu barometer bagi visi ini.

3.5    Membenahi Jalur dan Infrastruktur Jalan dan Jembatan


Kota Pariaman juga perlu mengembangkan infrastruktur jalan yang melintasi seluas mungkin daerah Pariaman. Jadi, Pariaman tidak terlihat sempit, melainkan lapang. Dari arah Simpang Toboh, misalnya, sebagian kendaraan bisa melewati daerah pedesaan setelah kantor camat Pariaman Utara. Wilayah-wilayah ketinggian bisa dibuatkan rumah-rumah makan yang eksotik, bisa memandang ke arah area persawahan, sampai laut. Kendaraan tidak hanya sebentar melintas di Kota Pariaman, melainkan bisa melewati jalan-jalan lain yang saling terhubung dalam bentuk bunderan, sebagaimana di Kota Palangkaraya. Jalan sebagai urat nadi ini juga ditumbuhi pepohonan, pot bunga, tong sampah, area pejalan kaki, atau jembatan penyeberangan di lintasan ramai, sehingga menentramkan.

3.6    Mengembangkan Kota Pariaman sebagai Kota Wisata


Keunggulan Kota Pariaman adalah dari sisi wisata. Namun, kelemahannya juga berada di sektor ini, yakni masyarakat belum menjadikan sebagai sisi utama atau penting dalam keseharian. Untuk itu, perlu pengembangan wisata bahari, wisata kuliner, wisata relegius, wisata alam, dan wisata lainnya, dengan cara melakukan penataan sumberdaya manusia, promosi sampai pembenahan lokasi-lokasi wisata. Wisata adalah kerja hati. Pariaman memiliki semua syarat untuk jadi area wisata. Masalahnya, tinggal pembinaan saja. Pembinaan itu mulai dari sumberdaya manusia, sikap masyarakat, harga, infrastruktur, transportasi, sampai budaya yang melingkupinya. Proses ini memakan waktu yang lama, sebelum Kota Pariaman mencapai tingkat masyarakat seperti Bali yang memang hidupnya dari wisata.

3.7    Melaksanakan Agenda-Agenda Rutin Bidang Wisata


Untuk itu, perlu diadakan kegiatan-kegiatan wisata rutin, diluar acara Tabuik Piaman. Kegiatan-kegiatan itu masuk kalender wisata nasional, atau bahkan internasional. Soalnya, orang-orang merencanakan wisatanya jauh-jauh hari, bahkan bisa setahun sebelumnya. Pilihan event bisa dibuat, sesuai dengan kekayaan seni dan budaya yang ada di Kota Pariaman, termasuk kuliner dan kerajinan yang bisa dijadikan sebagai oleh-oleh. Event wisata bisa dibuat sekali dua bulan atau bahkan sekali sebulan, sehingga terisi penuh. Contoh event itu antara lain International Writers Festival, kompetisi panjat kelapa secara nasional  dan kompetisi layang-layang nasional.

3.8    Menjalankan Kegiatan Rutin di Bidang Kesenian dan Olahraga


Guna meramaikan Kota Pariaman, pemerintah kota perlu mengagendakan acara-acara kesenian dan olahraga secara rutin. Acara itu tidak bersifat dadakan. Bergulir sepanjang musim, mulai antar desa atau kelurahan, antar klub, antar grup kesenian, antar organisasi, antar sekolah, antar perguruan tinggi, antar instansi, antar partai politik, lalu meningkat ke antar kecamatan, lalu akhirnya putaran final untuk mendapatkan pemenang. Apabila agenda ini berjalan dengan baik, maka akan muncul seniman-seniman lokal yang tangguh, serta tentunya juga olahragwan-olahragawan berprestasi. Kegiatan promosi menjadi sangat penting.

3.9    Pembangunan Sebuah Universitas di Kota Pariaman


Dalam usaha yang sangat panjang dan mungkin melelahkan, kami mencanangkan visi pembangunan sebuah universitas di Kota Pariaman. Universitas inilah yang akan menjadi kawah candradimuka bagi munculnya alumnus-alumnus yang berpikiran universal (universe). Sedari awal kami perlu sampaikan bahwa upaya pembangunan universitas di Kota Pariaman ini tidaklah mudah, mengingat perguruan tinggi -- apalagi negeri – adalah urusan pemerintah pusat. Namun, apapun jalannya, kami akan bergerak sekuat tenaga dengan segenap daya upaya untuk mewujudkan visi itu. Menjelang lahirnya sebuah universitas itu, visi kami tentulah menyiapkan masyarakat Kota Pariaman untuk bisa menerimanya dan menjelaskan apa-apa saja yang akan terjadi apabila sebuah universitas hadir.

IV. Misi IJP JOSS: Pembangunan Berbagai Ciri Khas Kota


Sejak pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 1999, belum ada satu standarisasi nasional tentang sebutan Kabupaten dan Kota di Indonesia. Di Kota, masih ada sebutan kelurahan dan desa, misalnya. Hal ini semakin rumit, jika dikaitkan dengan Sumatera Barat yang menerapkan Peraturan Daerah Kembali ke Surau dan Kembali ke Nagari. Kalau ciri-ciri sebuah nagari sudah ada dalam budaya Minangkabau, untuk Kota atau Kabupaten sama sekali belum begitu jelas. Nagari, misalnya, ada di Kabupatan, namun juga masih belum hilang di Kota.

Karena itulah, perlu standarisasi tentang apa yang dinamakan dengan Kota, apa juga yang dinamakan Kabupaten. Selama ini, sandarannya adalah Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Masalahnya, generalisasi terjadi di seluruh Indonesia yang akibat-akibatnya justru meminggirkan atau malah menghilangkan ciri khas sistem pemerintahan tradisional yang sudah ada di masing-masing daerah. Untuk itu, kami mencoba memberikan satu jalan keluar tentang ciri sebuah Kota yang Insya Allah ada di Kota Pariaman. 

Turunan dari ciri khas sebuah kota itu adalah sebagai berikut:

4.1    Pariaman Cultural Center

Pembangunan sebuah kawasan khusus yang menunjukkan ciri khas Kota Pariaman. Kita sebut saja Pariaman Cultural Center (PCC). PCC ini menghimpun seluruh kekayaan budaya Kota Pariaman. Budaya bisa dalam artian luas, mulai dari ilmu pengetahuan, bahasa, ekonomi, sampai seni. PCC ini kalau bisa terletak di kawasan yang mudah dijangkau. Kami sudah memiliki nama untuk PCC ini, yakni PCC Anggun Nan Tongga. Dengan PCC Anggun Nan Tongga inilah, kebangkitan budaya dan peradaban Kota Pariaman dimulai lagi dengan cara Menikam Jejak, Mencari Akar. Dengan keberadaan PCC ini, semua orang bisa merasakan jejak kebudayaan Pariaman dan sekaligus menikmati sejumlah pertunjukkan sepanjang tahun.

4.2    Gedung Kesenian, Sport Center dan Youth Center


Ciri kota yang lain adalah kehidupan orang banyak menggali rasa dan raga, jasmani dan rohani. Karena itu, Kota Pariaman perlu membangun Gedung Kesenian, Sport Center (Pusat Olahraga) dan Youth Center (Pusat Kepemudaan). Di sinilah aktifitas seni, budaya dan olahraga dilakukan, kegiatan anak-anak muda, tempat aneka band lokal saling berlomba, begitu juga tempat latihan tari, drama, pencak silat sampai kegiatan kreatif lainnya. Dengan adanya gedung-gedung itu, Kota Pariaman bisa memiliki standar yang baik, sehingga layak disebut sebagai kota dalam artian yang sebenarnya. Ada beberapa gedung yang tidak berfungsi bisa disulap menjadi gedung-gedung ini, termasuk aset-aset yang dimiliki oleh Kabupaten Padang Pariaman yang berada di Kota Pariaman, dengan cara kerjasama. Salah satu kawasan itu adalah Medan Nan Bapaneh yang terletak di Desa Rawang.

4.3    Desa Santri Syech Burhanuddin


Kota Pariaman dikenal sebagai wilayah pertama tempat masuknya agama Islam ke Sumatera Barat. Terdapat kurang lebih 18 tarekat agama Islam di Kota Pariaman yang sebagian besar masih hidup. Untuk itu, perlu dibuat sebuah kawasan santri Kota Pariaman yang menunjukkan kekayaan dan sekaligus kebhinnekaan tarekat agama Islam di Kota Pariaman. Bisa jadi, tarekat-tarekat itu juga terhubung dengan empat mazhab besar di dalam agama Islam, yakni Hanbali, Maliki, Syafii dan Hanafi. Guna kepentingan itulah, sebuah kawasan santri perlu dibuat, dengan nama Syech Burhanuddin Village. Di tempat ini juga segala macam pola pengajaran agama Islam ditunjukkan dan dikelola dengan baik.

4.4    Gedung Perpustakaan dan Gedung Arsip Kota Pariaman


Salah satu yang mulai hilang di Kota Pariaman adalah budaya membaca. Padahal, kutu yang paling baik itu adalah kutu buku. Pengembangan sumberdaya manusia tidak hanya bisa ditempuh di bangku sekolah, melainkan juga diluar sekolah. Caranya adanya dengan membaca. Karena itu, di Kota Pariaman perlu dikembangkan perpustakaan daerah dan arsip daerah. Perpustakaan daerah ini jangan hanya jadi pajangan, melainkan dilengkapi dengan event-event yang terhubung dengan buku, misalnya lomba membaca cepat, lomba resensi, sampai pelatiha menulis. Arsip-arsip lama disimpan, guna dipelajari oleh seluruh anggota masyarakat yang datang.

4.5    Museum Anas Malik Kota Pariaman


Salah satu ciri kota adalah adanya museum kota. Di museumlah segala kenangan dan kekayaan sejarah, serta peradaban kota, disimpan. Di museum juga karya-karya seniman dilelang. Berbagai eksebisi juga bisa digelar. Berbagai kekayaan masa lalu ataupun animasi masa depan bisa dibuat. Museum Sanghai, misalnya, memperlihatkan perkembangan Kota Sanghai dari tahun ke tahun yang dipotret dari tempat yang sama setiap tahun. Fotografi terbaik bisa dibuat, begitu juga replika sejarah dan mitologi lokal. Insya Allah, nama museum yang akan dibuat itu adalah Museum Anas Malik, tokoh legendaris Kota Pariaman.

4.6    Lembaga Ilmu Pengetahuan Kota Pariaman


Pengembangan lebih jauh adalah adanya lembaga riset dan pengembangan yang dibentuk dan dikelola oleh pemerintahan daerah. Kita beri saja nama Lembaga Ilmu Pengetahuan Kota Pariaman (LIPkP). LIPkP ini selanjutnya bisa bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan berbagai lembaga riset yang dimiliki oleh kementerian, universitas dan swasta. Dengan adanya LIPP ini, pemerintah Kota Pariaman selalu berpijakan kepada riset, sebelum mengambil kebijakan yang strategis. Data-data riset bisa diambil dari Biro Pusat Statistik (BPS).

4.7    Taman-Taman Kota dah Hutan-Hutan Kota


Ciri sebuah kota adalah taman-taman kota, termasuk taman-taman bunga. Kota Pariaman bisa dikembangkan ke arah itu, yakni munculnya taman-taman kota di setiap tempat. Taman kota tidak perlu luas, tetapi ada. Dengan adanya taman-taman kota, penduduk bisa berjalan-jalan, duduk-duduk, saling bercengkrama. Area bangunan dikendalikan pertumbuhannya, agar Kota Pariaman tidak terlihat sebagai kota yang hanya berisi bangunan. Pinggiran jalan ditanami dengan pepohonan, agar terlihat asri dan rimbun, termasuk dengan tanaman-tanaman yang bisa menghasilkan seperti pohon pinang. Di desa-desa yang masih lengang penduduk dan memiliki lahan yang belum diolah, dijadikan sebagai hutan kota, seperti di Desa Marunggi.

4.8    Jalur Khusus Wisata


Kekayaan seni, budaya, kuliner dan kerajinan khas Kota Pariaman sangat banyak. Hanya saja, jarang dipajangkan secara terbuka untuk pengunjung atau wisatawan. Visi ke depan adalah perlu pengembangkan jalur khusus perdagangan di Kota Pariaman, seperti Malioboro di Yogyakarta atau Legian di Bali, sebagai jalur wisata domestik dan internasional. Jalur wisata ini jadi tempat seniman menunjukkan keahliannya. Di tempat ini juga beragam kesenian lokal ditunjukkan, mulai dari bendi dan duplikatnya, perahu dan duplikatnya, pengamen yang memiliki tempat khusus, cafe-cafe, area ibadah yang khas seperti pertunjukkan dikie dan salawaik dulang, sampai area bagi pejalan kaki.

4.9    Taman Pemakaman Umum


Berdasarkan masukan masyarakat, di Kota Pariaman perlu dibangun sebuah Taman Pemakaman Umum (TPU) Kota Pariaman. Memang, sudah Taman Makam Pahlawan (TMP) di Rawang. Namun, belum ada TPU di Kota Pariaman. Selama ini, pemakaman merupakan milik kaum (suku) atau disewa oleh kaum (suku). Memang, Pariaman memiliki keterbatasan dengan tanah, karena rata-rata tanah milik kaum (ulayat). Kalau para niniak-mamak bisa dipersatukan, bukan mustahil TPU bisa ditemukan tanahnya dan segera dikelola oleh Pemerintahan Kota Pariaman. 

V. Hattanomics sebagai Visi Ekonomi Kota Pariaman


Visi besar di atas tentu memiliki misi yang jelas dan terukur. Misi IJP JOSS yang paling jelas adalah mengembangkan kehidupan ekonomi masyarakat Kota Pariaman, sesuai dengan potensi yang ada di Pariaman. Jadi, sama sekali bukan model ekonomi asing dan impor. Sedari awal, kami sama sekali tidak menginginkan pembangunan mal di Kota Pariaman yang akan menghancurkan pasar-pasar tradisional dan usaha kecil-menengah. Usaha perekonomian adalah usaha kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan segelintir orang atas nama investasi. 

Kami mengacu kepada pikiran-pikiran Muhammad Hatta yang pernah datang ke Kota Pariaman. Tahun 1966, Muhammad Hatta diketahui datang ke desa Padang Biriak-Biriak, ke sebuah pabrik minyak kelapa yang kini tinggal gedung tuanya. Hattanomics, yakni visi ekonomi pembangunan Mohammad Hatta, perlu dikembangkan kembali, terutama di Kota Pariaman. Ciri ekonomi kerakyatan yang berbasiskan kekuatan rakyat sendiri, misalnya pertanian, nelayan, sampai produk lokal lainnya. Pandangan Hattanomics banyak mengacu kepada negara-negara di Skandinavia. Koperasi menjadi ciri, bukan perusahaan-perusahaan multi-nasional yang tidak diketahui sama sekali siapa pemilik sahamnya.
Uraian dari visi Hattanomics itu adalah sebagai berikut:

5.1    Tentu kami tidak ingin berbicara secara teoritis. Salah satu formula yang bisa dilakukan adalah membangun outlet-outlet hasil home industry, berdasarkan sistem koperasi. Kedaulatan anggota menjadi ciri. Ekonomi skala mikro inilah yang memberi nafas bagi ekonomi kerakyatan, bukan skala makro yang masuk pada level konglomerasi. Kota Pariaman selama ini dikenal melahirkan sejumlah pengusaha sukses di luar Kota Pariaman. Mereka bisa diundang menjadi bapak-bapak asuh atau bapak-bapak angkat bagi koperasi-koperasi yang didirikan di Kota Pariaman.

5.2    Sektor apapun bisa dikembangkan menurut konsep Hattanomics ini. Salah satunya adalah mengambangkan agro businesss dan agro industry. Area-area pertanian yang dimiliki rakyat badarai, dikembangkan menjadi unit bisnis dan industri, namun sama sekali tanpa melepaskan status kepemilikan. Tentu model ini terlalu berat sekarang, di tengah himpitan industri besar dan modal besar. Namun, secara keseluruhan, Kota Pariaman belum banyak disentuh oleh kepentingan-kepentingan raksasa itu, sehingga masih bisa dipoles dan diarahkan, bahkan dibentengi.

5.3    Tentu ada kendala menyangkut permodalan. Pemerintah Kota Pariaman bisa mencarikan kredit murah yang diberikan kepada para pelaku industri kecil dan menengah. Kredit bisa datang dari perbankan, dana corporate social responsibilities (CSR), para pengusaha yang sudah sukses dan menyediakan dana bergulir, pihak-pihak lain yang memang berorientasi kepada ekonomi kerakyatan. Tentu modal yang dicari bukanlah modal raksasa, melainkan modal skala kecil. Dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang ada di bank-bank pemerintah juga bisa diambil, dengan cara transparan dan menghindari untuk digunakan oleh pengusaha besar.

5.4    Misi IJP JOSS yang lain adalah melakukan moratorium lahan-lahan pertanian sebagai usaha mewujudkan ketahanan pangan. Moratorium di sini adalah membatasi atau bahkan melarang penggunaan lahan-lahan pertanian untuk bangunan, seperti perumahan atau pertokoan. Ketahanan pangan dibutuhkan guna mengantisipasi kelaparan, apalagi busung lapar. Pemerintah Kota Pariaman perlu menghidupkan lagi lumbung-lumbung pangan yang dikelola secara baik, agar sewaktu-waktu bisa diberikan kepada warga miskin dan tidak mampu yang membutuhkan. Jangan sampai Kota Pariaman tercatat sebagai salah satu kota yang pernah mengalami busung lapar. Nauzubillah min zalik.

5.5    Untuk penyediaan sumberdaya manusia, pemerintah Kota Pariaman layak meningkatkan keterampilan dan latihan bagi kalangan muda, termasuk di dunia pendidikan. Balai-balai latihan kerja dikembangkan, dengan instruktur yang datang dari masyarakat sendiri, mulai dari tukang buat perahu, ahli-ahli memasak, pedagang kaki lima yang sudah sukses, sampai kepada instruktur luar yang berpengalaman. Kota Pariaman selama ini menghasilkan banyak perantau, namun kian lama kian banyak yang gagal akibat ketatnya persaingan. Seyogianya pemerintah kota mewajibkan kepada angkatan muda produktifnya untuk melatih diri terlebih dahulu, sebelum terjun ke dunia kerja yang sebenarnya di rantau orang.

5.6    Sebagai kota yang hanya mengenal dua kata untuk makanan (kuliner), yakni enak dan enak sekali, Pariaman layak jadi tujuan wisatawan domestik dan manca negara. Masalahnya, pedagang-pedagang yang ada di Kota Pariaman belum sepenuhnya menyadari hal ini. Beberapa kejadian kecil masih ada, misalnya memberikan harga yang mahal untuk makanan yang sedikit (kena pakang), baik di warung-warung nasi ataupun di lapau-lapau. Hal ini menyebabkan seluruh wisatawan yang mampir ke Kota Pariama menjadi hati-hati untuk berbelanja. Karena itulah, pemerintahan Kota Pariaman perlu menata dan melatih para pedagang kecil dan menengah, guna memiliki kemampuan untuk mendapatkan pelanggan. Pelanggan dan pembeli adalah raja, pedagang adalah pelayan. Mentalitas itu perlu ditanamkan secara terus-menerus.

5.7    Kota Pariaman memiliki 71 desa dan kelurahan. Masing-masingnya memiliki kekhasan, mulai dari nama, sampai kepada produk. Karena itulah, pemerintah Kota Pariaman perlu menjaga dan mengembangkan kekhasan masing-masing desa atau kelurahan, sesuai dengan nama dan cirinya masing-masing. Kalau memang ada yang menjadi pusat kelapa, industri kelapa layak dibangun. Begitu juga kerajinan seperti perak di Kampung Perak. Pohon Jawi-Jawi perlu ditanam di Kelurahan Jawi-Jawi. Kurai Taji diramaikan di Hari Senen, sehingga lagu Kurai Taji Pakan Sinayan bisa terus didendangkan. Kami memasukkan ini sebagai program kerakyatan berdasarkan kesepakatan yang dibangun bersama seluruh tokoh masyarakat di masing-masing desa atau kelurahan.

5.8    Kekuatan sumberdaya manusia terbesar ada di PNS. Selama ini, PNS hanya dianggap menghabiskan APBD paling besar, mulai dari gaji, tunjangan, sampai belanja pegawai. Padahal, PNS hanya menjalankan tugas sesuai dengan undang-undang. Pasangan IJP JOSS justru memandang PNS perlu diberdayakan, sesuai dengan visi dan misi yang kami susun. Agar Kota Pariaman ramai, potensi PNS bisa dimanfaatkan. Salah satunya adalah mengusahakan kebijakan agar PNS bisa pulang lebih cepat setelah menyelesaikan tugas-tugas hariannya, serta mengembangkan diri dan keluarganya untuk berkontribusi kepada masyarakat Kota Pariaman. Kebijakan ini mesti dikonsultasikan ke pemerintah pusat, agar tidak melanggar aturan. Namun kami percaya, bahwa PNS akan lebih memberikan manfaat ke Kota Pariaman, apabila pulang lebih cepat, tetapi dengan ketepatan dan kecepatan pelayanan. Kecuali tentunya PNS yang perlu bekerja 24 jam, misalnya di bidang kesehatan.

5.9    Guna memajukan perekonomian Kota Pariaman, termasuk meramaikannya, perlu ada kebijakan the right man in the right place (orang yang tepat di posisi yang tepat). Karena itu, kami mencanangkan proses penempatan PNS sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Proses penempatan orang ini dilakukan melalui azas meritokrasi, bukan berdasarkan hubungan kekeluargaan ataupun nepotisme. Caranya adalah terlebih dahulu memberikan pelatihan kepada calon-calon pamong atau birokrat itu, lalu dilakukan penilaian oleh tim independen dari kalangan kampus. Melalui proses itulah nantinya akan dilihat, siapa yang paling tepat menempati posisi tertentu di pemerintahan. Semua jabatan terbuka untuk siapapun yang memenuhi kualifikasi yang diinginkan.

VI. Program Strategis


Demikianlah gambaran persoalan, visi dan misi Kota Pariaman yang ada dalam pandangan dan pikiran kami. Tentu, visi dan misi itu belum cukup. Kami ingin melengkapinya dengan program-program strategis. Program ini memerlukan kerja lebih keras, sesuai dengan kemampuan pasangan kami. Sebagai pihak yang sudah lama bergaul dengan elite di tingkat nasional dan seluruh Indonesia, tentunya kami manfaatkan jaringan yang sudah ada. Kami tidak akan menyia-nyiakan pengalaman yang selama ini sudah diraih, terutama sejak menamatkan bangku Sekolah Menengah Atas di Kota Pariaman, lalu menempuh pendidikan tinggi di pulau Jawa.
Uraian dari program strategis itu adalah sebagai berikut:

6.1.    Mendatangkan Investor Kecil dan Menengah

Salah satu program strategis itu adalah melobby dan mendatangkan investor skala kecil dan menengah untuk berinvestasi di Kota Pariaman. Yang namanya investor, tentu memerlukan keyakinan akan memperoleh keuntungan dalam jangka menengah dan panjang. Agar dana yang dikeluarkan tidak banyak, investasi yang dibutuhkan Kota Pariaman adalah skala kecil dan menengah. Tidak sampai masuk ke angka Milyaran Rupiah. Kami akan mencoba mempengaruhi kalangan investor, tidak hanya sebagai pelaku ekonomi, tetapi sekaligus melakukan investasi sosial, tanpa harus mengalami kerugian. Kami memiliki banyak sekali kenalan, baik di dalam ataupun di luar negeri, dari orang-orang Indonesia sendiri yang ingin mendapatkan negerinya lebih maju dan sejahtera.

6.2.    Mengembangkan Potensi Surau dan Mesjid


Hampir di setiap sudut Kota Pariaman terdapat surau dan mesjid. Surau milik kaum/suku, sehingga di setiap desa, terdapat banyak surau tergantung dari suku/kaum yang ada di desa itu. Sementara mesjid minimal ada di setiap desa atau lurah. Selama ini, mesjid atau surau hanya digunakan untuk kegiatan ritual keagamaan, terutama di bulan-bulan Maulid atau bulan Ramadhan. Dalam pandangan kami, surau dan mesjid perlu djadikan sebagai salah satu pusat pelatihan dan pendidikan masyarakat Pariaman, dengan mengagendakan tema-tema khusus setiap minggunya kepada para dai/ustad/tuanku. Agama menjadi menarik dan banyak sisi. Kultur masyarakat santri perlu dibentuk, salah satunya adalah dengan memasyarakatkan pemakaian kopiah bagi kaum laki-laki. Bukankah kopiah juga sudah jadi simbol nasional?

6.3.    Memanfaatkan Jaringan di Pusat dan Daerah


Kota Pariaman sama sekali tidak memiliki tambang emas, minyak, gas, ataupun batubara. Karena itu, upaya meningkatkan APBD Kota Pariaman hanya bisa dilakukan lewat jaringan yang ada di Pusat, baik pemerintah, maupun DPR RI, baik lewat Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Dekonsentrasi. Selain itu, usaha ini bisa ditempuh lewat kerjasama dengan daerah-daerah yang kaya, seperti Riau dan Kalimantan. Kami mengenal banyak sekali bupati atau walikota yang ingin mendapatkan reward lebih sebagai daerah yang berprestasi. Kerjasama antar daerah perlu ditingkatkan, lewat Asosiasi Pemerintahan Kota se-Indonesia (APEKSI). Begitu juga prestasi pemerintah pusat biasanya dicetak lewat program-program unggulan di daerah-daerah percontohan. Insya Allah, Kota Pariaman layak menjadi Kota Percontohan di masa datang, sehingga bisa menjadi tujuan program-program pemerintah pusat.

6.4.    Membuka APBD sebagai Dokumen Publik


Selama ini, APBD sering dianggap sebagai rahasia negara. Padahal, APBD adalah dokumen publik yang bisa diakses oleh publik. Program strategis kami adalah melakukan transparansi APBD lewat pengumuman secara online ataupun cetak, baik lewat papan-papan informasi di Kantor Kepala Desa, Mesjid, Kantor Lurah maupun Lapau-Lapau. Dengan cara inilah, warga Kota Pariaman bisa mengawasi pelaksanaan program yang diambil lewat dana APBD. Apabila hal ini tercapai, warga Kota Pariaman bisa melihat betapa kemampuan APBD Kota Pariaman sangat rendah, dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Apabila warga Kota Pariaman menganggap demikian, sistem kerjasama antara pemerintah dengan warga bisa ditempuh. Kekurangan anggaran pembangunan irigasi, misalnya, bisa ditutupi dengan gotong royong atau dana swadaya masyarakat Pariaman yang terkenal dengan sistem badoncek.

6.5.    Mengefektifkan Musrenbang di Tingkat Desa atau Kelurahan


Agar pelaksanaan program pemerintah tidak sampai salah arah dan diluar kebutuhan warga Kota Pariaman, perlu peningkatan efektifitas Musrenbang yang melibatkan sebanyak mungkin stakeholders dan shareholders di Kota Pariaman. Di setiap desa atau kelurahan, terpampang program-program yang diajukan oleh Musrenbang, termasuk jumlah anggarannya dan waktu penyelesaiannya. Jangan sampai Musrenbang hanya ada di atas kertas. Musrenbang perlu dijadikan sebagai simbol demokrasi lokal dan bahkan demokrasi asli Pariaman, sebagaimana pernah ditulis Muhammad Hatta soal demokrasi. Musrenbang ini dilakukan secara bertahap, sesuai dengan fokus dan ciri khas masing-masing desa.

6.6.    Mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus


Masing-masing wilayah di Kota Pariaman perlu dijadikan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). KEK ini bisa di dalam Kota Pariaman sendiri, bisa juga bekerjasama dengan kabupaten atau kota lain di Sumatera Barat dan di luar Sumatera Barat. Sebagai contoh, Kecamatan Pariaman Selatan dijadikan sebagai sentra pertanian, hutan kota dan peternakan. Tanah-tanah kosong yang belum digarap, diolah sedemikian rupa menjadi produktif. Begitu juga kawasan sepanjang pantai Kota Pariaman yang meliputi 3 kecamatan, perlu dijadikan sebagai kawasan wisata pantai dan kuliner yang dilengkapi dengan standar pelayanan yang baik. Sementara Kecamatan Pariaman Timur dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan industri batu bata dan bangunan. Kecamatan Pariaman Utara sebagai kawasan industri kecil di bidang kerajinan rakyat. Kecamatan Pariaman Tengah jadi sentra pendidikan, jasa dan perdagangan.

6.7.    Melakukan Kerjasama Keunggulan Kota Pariaman dengan Daerah Lain


Selama ini kami memiliki hubungan yang baik dengan sejumlah kepala daerah, baik di Sumbar ataupun di belahan Indonesia yang lain. Sejauh yang kami pantau, sedikit sekali kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Pariaman dengan daerah-daerah lain itu. Padahal, Kota Pariaman miliki kesamaan keunggulan dengan daerah-daerah itu. Karena itu, kami mengusung program strategis berupa kerjasama keunggulan Kota Pariaman dengan daerah-daerah lain, terutama di bidang wisata, kuliner, kelautan, jasa dan industri. Akan ada sejumlah festival di Kota Pariaman dengan cara mengundang darah-daerah lai berpartisipasi.

6.8.    Menjadikan Kota Pariaman sebagai Kota Satelit Kota Padang


Kota Padang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat sedang mengalami masalah yang berbeda dengan Kota Pariaman, yakni kepadatan penduduk. Hal ini membawa konsekuensi kepada kemacetan dan biaya yang tinggi. Kami memandang bahwa perlu ada satu daerah satelit khusus bagi Kota Padang. Kota Pariaman bisa menjadi daerah satelit dari Kota Padang, dalam arti sejumlah kebutuhan masyarakat Sumbar terhadap Kota Padang bisa didapatkan di Kota Pariaman, terutama di bidang pelayanan dan jasa. Kami akan mencoba menghubungi pihak terkait di Kota Padang untuk memindahkan sebagian dari kantor urusan dan usaha mereka ke Kota Pariaman.

6.9.    Menguatkan Kerjasama Pelayanan dengan Kabupaten Padang Pariaman


Pemindahan ibukota Kabupaten Padang Pariaman ke Parit Malintang belum seluruhnya berhasil meningkatkan pelayanan publik, terutama karena letaknya yang jauh dari wilayah-wilayah tertentu, terutama di bagian barat dan utara. Karena itu, kami tetap berupaya agar kantor-kantor urusan tertentu masih tetap di Kota Pariaman. Kalaupun nantinya berada di wilayah Kabupaten Padang Pariaman, kami mencoba berdiskusi dengan Pemerintah Kabupatn Padang Pariaman untuk menyebarkan di sekeliling Kota Pariaman. Dengan caraitu, hubungan baik antara Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman bisa tetap terjaga, termasuk bagi kepentingan PNS Kabupaten Padang Pariaman yang masih tinggal atau menjadi bagian dari warga Kota Pariaman.

VII. Penutup

Sebagai visi, misi dan progrm strategis, tentu naskah ini jauh dari sempurna. Kami masih memiliki sejumlah program lainnya, yakni program seratus hari, program tahunan dan program per kecamatan, kelurahan dan desa. Kami tidak membeberkan di halaman ini, guna mendapatkan hasil yang lebih sempurna. Tim ahli kami masih bekerja di seluruh area Kota Pariaman untuk merumuskan program-program yang lebih teknis itu. 

Demikianlah paparn visi, misi dan program ini kami sampaikan, guna dipahami dan dinilai oleh masyarakat Kota Pariaman, khususnya, dan masyarakat Indonesia, umumnya. Mari kita lakukan modernisasi Kota Pariaman berdasarkan kekuatan budayanya sendiri, berdasarkan visi menikam jejak, mencari akar, dengan rakyaik badarai sebagai pilar-pilar dan sekaligus tujuannya.

Pariaman, 11 Mei 2013
INDRA JAYA PILIANG dan JOSE RIZAL MANDAY
×
Berita Terbaru Update